SEMARANG (Sigi Jateng) – Angka kasus kekerasan pada perempuan dan anak di Kota Semarang yang telapor atau terdata mengalalami penurunan. Namun faktanya belum tentu demikian. Ibarat fenomena gunung es. Yang terungkap atau dilaporkan hanya sedikit. Sisanya yang tidak terekspos lebih banyak.
Hal ini dikatakan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang Drs Muhammad Khatib MSi pada Rakor Forum Media Sayang Perempuan Anak Indonesia Kota Semarang, yang diselenggarakan Selasa (30/3/2021).
Dalam Rakor Forum Media Sapa tersebut menghadirkan dua pembicara, yaitu Ketua Badan Uji Kompetensi PWI Jateng dan Assesor Uji Kompetensi Wartawan Widiyartono dan Sekretaris Komisi D DPRD Kota Semarang Dr Anang Budi Utomo Spd SMn MPd.
Dikatakan dia Muhammad Khatib, angka kekerasan di Kota Semarang termasuk di dalamnya pada anak dan perempuan menurun pada akhir tahun 2019 jumlah 226 kasus. Sedangkan sepanjang tahun 2020 hanya 164 kasus.
“Meski angkanya mengalami penurunan, namun masih relatif tinggi. Ibarat fenomena gunung es, pada kasus kekerasan, korban jarang melapor. Contohnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Yang muncul baru 1/8 nya saja. Budaya lama, malu melaporkan,” terang Muhammad Khatib.
Maka masalah perlindungan anak dan perempuan butuh sosilisasi dengan masif. Media pun turut terlibat di dalamnya, dalam sosialiasi edukasinya. Sebab, masalah kekerasan perempuan dan anak, tertuang dalam UU dan pelakunya dipidana karena masuk tindakan pidana.
“Hal ini tidak semata-mata tanggungjawab pemerintah tetapi juga semua pihak. Termasuk masyarakat dan media. Media punya peran penting. Termasuk media. Media dalam pemberitaannya, agar selalu berpedoman pada norma-norma,” ucapnya.
Guna menakan angka kekerasan perempuan dan anak, kata dia, di Kota Semarang sudah dibentuk jaringan perlindungan perempuan dan anak (JPPA) di masing-masing kelurahan. Dari 177 kelurahan yang ada di Kota Semarang, sudah ada 45 kelurahan yang terbentuk.
Berita Lainnya:
- Bejat, Pria di Semarang Tega Cabuli Anak Tiri, Gegaranya Jengkel dengan Istri
- Pelajar-Mahasiswa Dilibatkan jadi PPK pada Pilkada 2024, Begini Harapan KPU Kabupaten Tegal
- Ringankan Beban Pajak, PDAM Kota Magelang Gratiskan Tagihan Air Khusus Bagi Warga yang Memiliki Kriteria Ini
- 23 Orang PPIH Embarkasi Jateng Resmi Dilantik, Siap Layani 35 Ribu Calon Jemaah Haji Jateng -DIY
- Dipastikan Warga Jateng yang Berada Di Luar Daerah, Tak Bisa Gunakan Hak Pilihnya pada Pilkada 2024 Mendatang, Begini Penjelasan KPU
Adapun anggota jaringan ini adalah relawan dari mulai tokoh masyarakat, karang taruna dan lainnya.
Ketua Badan Uji Kompetensi PWI Jateng dan Assesor Uji Kompetensi Wartawan Widiyartono mengatakan, peran pers dalam pemberitaan ramah anak dan perempuan, sangatlah penting.
Dan salah satunya tertuang dalam UU No 40 tahun 1999, dimana pers berfungsi menyampaikan informasi, hiburan, musik dan yang tak kalah penting peran edukasi. Khususnya menghormati dan meyelamatkan anak dan perempuan. “Selain sebagai kontrol sosial, pers juga sebagai salah satu kontrol demokrasi,” jelasnya.
Widiyartono mewanti-wanti kepada para wartawan agar lebih berhati-hati dalam memberitakan soal anak. Wartawan jangan asal tulis berita, dan dalam hal bisa merujuk kepada Peraturan Dewan Pers No: 1/ Peraturan-DP/II/2019, tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak. Jika terbukti melanggar pedoman pemberitaan ramah anak, maka wartawan yang bersangkutan bisa dituntut hukuman pidana penjara selama 5 tahun dan denda sebesar Rp 500 juta.
Dengan adanya pedoman pemberitaan ramah anak, maka wartawan dalam memberitakan soal anak mesti hati-hati dan tidak lagi dituntut untuk memberitakan secara gamblang dengan menyebut nama dan identitas anak, tempat tinggal, alamat sekolah serta nama orang tua korban.
“Kalau wartawan menulis berita soal anak dengan menonjolkan identitas secara lengkap, maka wartawan yang bersangkutan bisa dikenakan hukum pidana,” ungkapnya.
Akan tetapi, tambah Widi, jika seorang wartawan sudah membuat berita sesuai dengan pedoman pemberitaan ramah anak, maka seorang jurnalis tidak lagi diancam dengan hukum pidana melainkan kasus pemberitaan wartawan tersebut akan ditangani oleh Dewan Pers dan hanya dikenakan dengan aturan yang terkait dengan kode etik jurnalis dan Undang-undang Pers.
“Dalam pedoman pemberitaan anak, wartawan tidak perlu menulis berita sesuai dengan ketentuan 5 W + 1H. Selain itu, wartawan juga harus mengetahui usia yang masuk kategori anak yakni usia 18 tahun,” bebernya.
Sementara, Sekretaris Komisi D DPRD Kota Semarang Dr Anang Budi Utomo Spd SMn MPd mengatakan, pada era digital saat ini, informasi yang disampaikan media sangat komplit, detail dan tidak ada yang ditutupi dan mudah diakses termasuk kekerasan terhadap perempuan dan anak. Namun yang harus disikapi pelaku media, adalah pemberitaan terkait kekerasan yang menimpa pada anak dan perempuan haruslah melihat etika, ranah UU pers, Pedoman Pemberitaan Ramah Anak dan memperhatikan hak-hak. (Aris)