Hebat, Anak Tukang Rongsok di Solo Ini Jawara Festival Dalang Cilik. Siapakah Dia ?

Gebi putra pasangan Joko Sudarmanto dan Suryanti saat berlatih sabet. (Foto: detikcom)

Solo (Sigi Jateng) – Memiliki bakat dan prestasi dari pada umumnya, tidak semua anak mampu mendapatkannya dengan gampang. Terlebih, dengan kondisi ekonomi keluarga yang minim dan tidak mendukung keberadaannya.

Namun, menjadi sesuatu hal yang mudah bagi Gabriel Sananta Putra (14) untuk mengembangkan minatnya untuk mahir mendalang. Meski, kondisi ekonomi orang tuanya tak mendukung baginya untuk memperdalam kemampuannya mendalang.

Gebi, demikian sapaan akrabnya ini justru cenderung pendiam dan lugu. Anak dari pasangan Joko Sudarmanto (46) dan Suryanti (40) itu menjadi juara di ajang dalang cilik (Dacil) yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Solo beberapa waktu lalu.

Dalam ajang yang digelar di Dalem Joyokusuman, Solo, tersebut, Gebi meraih juara kategori sabet terbaik. Sabet adalah kemahiran khusus bagi seorang dalang wayang kulit dalam memainkan anak wayang, terutama dalam adegan peperangan.

Kemahiran itu tidak didapatkan dengan mudah, apa lagi dia juga bukan berasal dari keluarga yang secara tradisi lekat dengan kesenian, terutama wayang kulit. Banyak kendala yang harus dihadapinya untuk mewujudkan obsesinya untuk mahir mendalang.

Orang tua Gebi, Joko dan Suryanti hanya berprofesi sebagai tukang rongsok. Penghasilannya tidak mencukupi untuk keinginan Gebi belajar seni pedalangan di sanggar-sanggar seni yang memang banyak terdapat di Solo dan sekitarnya.

“Dia pertama kali terlihat menyukai wayang setelah menonton pentas wayang dalang almarhum Ki Seno (Nugroho) dari Youtube,” ujar Joko, di rumahnya di Balong Lama, Gondangrejo, Karanganyar, sebagaimana dikutip detikcom, Minggu (21/3/2021).

Semenjak itu, Gebi sering minta dibelikan wayang untuk dimainkan. Karena kondisinya, Joko hanya bisa membelikan wayang-wayang yang terbuat dari kertas yang dijual di pinggirana jalan. Koceknya tak mampu membelikan wayang dari kulit untuk Gebi.

“Setelah itu anak itu belajar wayang sendiri baru saya masukkan ke sanggar. Tetapi saya pindah-pindahkan sanggar karena anak saya sering mendapatkan perlakuan yang tidak baik,” ucapnya.

Bahkan, kata Joko, tak jarang Gebi menjadi korban perundungan di sanggar-sanggar yang pernah diikutinya. Kondisi ini bahkan sempat membuat sang anak tidak mau lagi memegang wayang hingga beberapa bulan.

Hingga suatu saat, Joko mengunggah wayang-wayang kertas buatannya di akun Facebook. Unggahan itu menarik perhatian dua orang dalang asal Sawit, Boyolali, Ki Danar dan ki Teguh.

“Ketemu dalang dari Sawit bernama Pak Danar dan Pak Teguh main ke sini (ke rumahnya) dan beli wayang. Saya sampaikan (kepada keduanya), bahwa saya juga punya anak yang suka wayang tetapi takut dibully,” tuturnya.

Rupanya kedua dalang muda tersebut juga menjadi guru pengajar di sebuah sanggar di Klaten. Oleh keduanya lalu Gebi diajak ke sanggar tersebut untuk memperdalam minatnya mendalang. Untuk Gebi, tak ada biaya yang dikenakan.

“Sepekan dua kali ke sanggar di Klaten. Kalau berangkat magrib pulang sekitar pukul 02.00 WIB,” ungkap Joko.

Sementara itu, Gebi mengatakan, dirinya tertarik dengan wayang secara spontan saat menonton tayangan pementasan wayang kulit di Youtube. Selanjutnya, dia menjadi sangat berminat mendalami untuk ikut melestarikan seni tradisi tersebut.

“Saya ingin nguri-uri (melestarikan) budaya Jawa. Mulai belajar wayang kelas 4 pertama dari menonton (tayangan) pertunjukan Pak Seno (almarhum),” kata dia. (dtc /dye)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini