Penjelasan Niat dan Hukum Berkurban bagi Orang Lain, Boleh atau Tidak?

Ilustrasi – Hewan qurban kambing. Foto : Dok.sigijateng.id

sigijateng.id – Jelang Hari Raya Idul Adha, sebagian umat Islam berkeinginan untuk berkurban. Tidak hanya untuk diri sendiri, orang yang memiliki kemampuan lebih juga ingin berkurban untuk orang lain, misalnya orang tua atau sanak saudara. Namun, sebelum menunaikan niat tersebut, sebaiknya kita memahami hukum berkurban bagi orang lain.

Dikutip dari buku ‘Hikmah di Balik Perintah dan Larangan Allah’ oleh Alaidin Koto, perintah untuk berkurban terdapat di dalam surat Al-Kautsar ayat 1-3 berikut ini.

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ

Artinya:

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah sholat dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang yang terputus.”

Kemudian, perintah berkurban bagi orang yang mampu ditegaskan dalam hadits berikut.

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال من كان له سعة ولم يضح فلا يقربن مصلانا

Artinya:

“Dari Abu Hurairah Ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda: ‘Barangsiapa yang memiliki kelapangan (harta yang banyak), tetapi enggan untuk berkurban maka janganlah ia mendekati tempat sholat kami.'”

Bagaimana Hukum Berkurban bagi Orang Lain?

Dirangkum dari buku ‘Fiqih Qurban & Aqiqah Menurut 4 Mazhab’ oleh Isnan Ansory, berikut adalah penjelasan mengenai hukum berkurban bagi orang lain.

1. Orang Lain yang Masih Hidup

Para ulama sepakat bahwa kurban atas nama orang lain yang masih hidup dan mengetahui hal tersebut adalah sah. Namun, kebanyakan ulama berpendapat bahwa kurban tanpa izin dari orang yang bersangkutan tidak sah. Jika hewan sudah disembelih, dihitung sebagai sedekah biasa.

Hal ini dijelaskan oleh Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawi dalam Kitab Al-Majmu Syarah Al-Muhazzab.

لَوْ ضَحَى عَنْ غَيْرِهِ بِغَيْرِ إِذْنِهِ لَمْ يَقَعُ عَنْهُ … ولو ذبح عن نفسه واشترط غيره في ثَوَابِهَا جَازَ قَالُوا وَعَلَيْهِ يُحْمَلُ الْحَدِيثُ الْمَشْهُورُ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ذَبَحَ كَبْشًا وَقَالَ: بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَى بِهِ) (رَوَاهُ مُسْلِمٌ).

Artinya:

“Jika seseorang memotong hewan kurban atas nama orang lain tanpa seizin darinya, maka tidak sah kurban tersebut. Akan tetapi jika ia menyembelihnya atas nama dirinya, lalu orang lain mensyaratkan atasnya untuk mendapatkan pahala kurbannya, maka hal ini dibolehkan (sah sebagai kurban). Para ulama berkata: Inilah maksud dari hadits masyhur yang diriwayatkan dari Aisyah bahwa Nabi Saw menyembelih seekor domba dan bersabda, ‘bismillah allahumma taqobbal min muhammad wa aali muhammad wa min ummati muhhammad (Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah terimalah dari Muhammad dan keluarga Muhammad, dan dari umat Muhammad)’. Lalu beliau menyembelihnya.” (HR Muslim)

2. Berkurban untuk Orang yang Sudah Wafat

Sementara berkurban untuk orang yang sudah wafat, hukumnya terbagi ke dalam dua kondisi. Mari simak penjelasan mengenai hukumnya di bawah ini.

a. Berdasarkan Wasiat

Para ulama sepakat bahwa kurban atas nama almarhum sah jika berdasarkan wasiat almarhum saat masih hidup. Jika wasiat tersebut menggunakan harta almarhum, maka ahli waris wajib melaksanakannya. Berikut ini penjelasannya di dalam kitab Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah.

إِذَا أَوْصَى الْمَيِّتُ بِالتَّضْحِيَةِ عَنْهُ، أَوْ وَقَفَ وَقْفًا لِذَلِكَ جَازَ بِالْإِتِّفَاقِ. فَإِنْ كَانَتْ وَاجِبَةً بِالنَّذْرِ وَغَيْرِهِ وَجَبَ عَلَى الْوَارِثِ إِنْفَاذُ ذَلِكَ.

Artinya:

“Jika mayit telah berwasiat untuk kurban atasnya atau mengikrarkan wakaf, maka kurban tersebut sah untuknya menurut kesepakatan seluruh ulama. Jika wasiat itu wajib berdasarkan nazarnya atau sebab wajib lainnya, maka ahli waris wajib melaksanakannya.”

b. Inisiatif Keluarga yang Hidup

Ulama berbeda pendapat mengenai hukum berkurban atas nama orang yang sudah wafat, berdasarkan inisiatif keluarga yang masih hidup. Pendapat yang pertama memperbolehkan dan sah sebagai kurban berdasarkan hadits berikut:

عَنْ حَنَشِ، قَالَ: رَأَيْتُ عَلِيًّا – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – يُصَلِّي بِكَبْشَيْنِ فَقُلْتُ لَهُ: مَا هَذَا؟ فَقَالَ: «إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَوْصَانِي أَنْ أُضَحِيَ عَنْهُ فَأَنَا أُضَحِي عَنْهُ» (رواه أبو داود)

Artinya:

Dari Hanasy, ia berkata: Aku melihat Ali radhiyallahu anhu berkurban dengan dua kambing. Kemudian aku katakan kepadanya: Apa ini? Lalu ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah berwasiat kepadaku agar berkurban untuknya, maka aku berkurban untuknya.” (HR Abu Dawud)

Mazhab Syafii memperbolehkan perkara ini, tetapi tidak menganggapnya sah sebagai kurban. Hewan yang disembelih terhitung sebagai sedekah biasa. Imam An-Nawawi menjelaskannya di dalam kitab Minhaj Ath-Thalibin Wa Umdah Al-Muftin:

و التضحية عن الغير بغير إذنه ولا عن ميت إن لم يوص بها.

Artinya:

“Tidak sah kurban untuk orang lain tanpa izin darinya, begitu juga untuk mayit jika tidak berwasiat atasnya.”

Sementara itu mazhab Maliki menjelaskan bahwa inisiatif keluarga berkurban atas nama orang yang sudah wafat sah, tetapi tidak dianjurkan. Ini dijelaskan dalam kitab Mawahib Al-Jalil Fi Syarah Mukhtasar Khalil.

إِنَّمَا كَرِهَ أَنْ يُضَحِيَ عَنْ الْمَيِّتِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَرِدْ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَلَا عَنْ أَحَدٍ مِنْ السَّلَفِ، وَأَيْضًا، فَإِنَّ الْمَقْصُودَ بِذَلِكَ غَالِيًا الْمُبَاهَاةُ وَالْمُفَاخَرَةُ.

Artinya:

“Dimakruhkannya kurban atas mayit karena hal itu tidak pernah diriwayatkan dari Nabi – shallallahu alaihi wasallam dan seorang pun dari generasi salaf. Dan juga karena biasanya hal ini biasanya didasarkan kepada kebanggaan dan kesombongan.”

Semoga bermanfaat! (Red)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini