Keluarga Nelayan Pekalongan yang Divonis Penjara PN Pati, Mencari Keadilan ke Jokowi dan Kapolri

Bentangkan spanduk, keluarga nelayan Pekalongan yang divonis penjara oleh PN Pati, ingin mencari keadilan ke Jokowi dan Kapolri. Foto: Istimewa

Pekalongan (sigijateng.id) – Keluarga nelayan asal Kabupaten Pekalongan meminta keadilan dan ingin mengajukan banding atas vonis selama 18 dan 17 tahun penjara yang dijatuhkan pihak Pengadilan Negeri Pati terhadap terdakwa Muhammad Sobirin dan Casmui.

Pihak keluarga terdakwa, merasa jika putusan tersebut tidak adil. Bahkan, mereka juga akan menyampaikan aspirasi itu ke Presiden Joko Widodo dan Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo.

“Kami yakin klien tidak bersalah dan menjadi korban fitnah. Kami berjanji terus mengawal kasus ini hingga mendapatkan keadilan. Kedua nelayan ini tidak terlibat dalam pembunuhan yang dituduhkan,” kata Didik Pramono, kuasa hukum keluarga terdakwa dari LBH Adhyaksa, Rabu (24/1) petang.

Diceritakan keluarga terdakwa atas kronologi kasus yang menimpa anaknya dengan tuduhan dan hukuman yang diberikan. Suyuti mengisahkan bahwa kasus ini bermula dari penemuan mayat pria bertato di Sungai Silugonggo, dekat Pelabuhan Juwana, Pati, pada Juli 2023 silam.

Mayat itu diketahui sebagai jazad dari Khoirul Anam, seorang nelayan yang ikut rombongan dari Wonokerto bersama anaknya.

“Anak saya tidak pernah membunuh siapa pun. Dia hanya menjadi sasaran kesaksian bohong. Saya mohon bantuan dari Bapak Presiden dan Bapak Kapolri untuk membebaskan anak saya,” pinta Suyuti, ibu terdakwa Muhammad Sobirin.

Suyuti mengatakan bahwa anaknya, Muhammad Sobirin, bersama Casmui dan tujuh nelayan lainnya selaku Anak Buah Kapal (ABK) berangkat dari Wonokerto dengan Kapal Mina Maulana untuk menjemput hasil tangkapan ikan kapal lain di tengah laut.

Namun, sebelum berangkat, Khoirul Anam tidak berada di kapal dan diduga sudah kabur setelah menerima uang panjar.

“Dua orang ini, pelapor dan korban, sebenarnya bukan anggota rombongan kami. Mereka titipan dari pengurus kapal lain yang ingin ikut mencari ikan,” imbuh Imade Sudiana yang juga merupakan salah satu kerabat Suyuti.

Dia mengkritik proses hukum yang berlangsung di pengadilan. Dikatakan bahwa alat bukti yang diajukan oleh jaksa tidak kuat dan tidak meyakinkan. Ia juga menyesalkan bahwa hakim tidak mengizinkan saksi-saksi yang ingin dihadirkan oleh penasehat hukum.

“Kami minta saksi-saksi yang bisa membuktikan bahwa kedua nelayan ini tidak bersalah, tapi hakim menolak dengan alasan saksi-saksi sudah disumpah oleh penyidik. Kami juga heran kenapa mereka harus dites kebohongan tanpa didampingi oleh penasehat hukum. Ini ‘kan tidak adil,” tutur Made, nama panggilan Imade Sudiana.

“Di persidangan pun para terdakwa menyebut kesaksian pelapor palsu. Terdakwa kekeh tidak melakukan seperti yang dituduhkan,” sebutnya.

Dalam persidangan diungkapkan temuan mulai dari forensik, polygraph, kesaksian identifikasi, masalah sidik jari dan masih banyak lainnya. Namun, hakim tetap memutus Muhammad Sobirin 18 tahun penjara dan Casmui 17 tahun penjara.

Berdasarkan informasi yang diperoleh, kondisi mayat sudah mulai membusuk walau hasil pemeriksaan menunjukkan tidak ditemukannya tanda-tanda luka akibat kekerasan fisik. Jasad korban yang dipenuhi tato juga tidak dalam keadaan terikat tangannya.

Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kebenaran tuduhan terhadap kedua nelayan ini. “Akhirnya sembilan awak kapal termasuk pelapor diperiksa oleh otoritas setempat selama sepekan lalu disuruh pulang,” bebernya.

Setelah pulang, beberapa hari kemudian keduanya menjalani pemeriksaan lanjutan dari mulai pukul 09.00 pagi hingga malam dan kembali diminta pulang. Ironinya dalam perjalanan pulang, mereka dicegat. Muhammad Sobirin dan Casmui ditangkap lalu ditetapkan sebagai tersangka.

Singkat cerita kedua nelayan nahas tersebut diputus menjadi terdakwa. Mereka yang semula dijerat dengan Pasal 351 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (berkaitan dengan penganiayaan) menjadi dakwaan dengan Pasal 340 (merampas nyawa orang secara berencana).

Lalu muncul permintaan penasehat hukum untuk menghadirkan saksi namun tidak diizinkan dengan alasan saksi oleh penyidik sudah disumpah pada saat pemeriksaan.

“Akhirnya hakim menerima (permintaan penasehat hukum) lalu berlanjut terus sampai dengan pemeriksaan ke polygraph atau tes kebohongan. Tes kebohongan tersebut sempat ditanyakan oleh penasehat hukum apakah sah kalau tersangka tidak didampingi oleh penasehat hukum,” beber Made.

Selain itu, alat bukti yang dijadikan dasar untuk mempersangkakan kedua nelayan itu juga tidak ditemukan. Kesaksian pelapor tentang adanya alat pemukul, yang menurut informasinya lalu dibuang. Hal lain yang menjadi perhatian adalah, saksi yang diajukan hanya ada satu orang yakni pelapor itu sendiri.

“Pengakuan pelapor menyebutkan korban dipukul di belakang kepala lalu diinjak-injak oleh Muhammad Sobirin yang kemudian meminta bantuan Casmui. Padahal hasil pemeriksaan jasad korban tidak ada tanda kekerasan dan media setempat pun awalnya menuliskan dalam pemberitaan tidak ada tanda-tanda kekerasan,” ungkapnya.

Sedangkan pengakuan ke tujuh ABK dan satu nahkoda tercatat bahwa mereka tidak mendengar ada keributan pada malam kejadian. Padahal, semua ABK mengaku tidur dan tidak menyaksikan adanya peristiwa yang menimpa korban Khoirul Anam seperti kesaksian pelapor.

“Di persidangan, para terdakwa menyebut kesaksian pelapor adalah palsu. Para terdakwa kekeh (bersikeras – red) tidak melakukan seperti yang dituduhkan,” sebutnya.

“Kami mengajukan banding dan akan tetap terus berusaha mencari keadilan agar anak dan saudara kami dibebaskan demi hukum,” tegas Made.

Dia berharap dengan mengajukan banding dan menyuarakan aspirasi kepada Presiden dan Kapolri, kasus ini bisa mendapat penyelesaian yang lebih baik bahwa kebenaran dan keadilan bisa ditegakkan.

“Kami tidak minta belas kasihan, tapi hanya minta keadilan. Kami yakin bahwa kedua nelayan ini tidak bersalah dan tidak pantas dihukum seberat itu,” pungkasnya. (Red)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini