Begini Respon Pedagang PKL Kuliner di Kota Solo Tanggapi Penetapan Pajak 10 Persen

Pusat Kuliner di Kota Solo. Foto: Dok. Setda Pemkot Solo

Solo (sigijateng.id) – Menanggapi penetapan pajak bagi PKL yang memiliki omzet hingga Rp 7,5 juta per bulan, sejumlah PKL kuliner di Kota Solo pun menyambutnya. Meski ada pula pedagang yang merasa keberatan terhadap ketetapan tersebut.

Salah satunya Suyono (56), pedagang di Selter Manahan asal Klaten. Menurutnya, pajak 10 persen bisa memberatkan para PKL yang hanya kadang-kadang saja bisa mencapai omzet hingga Rp 7,5 juta. Jika bulan ini omzet tinggi, tidak bisa dipastikan bulan berikutnya omzet juga masih tinggi.

“Abot (berat) lah, kena pajak itu pasti abot lah. Kecuali restoran itu kan biasa, kalau jualan dagang gini kan istilahnya kadang-kadang tok,” tutur Yono saat ditemui awak media.

Ia mengatakan, tidak banyak pula pedagang di selter yang melayani hingga ratusan piring per harinya. Sehingga menurutnya, penarikan pajak 10 persen hanya bisa diterapkan kepada para pengusaha kuliner di restoran.

“Sebanyak-banyaknya PKL di sini belum ada 100 porsi belum ada, banyak-banyaknya 50 porsi 60 porsi, kalau 100 ke atas ini nggak ada,” ungkapnya.

Pedagang lainnya, Hartanto (53) yang juga membuka usaha di Selter Manahan menyambut baik kebijakan Pemkot Solo untuk memaksimalkan pendapatan dari pajak. Akan tetapi, kebijakan tersebut juga harus dibarengi dengan meningkatnya fasilitas yang bisa diterima PKL.

“Sebetulnya untuk kami pelaku pedagang kuliner ya, UMKM sebetulnya nggak masalah, asal dibarengi dengan kemudahan-kemudahan kita, fasilitas-fasilitas yang diberikan pemerintah ke UMKM saja,” terangnya.

Menurutnya, sudah menjadi kewajiban bagi dirinya sebagai warga Indonesia untuk turut membayar pajak. Akan tetapi, sebelum diterapkannya kebijakan tersebut, Antok berharap Pemkot Solo dapat melakukan sosialisasi terlebih dahulu.

“Nggak masalah selama itu regulasinya, kalau memang pemerintah akan melakukan seperti itu ya kita ngikut aja. Cuma kan lebih baiknya disosialisasikan dulu ke PKL karena nggak semua paham tentang pajak, ada yang nggak paham, ada yang paham cuma setengah-setengah,” ujarnya.

“Karena pajak itu sumber devisa negara kan gitu kalau yang paham. Tapi kan nggak semua pedagang, pelaku UMKM itu paham. Nah untuk mengantisipasi pemikiran-pemikiran yang nggak sepaham itu harus ada itu (sosialisasi) jadi biar nggak ada benturan nanti,” sambungnya.

Hartanto juga menyarankan, jika pajak sudah ditetapkan, perlu adanya apresiasi dari Pemkot Solo bagi pedagang yang taat membayar pajak. Seperti diberi kaus, stiker, atau merchandise lain yang memperlihatkan bahwa ia taat membayar pajak. Dengan begitu bisa memotivasi PKL lain untuk ikut taat membayar pajak.

Diberitakan sebelumnya, Pemerintah Kota (Pemkot) Solo akan menarik pajak sebesar 10 persen terhadap pedagang kaki lima (PKL) kuliner mulai tahun 2024 ini. PKL yang dipungut pajak adalah yang omzet per bulan sesuai dengan ketentuan sebagai wajib pajak.

Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Solo, Tulus Widajat mengatakan bahwa mengacu UU Nomor 1 Tahun 2022 dan Perda Nomor 14 Tahun 2023, pelaku usaha restoran termasuk PKL kuliner diharuskan membayar pajak sebesar 10 persen jika omzet per bulannya mencapai Rp 7,5 juta.

“Sesuai kriteria dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 dan Perda Nomor 14 Tahun 2023 yang termasuk dalam kriteria restoran wajib membayar pajak resto 10 persen apabila omzetnya dalam sebulan telah mencapai Rp 7,5 juta,” kata Tulus saat dihubungi wartawan, Kamis (18/1/2024).

“Sehingga PKL atau bukan kalau memenuhi kriteria dalam regulasi tersebut ya berkewajiban membayar pajak resto,” sambungnya. (Red)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini