Paparkan Respon Muhammad Bin Alawi Terhadap Politik Saudi, Amin Farih Raih Gelar Doktor Di Hadapan Ketum PBNU

Amin Farih saat menjalani ujian doktor di UIN Walisongo Semarang. (Mushonifin)

SEMARANG (Sigi Jateng) – Di Tengah hegemoni kekuasaan politik Saudi Arabia, peran ulama Wahhāby memiliki kedudukan yang sangat penting, mencakup aspek domestik maupun politik luar negeri. Keberadaan ulama Wahhāby menduduki posisi yang strategis dalam menjaga pelaksanaan Syarī’ah Islām, bahkan kedudukannya berada di sisi penguasa sebagai legitimasi bagi kebijakan-kebijakan pemerintah Kerajaan Saudi Arabia.

Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siradj saat merespon paparan disertasi Amin Farih. (Mushonifin)

Abstraksi di atas disampaikan oleh Amin Farih saat menjalani ujian doktor di UIN Walisongo Semarang pada Selasa (5/1/2020). Amin Farih sendiri mengangkat tema hegemoni kekuasaan ideologi Wahabi dengan disertasi berjudul “Respon Muhammad Bin Alawi Al-Maliki Terhadap Politik Hukum Islam di Saudi Arabia (Kajian Siyāsah Syar’iyyah)”.

Di hadapan Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Suradj, yang hadir sebagai penguji, Amin Farih memaparkan bahwa pengaruh fatwa ulama Wahhāby mempunyai implikasi politik sangat kuat, termasuk menghukum, melarang ceramah, mengucilkan di tempat asing kepada siapa saja yang fatwanya tidak sesuai atau sepaham dengan ulama Wahhāby.

“Berangkat dari dominasi ulama Wahhāby tersebut muncullah ide pemikiran politik hukum Islam Muhammad bin Alawi al-Māliky untuk meluruskan pendapat ulama Wahhāby terkait dengan kemudahan untuk menjatuhkan klaim kāfir, musyrik, ḍalalah dan bid’ah kepada orang yang tidak sepaham dengan mereka,” ujar Sekretaris MUI Kota Semarang dan Wakil Dekan III FISIP UIN Walisongo Semarang ini.

Amin Farih memaparkan bahwa penelitian ini memakai metode pendekatan politik hukum yang merupakan bagian dari pembahasan yang ada dalam disiplin ilmu siyāsah syar’iyyah, karena terkait dengan kebijakan politik hukum yang didominasi oleh kekuasaan raja dan ulama Wahhāby mempunyai energi yang cukup kuat untuk mempengaruhi hukum Islam.

“Adapun metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif-kualitatif dengan pendekatan sosio-historis dan teo-filosofis, sebuah pendekatan untuk menelusuri sisi-sisi historis sosial politik Muhammad bin Alawi al-Māliky dalam bersikap menghadapi serangan ulama Wahhāby di Saudi Arabia,” lanjut pria yang telah sah menjadi Doktor ke-151 di UIN Walisongo Semarang ini.

Studi ini mengkaji empat hal yaitu Pertama, Kuatnya pengaruh fatwa ulama Wahhāby dengan mengeluarkan tiga sumber fatwa tentang Hijrah, Takfīr dan Jihād. Kedua : Adanya kepentingan politisasi hukum Islam oleh ulama Wahhāby atas pemikiran Muhammad bin Alawy al-Māliky.

Ketiga : Tiga pemikiran Muhammad bin Alawy al-Māliky tentang (a). Parameter penentuan kāfir yaitu orang yang tidak percaya atas rukun Islam dan rukun Iman secara nyata yang tidak mungkin untuk ditakwili, mengingkari kenabian, mengingkari al-maʻlūm min al-dīn bi al-darūrah, mengingkari persoalan yang mutawatir serta mengingkari persoalan yang telah disepakati kejelasannya di dalam agama, (b) Parameter penentuan musyrik, dan sesat (ḍalalah) yaitu orang mensekutukan Allah SWT. Sedangkan orang yang menggunakan perantara (watsiṭah) seperti tawassul, tabarruk, mohon syafa’at itu bukan termasuk musyrik dan orang sesat (ḍalalah), (c). Parameter tentang Bid’ah yaitu tidak semua hal yang baru itu dikatakan sesat (ḍalalah). Karena bid’ah ada dua macam yaitu (1) bid’ah yang baik (bid’ah hasanah) dan (2) bid’ah yang sesat (ḍalalah) yaitu bid’ah sayyiah.

Keempat : Dukungan politik ulama international atas pemikiran Muhammad bin Alawy al-Māliky.

Novelties dari disertasi ini adalah kepiawaian komunikasi politik yang dilakukan oleh Muhammad bin Alawy al-Māliky atas sanksi politik yang dijatuhkan oleh Ulama Wahhāby.

KH. Sa’id Aqil Siradj kemudian merespon, bahwa dalam teori politik hukum apabila terjadi determinasi Politik atas Hukum, maka dominasi kekuasaan akan kuat, sehingga dalam teori ini mestinya Muhammad bin Alawy al-Māliky sudah dipenjara, dan bahkan sudah meninggal, karena menentang Ulama Kerajaan Saudi Arabia.

“Namun karena kelihaian dan kepiawaiannya dalam komunikasi politik dengan Raja, maka ancaman bahkan pembunuhan tersebut sering gagal dan tidak menimpa kepada Muhammad bin Alawy al-Māliky,” ujar Ketua Umum PBNU Periode 2010-2015 dan 2015-2020 ini.

“Ada saingan antara ulama Hijaz dan ulama Mekah bagian barat. Pada posisi ini ulama Hijaz diwakili oleh Syekh Mujammad Bin Alwy Al-Maliki. Sedangkan ulama Mekkah bagian barat berpusat di Najed,” ucap Kyai alumni Pondok Pesantren Lirboyo Kediri tersebut.

Syekh Muhammad sendiri merepresentasikan ciri khas ulama sunni yang moderat dan ulama-ulama Najed sangat tekstualis dan keras. Kedua kelompok ulama ini saling bersaing berebut pengaruh dengan upaya mendekati Raja Fahd yang berkuasai di Saudi Arabia saat itu.

“Persaingan ini sudah lama, padahal pada masa Raja Fahd dan Raja Khalid itu antara penguasa dan Ulama Wahabu itu berkoalisi. Jadi sebenarnya Syekh Muhammad ada dalam posisi tertindas. Namun karena kepiawaian berkomunikasi sehingga kehidupan Syekh Muhammad tetap aman walaupun serba dibatasi,” pungkasnya.

Sidang ujian ini dipimpin langsung oleh Rektor UIN Walisongo, Prof. DR. KH. Imam Taufiq, M.Ag dan dipromotori oleh Prof. DR. KH. Ahmad Rofiq, M.A, dan kopromotor, Prof. DR. KH. Abu Rokhmad, M.Ag.

Sedangkan anggota tim penguji antara lain, Prof. DR. Abdul Ghofur, M.Ag. selaku Sekretaris Sidang Penguji ; Prof. DR. H. Muhyar Fanani, M.Ag. penguji 1, Dr. H. Mohamad Arja Imroni, M.Ag selaku penguji 2; Dr. H.A. Hasan Asy’ari Ulama’i, M.Ag, selaku penguji 3, Ketua Prodi S3 Pasca Sarjana UIN Walisongo Semarang, Prof. DR. H. Fatah Syukur, M.Ag, Sekretaris S3 Pasca Sarjana UIN Walisongo Semarang, DR. H. Sulthon, M.A dan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, DR. Hj. Misbah Zulfa Elisabeth, M.Si. (Mushonifin)

Baca Berita Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini