Diskusi Mahasiswa Fakultas Syari’ah UIN Walisongo Bahas Soal “Agama Baha’i”

Suasana diskusi LPM Justisia Fakultas Syari'ah dan Hukum Islam (FSHI) UIN Walisongo Semarang. (Dok.)

SEMARANG (Sigi Jateng) -Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Justisia Fakultas Syari’ah dan Hukum Islam (FSHI) UIN Walisongo Semarang mengelar dialog “Eksistensi Agama Baha’i di Tengah Kepungan Intoleransi.”

Kegiatan ini diadakan untuk membuka mata masyarakat terhadap keberadaan agama Baha’i dan membuka wawasan serta pemahaman tentang bagaimana cara kita hidup dalam keberagaman.

Kegiatan tersebut dipandu oleh moderator dari Kru LPM Justisia, Anastya dan diisi oleh tiga pemateri, yaitu Rina Tjua Lee Na salah satu perwakilan dari Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia, Alaik Ridhallah Penulis Skripsi Agama Baha’i, dan Fia Maulidia Kru LPM Justisia.

Sebagai pemateri pertama, Rina menjelaskan mengenai sejarah munculnya Baha’i dan perkembangannya. Ia juga menambahkan prinsip 3 kesatuan ajaran yang ada pada agama Baha’i. Selain itu, Rina menegaskan bahwa semua agama itu baik dan memiliki Tuhan yang sama namun caranya saja yang berbeda.

“Di Indonesia sendiri pada tahun 2014 Kemenag melakukan survei dan menemukan bahwa penganut agama Baha’i sudah menyebar di 28 provinsi,” ujar Riina, Senin (25/1/2021).

Pemateri kedua, yaitu Alaik Ridhallah menjelaskan alasannya mengangkat agama Baha’i sebagai isi dari skripsinya. Hak-hak penganut agama Baha’i yang tidak diberikan oleh negara adalah salah satu yang dibahas dalam skripsinya.

Ia juga menceritakan tentang banyaknya ketidak adilan yang diterima oleh penganut agama Baha’i di Indonesia. Terakhir ia menambahkan bahwa Baha’i memiliki kalendernya sendiri dan menurutnya kalender ini menarik karena punya 19 bulan, 19 hari pada setiap bulannya, dan mempunyai siklus 19 tahunan.

“Baha’i punya kalender sendiri, uniknya ada 19 bulan, setiap bulan ada 19 hari dan siklus 19 tahun,” tambah Alaik.

Selanjutnya, Fia Maulidia yang merupakan pemateri ketiga menjelaskan mengenai peran penting media dalam upaya penggiringan opini publik, kontrol sosial, dan legitimasi kebenaran. Ia menjelaskan bahwa anak muda harus bisa memilih atau jadi alternatif yang bisa mengkonter isu mengenai ujaran kebencian dan hoaks.

“Dengan menggunakan perspektif keberagaman, media bisa jadi suatu alternatif dalam merespon isu dan narasi intoleran serta kebencian,” tutur Fia, menjelaskan mengenai pentingnya peran media dalam menggiring opini masyarakat.

Setelah pemateri menyampaikan materi, salah satu peserta menambahkan bahwa umat Baha’i sudah kebal dan biasa dengan diskriminasi dari orang sekitar, bahkan dari pemerintah.

“Umat Baha’i itu sudah kebal dengan diskriminasi,” ujar salah satu peserta.

Menanggapi hal tersebut, Rina sebagai Humas Majelis Rohani Baha’i Nasional menjelaskan bahwa kita tidak boleh menjadikan diri kita sebagai korban. Karena itu tidak bisa memperbaiki atau membenahi kualitas diri kita.

“Mari mulai sekarang kita tidak sedih terhadap deskriminasi, namun kita harus menghentikan diskriminasi,” ajak Rina untuk menghadapi ancaman diskriminasi. (Mushonifin)

Baca Berita Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini