Makna Dibalik ‘Ngalap Berkah’ Tradisi Sewu Kupat Lepet di Kudus, Cara Warga Hormati Para Wali

Tradisi perayaan sewu kupat lepet di kabupaten Kudus. Foto : Istimewa

Kudus (sigijateng.id) – Sebagai salah satu pusat penyebaran Islam di Jawa, masyarakat Kudus dikenal menjadi tempat bermukim dua wali terkemuka, yakni Sunan Kudus dan Sunan Muria. Tak heran jika Kudus memiliki beragam tradisi untuk menghormati para Wali.

Salah satunya adalah parade “Sewu Kupat” (seribu ketupat), yang merupakan perayaan untuk menghormati sosok Sunan Muria dan diadakan setiap tanggal 8 Syawal. Tradisi Parade Sewu Kupat Kanjeng Sunan Muria, sejatinya bermula pada 2008 silam.

Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat di Desa Colo (Gunung Muria) pada hari ke-7 setelah Hari Raya Idul Fitri. Masing-masing warga yang mewakili keluarga nya datang dan membawa segepok kupat dan lepet, duduk bersila di tikar yang digelar di jalanan.

Begitu prosesi tersebut berakhir, kupat dan lepet yang terkumpul dibawa naik ke makam Sunan Muria yang berada di ketinggian salah satu puncak gunung. Antusiasme warga begitu terlihat saat digelarnya tradisi sewu kupat di Desa Colo, Kecamatan Dawe pada Rabu (17/4).

Bahkan sebanyak 23 gunungan berisi kupat dan lepet langsung ludes setelah diserbu warga. Selepas subuh, sejumlah warga telah terlihat berlalu lalang di sekitar kawasan makam Sunan Muria.

Mereka tampak memanggul gunungan berisikan kupat lepet yang telah dihias sedemikian rupa menuju ke lokasi pemberangkatan.

Setelah nyekar dan doa bersama di makam Sunan Muria, barulah gunungan kupat lepet  itu dikirab menuju Taman Ria Colo.

Sesampainya di lokasi, tampak telah disambut dengan selawat terbang papat yang dibawakan warga desa setempat. Gunungan kupat lepet itu sendiri kemudian ditata di lapangan di dalam Taman Ria Colo.

Setelah sejumlah kesenian tradisional dan doa bersama gunungan itu kemudian diperebutkan oleh warga yang hadir disana. Tak sampai 30 menit, berbagai hasil bumi dan kupat lepet itu telah ludes.

Menariknya lagi dalam tradisi itu panitia juga menyediakan kopi muria serta lontong opor gratis bagi para pengunjung. Opor itupun bisa dinikmati dengan kupat yang didapatkan dari gunungan yang telah diperebutkan sebelumnya.

Ketua Panitia Sewu Kupat Colo Muhammad Antono mengatakan, tingginya antusiasme terhadap tradisi itu muncul lantaran telah dua tahun tidak digelar.

Menariknya di tahun ini festival sewu ketupat Muria itu diikuti tak hanya warga desa Colo saja. Tapi dari seluruh desa se kecamatan Dawe. “Total ada 23 gunungan. 17 gunungan itu dari desa-desa sekecamatan Dawe sementara enam lainnya dari Desa Colo,” terangnya.

Bahkan jumlah kupat dan lepet dikatakannya lebih dari seribu buah. Istilah seribu kupat sendiri muncul sebagai simbol seguyub atau gotong royong untuk kembali menguri-uri tradisi serta wujud syukur setelah melaksanakan puasa sebulan penuh dan dilanjutkan bermaaf-maafan.

“Setiap kepala keluarga mensedekahkan enam kupat dan enam lepet. Kalau ditotal ada sekitar 4 ribu kupat dan 4 ribu lepet. Makna kupat sendiri bisa diartikan ngaku lepat atau mengaku salah sebagai wujud saling bermaaf-maafan,” tambahnya.

Bagi warga Desa Colo sendiri tradisi itu menjadi bagian penting setiap tahunnya. Pihaknya berupaya nantinya akan mematenkan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) dari Festival Sewu Kupat Muria tersebut. “Saat ini kami sudah menghubungi berbagai pihak terkait melakukan proses HaKInya,”ujarnya.

Salah satu penggagas dari Sewu Kupat, H. Musthofa Wardoyo anggota DPR RI berharap tradisi budaya itu bisa digelar rutin setiap tahunnya. Terlebih tradisi Sewu Kupat Muria itu banyak membawa berkah bagi masyarakat Desa Colo dan sekitarnya.

“Ini tradisi masyarakat sehingga sebaiknya dihadirkan dari dan oleh masyarakat. Tradisi harus tetap berjalan. Tidak lain tidak kurang sebagai salah satu sarana ngalap berkah. Semoga masyarakat diberi kesehatan, panjang umur dan keberkahan dari Tuhan,” imbuhnya. (Red)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini