Begini Cerita Peternak Ayam di Boyolali Terdampak PPKM: mulai Pendapatan Turun Drastis hingga Biaya Membengkak

Ilustrasi Peternak Ayam. Foto: Istimewa.

Boyolali (Sigi Jateng) – Gerakan “Boyolali di Rumah Saja” setiap hari Minggu sangat mempengaruhi penjualan hasil panen dan pengadaan bibit ayam potong. Hal itu dirasakan sejumlah peternak ayam potong atau broiler di Desa Pusporenggo Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali.

Mereka sangat terpukul dampak Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di wilayahnya. Salah satunya seperti peternak ayam di Desa Pusporenggo, Kecamatan Musuk Boyolali, Radityo Herlambang (40).

Radityo bercerita dengan adanya pemberlakuan sejumlah kegiatan itu, penyerapan hasil panen menurun signifikan. “Terlebih kegiatan masyarakat seperti hajatan telah dibatasi oleh pemerintah,” ucapnya, Jumat (23/7). “Biaya operasional peternak pun ikut membengkak,” sambungnya.

Dia mencontohkan perdagangan ayam potong di daerah itu, khususnya di awal masa PPKM langsung jeblok karena aktivitas pasar dibatasi di hari Minggu. “Penyerapan untuk konsumsi menurun drastis. Di pedagang-pedagang kondisinya memprihatinkan karena lebih sepi,” ujarnya.

Padahal selama berjualan, para peternak tetap harus mengeluarkan biaya produksi seperti membeli pulsa listrik yang terus membengkak karena menggunakan mesin blower dengan tenaga listrik di peternakan.

Sebagai gambaran, Radityo memaparkan, peternakan ayamnya sebelum pandemi Covid-19 bisa memanen hingga 9.000 ekor. Panen dilakukan tiap dua hingga tiga hari sekali.

Tapi belakangan, selama pandemi, peternakan ayamnya hanya mampu panen 30 hingga 35 hari sekali. Bahkan, kata Radityo, kini panen hanya bisa dilakukan 45 hari sekali karena dampak PPKM.

Para peternak ayam seringkali mengeluhkan keterlambatan pengadaan bibit ayam karena dampak PPKM. “Saya setiap pesan bibit ayam potong, datangnya sering terlambat. Sehingga kandang yang telah dipersiapkan kosong karena anak ayam terlambat datang,” lanjut Radityo.

Kalaupun akhirnya bisa mendulang keuntungan, kata Radityo, pendapatannya berkurang hingga sekitar Rp 5 juta di setiap panen. Sebab butuh waktu yang lama untuk panen ketimbang hari-hari biasanya.

“Pada pandemi ini, ayam sudah proses panen, pembeli dan pasar-pasar dibatasi. Sehingga, penyerapan hasil panen ayam susah untuk keluar karena PPKM,” ucapnya.

Terpisah, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengaku paham akan masalah di lapangan seperti lonjakan harga pokok produksi di industri ayam tapi berbarengan dengan harga jual ayam hidup terus menurun.

Kemendag mencatat, harga bibit ayam (DOC) final stock broiler di minggu ketiga Juli 2021 turun 20 persen dibanding bulan lalu, yaitu berkisar Rp 5.225 per kg. Tapi harga itu berada 4,5 persen dari batas bawah penjualan tingkat peternak berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020.

Sedangkan harga pakan ayam broiler minggu ketiga Juli berkisar di Rp 8.025 per kg, naik 0,75 persen dibanding bulan lalu. Harga tersebut berada 10,7 persen di atas harga pakan penyusun struktur harga acuan.

“Kenaikan harga pakan itu dipicu oleh meningkatnya bahan baku pakan ternak, baik lokal maupun impor. Harga komoditas jagung sebagai salah satu komponen utama pakan ternak sudah naik dari awal tahun 2021,” kata Oke.

Akibat kenaikan harga pakan ternak dan DOC tersebut, maka HPP ayam broiler di tingkat peternak terkerek. “Saat ini HPP ayam broiler berada di level Rp 18.890 per kg, atau 4 persen di atas HPP ayam ras di tingkat wajar yaitu Rp 18.125 per kg,” bebernya. (Dye)

Baca Berita Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini