Bagaimana Ibadah Kaum Nelayan dengan Kondisi Sosialnya Yang Keras? Ini Penjelasan Dosen FDK UIN Walisongo

Saerozi (tengah), dosen FDK UIN Walisongo berfoto bersama para pengujinya setelah ujian promosi doktor di ruang ujian lt. 3 gedung Kopertais Kampus 1 UIN Walisongo Semarang. (Dok.)

SEMARANG (SigiJateng.id) – Terwujudnya masyarakat Islam yang taat menjalankan ajaran agamanya, sejahtera lahir dan batin merupakan cita-cita dari kegiatan dakwah. Upaya meraih cita-cita tersebut diupayakan oleh para tokoh agama, Kyai, dan Ustadz melalui lembaga dakwah atau pengajian agama. Namun demikian, realitas menunjukkan bahwa fungsi dan cita-cita tersebut tidaklah berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Ketika dihadapkan pada suatu masyarakat nelayan sebagai sasaran dakwah, yang mereka disibukkan oleh tuntutan sosial ekonomi, budaya, adat istiadat dan ritual agama, maka dakwah menemui beberapa kendala.

Paparan itu disampaikan oleh Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Walisongo Semarang, Saerozi, saat menjalani ujian promosi doktor di kampusnya mengajar. Saerozi sendiri mengangkat tema tingkat ketaqwaan dan keimanan masyarakat nelayan di Juwana Kabupaten Pati.

Saerozi mengatakan, kendala yang muncul bagi para nelayan untuk beribadah yaitu persoalan ekonomi (muamalah), dan persoalan Agama (ibadah). Persoalan ekonomi berkaitan dengan “kemiskinan” dan Persoalan agama berkaitan dengan “pengamalan ajaran agama”.

Persoalan yang berkaitan dengan ekonomi (muamalah) dijelaskan bahwa, karakter masyarakat nelayan dalam aspek pemenuhan kebutuhan ekonomi, berbeda dengan masyarakat petani dan masyarakat industri, dimana dalam masyarakat nelayan karakter dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup lebih keras, dan lebih banyak menghadapi resiko, hal ini karena pengaruh dari kondisi alam laut tempat mencari ikan.

“Tuntutan sosial dan ekonomi dalam pekerjaan sebagai nelayan, dihadapkan pada ketergantungan yang sangat tinggi pada kondisi musim dan ketersediaan sumber daya manusia, sumber daya laut, dan alat tangkap, hal inilah berakibat pada ketidakpastian hasil tangkapan ikan para nelayan,” ucap Saerozi, Jum’at (23/4/2021).

Disamping itu tuntutan pekerjaan sebagai nelayan harus rela meninggalkan keluarga, anak, istri untuk berlayar ke tengah laut, bahkan merantau berhari-hari di luar pulau dari tempat tinggal nelayan untuk mencari hasil tangkapan ikan. Kadang para nelayan berhasil mendapatkan tangkapan ikan tidak sesuai dengan yang diharapkan, dan terkadang pula hasilnya tidak mencukupi atau tidak dapat menutupi modal yang telah mereka keluarkan yang dalam bahasa nelayan Desa Bendar dinamakan mengalami guyur.

“Kalau kebetulan cuaca lagi baik, bahkan lagi musim ikan, serta harga ikan mahal maka penghasilan para nelayan relatif besar bahkan lebih dari menutupi modal yang mereka keluarkan. Sebaliknya jika musim buruk dan hasil tangkapan sedikit,” ucap Saerozi.

Mengutip Chaterine, Zaerosi menjelaskan pada musim panen ikan dan cuaca laut yang baik, maka para nelayan dapat memanen ikan di laut dan hasilnya melimpah. Namun demikian pendapatan yang diperoleh bagi para nelayan tradisional dan nelayan buruh habis digunakan untuk membayar utang yang telah menumpuk pada musim paceklik. Para nelayan tersebut bahkan tidak bisa menabung, hal ini karena habis untuk kebutuhan konsumtif dan bersenang-senang mencari hiburan.

Dengan demikian mereka (nelayan) dicirikan sebagai masyarakat yang berperilaku konsumtif. Ada sebagian nelayan melaut beberapa hari bahkan beberapa bulan kemudian pulang ke rumah untuk bertemu dengan istri dan anak-anak mereka, dan ada juga yang pergi untuk mencari kesenangan sendiri pergi ke tempat hiburan malam seperti tempat karaoke, micro kafe, warung minum tuak, kedai mamak, pantai amor, pantai galau, dan warung remang-remang, tujuannya adalah tidak lain hanya untuk bersenang-senang menghilangkan penat karena sudah capek bekerja berbulan-bulan di tengah laut.

Mengutip Nadjib, perilaku yang demikian disebut sebagai etos kerja yang tidak Islami, artinya semangat dan motivasi kerja para nelayan tidak dibarengi dengan semangat menjalankan ajaran Islam secara benar.

“Dengan praktik yang salah tentang etos kerja, hal ini berakibat pada lingkaran kemiskinan yang berkelanjutan,” tegas Saerozi.

Karakteristik kehidupan ekonomi seperti tersebut itulah, lanjut Saerozi, kemudian masyarakat nelayan lebih dicirikan sebagai masyarakat yang tidak bisa berinvestasi untuk masa depan, kekurangan modal dan akhirnya identik dengan lingkaran kemiskinan.

Dikatakan oleh Kusnadi, kutip Saerozi, Kemiskinan nelayan merupakan keadaan masyarakat nelayan yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan.

“Kerawanan di bidang kemiskinan inilah yang kemudian dapat menjadi lahan subur kerawanan di bidang kehidupan lainnya,” cetusnya.

“Kehidupan nelayan yang apabila dibandingkan dengan kehidupan sektor
lainnya misalnya sektor pertanian, perdagangan, dan industri maka khususnya nelayan buruh, kecil atau tradisional digolongkan sebagai lapisan masyarakat yang paling miskin, dan dikatakan oleh Fahruddin bahwa para nelayan ini sebagai kelompok nelayan atau golongan yang
paling miskin di Indonesia,” ungkapnya.

Selain persoalan ekonomi (muamalah) sebagaimana tersebut di atas, masyarakat nelayan dihadapkan juga dengan persoalan agama (ibadah) yaitu berkaitan dengan ketaatan beragama.

Ketaatan beragama merupakan perwujudan dari penerimaan dan kepatuhan seseorang terhadap ajaran agamanya. Ketaatan beragama dapat berubah (naik, turun) sebagai konsekuensi dari faktor-faktor yang mempengaruhinya.

“Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh intensitas mengikuti pengajian, usia, etos kerja, dan tingkat kesejahteraan terhadap ketaatan beragama masyarakat nelayan, baik secara individual, maupun simultan,” jelas Saerozi.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan pendekatan survei. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner, didukung wawancara, dokumentasi, observasi. Subyek yang dilibatkan dalam penelitian ini sebanyak 135 nelayan yang dipilih dengan menggunakan stratified random sampling dari 849 nelayan Desa Bendar, Juwana, Pati.

Data terkumpul dianalisis dengan Regresi linier sederhana dan Regresi linier berganda.Hasil analisis data menunjukkan bahwa: (1) Secara individual, semua variabel independen berpengaruh secara signifikan terhadap ketaatan beragama masyarakat nelayan, artinya semakin tinggi nilai variabel independen, semakin tinggi pula nilai variabel dependennya. (2) Secara simultan, tidak semua variabel independen berpengaruh signifikan terhadap ketaatan beragama masyarakat nelayan. Intensitas mengikuti pengajian tidak berpengaruh signifikan terhadap ketaatan beragama, sementara tiga prediktor lainnya, yaitu; usia, etos kerja, dan tingkat kesejahteraan berpengaruh signifikan terhadap ketaatan beragama. (Mushonifin)

Baca Berita Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini