Polda Jateng Ajak Mahasiswa Lawan Radikalisme dan Hoax

FGD yang digelar Polda Jateng di hotel Pesona Semarang. (mushonifin/sigijateng.id)

SIGIJATENG.ID, Semarang – Polda Jawa Tengah mengadakan Focus Grup Discusion (FGD) bersama organisasi gerakan mahasiswa PMII, HMI, IMM, GMNI, GMKI, dan KAMMI tingkat Provinsi Jawa Tengah di Hotel Pesonna Jl. Depok Semarang Tengah, Senin (14/10/2019). FGD ini bertema “Literasi digital melawan radikalisme dan hoax di media sosial”.

Kegiatan dibuka oleh Direktur Intel dan Keamanan Polda Jateng, Yudha Gustawa. Dalam pembukaannya beliau mengatakan bahwa dinamika media sosial sekarang ini perlu kita waspadai, banyak hoax yang beredar yang berujung pada ajakan melakukan kekerasan atas nama agama.

“Kita juga sering menjumpai kegiatan indoktrinasi hingga pembai’atan gerakan teror melalui media sosial, ini perlu ada peran dari masyarakat dan mahasiswa untuk turut mencegahnya”, jelas Yudha Gustawa.

“Melalu FGD ini saya mengharapkan mahasiswa bisa menularkan dan membantu menyebarkan dakwah untuk mengantisipasi potensi ajaran radikal di kos-kosan atau tempat tinggal mahasiswa yang lain,” tambahnya

Dr. Taufiq, MA seorang peneliti lepas Litbang Kementrian Agama Pusat dan mantan aktivis gerakan intoleran menjelaskan perjalanannya dalam menggeluti pemahaman radikal. Dia mengatakan pernah masuk kedalam camp pelatihan Jama’ah Islamiyah (JI) dan berlatih “perang-perangan” di lereng gunung sindur Cirebon. Dia juga bercerita soal pengalamannya bergabung dengan Hizbut Tahrir dan kelompok salafi.

“Pengalaman-pengalaman seperti itu membawa saya pribadi belajar menjadi bijak. Saya menyadari ternyata kelompok-kelompok radikal itu tak akan pernah cinta NKRI”, jelasnya.

“Gerakan mereka bahkan sudah ditolak dan dilarang di negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim sendiri”, tambahnya.

Peneliti yang pernah menjadi murid Syaikh Utsaimin dan Syaikh Bin Baz (dua guru besar salafi-wahabi) ini juga mengisahkan pengalamannya mengambil alih 50 masjid di Bekasi yang dikuasi oleh kelompok Islam radikal.

Salsabilah, salah satu peserta menanyakan kenapa bisa muncul kelompok-kelompok yang seperti itu.

“Kalo radikal kita artikan cinta yang berlebihan dengan cara yang salah, kenapa bisa ada yang seperti itu?”, tanya mahasiswi Udinus ini.

“Ciri-ciri salafi-wahabi yang di dalamnya terdapat HTI adalah penolakannya terhadap madzhab, mengupayakan pemurnian ajaran agama, anti budaya lokal (walaupun sekarang mereka melakukan penyesuaian agar bisa diterima) dan dalam berpolitik menolak partai politik dan menentang demokrasi serta mencita-citakan Khilafah Islamiyah”, tambahnya.

“Berbeda dengan IM yang lebih dinamis, sama-sama memperjuangkan konstitusi islam tapi mereka lewat jalur konstitusional, seperti membentuk partai politik dan mengikuti prosedur umum berpolitik di suatu negara, di Indonesia ada PKS yang seperti itu”, pungkas Taufiq. (mushonifin)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini