Kyai Fadlolan; Reuni 212 Rentan Dimanfaatkan Orang Tidak Bertanggung 

Dr. Najahan Musyafak MA dan KH. Fadlolan Musyaffa sedang memberikan materi di seminar Musda XIV DPD KNPI Kota Semarang bertema "memperkokoh NKRI di Tengah Isu Radikalisme" di Grand Edge Hotel (mushonifin/sigijateng.id)

SIGIJATENG.ID, Semarang – DPD KNPI Kota Semarang menggelar seminar dalam rangkaian Musda XIV bertema “memperkokoh NKRI di Tengah Isu Radikalisme” di Grand Edge Hotel Gajahmungkur Semarang pada Jum’at  (29/11/2019). Hadir sebagai pembicara Dr. Najahan Musyafak MA dan KH. Fadolan Musyaffa’

Najahan Musyafak menyampaikan bahwa lembaga kepemudaan kini menjadi satu di antara pintu masuknya radikalisme di Indonesia. Untuk itu, mereka diimbau untuk bisa mengantisipasi setiap momentum yang kemungkinan dimanfaatkan segelintir orang dan memfilter informasi yang didapat dari internet, khususnya jejaring sosial.

”Radikalis kini tidak lagi sembunyi-sembunyi dalam memaparkan radikalisme di Indonesia. Bahkan adanya paparan radikalisme yang sempat diteliti di BUMN beberapa waktu lalu bukan lagi isapan jempol, itu riil. Sasarannya bukan orang tua tapi pemuda usia 18-31 tahun,” kata dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN  Walisongo itu.

”Hari ini mereka sedang mencari momentum. Saya sedikit khawatirkan hal ini bisa diembuskan dalam rencana Reuni 212. Momentum ini bukan mereka yang rancang, tapi bisa dimanfaatkan para radikalis. Teman-teman pemuda di KNPI harus pandai menyikapi momentum itu agar tidak terpancing dan terjebak,” lanjutnya.

Dia menyebut di Kota Semarang sudah ada benih-benih radikalisme. Dari hasil penelitian, ada banyak kelompok intoleran yang hidup di Semarang.
Najahan juga menyebut dulu dedengkot teroris yang bernama Noordin M Top dan Dr Azhari sering datang ke Semarang dan hidup nyaman tanpa gangguan. Mantan-mantan narapidana kasus terorisme di Semarang juga disebut masih ada.

”Untuk itu, lembaga kepemudaan harus bersatu dan sepakat untuk mempekuat NKRI. Sebab bergesernya nasionalisme bisa menyebabkan lunturnya identitas diri. Untuk itu, pemuda perlu bangga menjadi Indonesia dan dinyalakan dimana-mana,” tandasnya.

Sementara itu, Dr Fadlolan Musyaffa Lc MA mengatakan bahwa benih radikalisme memang ada di Indonesia sejak zaman pemberontakan DITII, Permesta PRRI, hingga G30S PKI. Sekalali pun organisasinya sudah tidak ada, lanjutnya, buku dan kadernya dilihat masih ada.

”Ada tiga tipologi radikalime. Mulai dari benih yang dibawa dari luar negeri dan subur di Indonesia. Ada benih yang disuburkan oleh orang Indonesia yang pernah ke luar negeri dan dari orang asing bersama orang Indonesia memupuk dua benih itu,” kata pengasuh Pondok Pesantren Fadhlul Fadhlan Mijen itu.

”Indonesia bukan negara agama, tapi negara persatuan. Kita meneladani Nabi Muhammad SAW saat beliau mendirikan negara persatuan di Madinah.  Konsep Madinah itu bukan negara agama, tapi persatuan. Buktinya adalah berbagai macam keragaman agama ada di sana. Mulai dari majusi, yahudi, dan nasrani. Rasulullah berhasil membuat sebuah konstitusi kenegaraan yang mampu membuat semua warga negara sama derajatnya,” imbuhnya.

Menyinggung soal Reuni 212, Fadlolan berpendapat semula beberapa tahun lalu agenda itu sebenarnya kesempatan politis bagi seorang figur yang diharapkan mendukung pemikiran Indonesia dengan wajah baru. Menurutnya ada ruang kosong yang bisa dimanfaatkan orang tidak bertanggung jawab di Reuni 212. 

“sebenarnya itu karena mereka sudah percaya diri untuk tampil di publik. Dulu kelompok intoleran itu takut untuk menampakkan diri mereka di depan umum. Sekarang mereka malah berani demo. ini menurut saya rentan dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggungjawab,” jelasnya. 
Senada dengan Fadlolan, Najahanpun mengamini bahwa gerakan-gerakan semacam reuni 212 sangat mudah disusupi kepentingan. (Mushonifin)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini