Usia Produktif di Jateng Membludak; Bonus Demografi atau Bencana Demografi? Begini Kata Anggota Dewan

Suasana Dialog Parlemen di Studio Berlian TV dengan Tema "Tekan Ledakan Penduduk, Dukung Keluarga Berencana" bersama Anggota Komisi E DPRD Jawa Tengah, Joko Haryanto dan Ketua Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Tengah, Drg. Widiwiono, M. Kes., (foto sigijateng)

SEMARANG (Sigi Jateng) – Sensus tahun 2020 mencatat penduduk di Jawa Tengah pada akhir September tahun lalu sebanyak 36,52 juta jiwa. Sejak sensus tahun 2010, penduduk Jawa Tengah mengalami peningkatan sebanyak 4,1 juta jiwa atau rata-rata 400 ribu jiwa setiap tahun.

Yang menarik dari sensus 2020 ini adalah kemunculan generasi Z (Gen-Z) atau generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012 atau generasi yang usianya antara 8 hingga 23 tahun yang jumlahnya mencapai 25,31 persen atau seperempat dari total penduduk di Jawa Tengah. Kelompok ini menempati porsi kependudukan terbesar dari segi usia.

Jika dikelompokkan berdasarkan usia, kelompok usia produktif mulai dari usia 15 hingga 64 tahun ada sebanyak 70,61 persen. Sedangkan penduduk usia non-produktif yakni lansia 65 tahun keatas serta anak-anak usia 0-14 tahun sebanyak 29,39 persen. Angka-angka ini menunjukkan bahwa Jawa Tengah sedang mengalami fenomena bonus Demografi.

Lalu apa yang harus dilakukan dengan adanya bonus demografi ini? Serta bagaimana menekan pertumbuhan penduduk di Jawa Tengah?

Bonus Demografi jelas menjadi berkah pembangunan jika keberadaan mereka terkelola dengan baik dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul dan memiliki lapangan kerja yang memadai. Namun akan menjadi boomerang bagi pembangunan jika kualitas SDM tidak bisa dimaksimalkan dan menjadi pengangguran.

Anggota Komisi E DPRD Jawa Tengah, Joko Haryanto mengatakan ada banyak resiko jika ledakan penduduk tidak bisa dikendalikan. Dia mengatakan akan ada banyak pengangguran, kriminalitas, hingga beban ekonomi yang harus ditanggung pemerintah. Namun demikian pemerintah telah membuat regulasi di bawah Komando Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang sebenarnya sudah baik. Tapi sayangnya, menurut Joko Haryanto, dalam pelaksanaannya Pemerintah, terutama Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, setengah hati.

“Oleh karena ketika Pemerintah membuat peraturan tidak diimbangi dengan punishment. Berbeda dengan China, dengan ledakan penduduk yang hampir 3 Miliar itu saat ini mereka hanya memperbolehkan memiliki anak satu. Jika lebih dari satu maka akan ada punishment. Kita perlu belajar kesana,” ujar Joko saat melakukan Dialog Parlemen di Berlian TV pada Rabu (2/6/2021), bersama dengan Ketua Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Tengah, Drg. Widiwiono, M. Kes.

Joko Haryanto memaparkan, jika ledakan penduduk tidak dikendalikan maka bumi makin menyempit dan lapangan pekerjaan juga semakin rebutan.

“Padahal kita tahu kedepan lapangan pekerjaan akan semakin didominasi tenaga bukan manusia. Nah ini perlu dipertimbangkan oleh Pemerintah agar pengangguran tidak membludak, kriminalitas tidak meningkat, ekonomi juga bisa berputar kencang. Kan begitu. Jadi BKKBN perlu untuk memikirkan punishment bagi mereka yang memiliki anak melebihi ketentuan,” tandas anggota dewan dari Partai Demokrat ini.

Di sisi lain, menurut pengamatan Joko, ada kelompok-kelompok yang kesannya dibiarkan memiliki prinsip “banyak anak banyak rejeki”. Dan di masyarakat memang ada kelompok-kelompok yang anti dengan “pembatasan jumlah anak” dan bahkan tidak mau mengikuti program KB.

“Tujuan mereka jelas secara ideologis ingin melahirkan banyak anak tanpa pembatasan demi kelestarian kelompok mereka sendiri. Saya kira masyarakat intelektual tidak boleh mentoleransi kelompok semacam ini dan pemerintah jangan membiarkan,” jelasnya.

Soal punishment, Joko melanjutkan, mungkin pemerintah bisa memulai dari Aparatur Negara baik sipil maupun militer dengan penundaan pangkat atau gaji. Dengan demikian mereka akan meminimalisir kelahiran anak ketiga keempat dan seterusnya. Kita juga sering lihat kan Aparatur Negara yang anaknya lima, enam, tujuh.

“Karena apa? Kita juga harus sadar bahwa memiliki anak juga harus bertanggung jawab atas masa depan dan pendidikannya,” pungkasnya.

Sementara itu, Ketua Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Tengah, Drg. Widiwiono, M. Kes., menjelaskan peran BKKBN. Dia mengatakan BKKBN punya dua fungsi.

“Pertama untuk mengendalikan pertumbuhan jumlah penduduk. Alhamdulillah dalam pengendalian kesuburan itu di Jawa Tengah punya fertilitas rata-rata setiap keluarga melahirkan sekitar 2,27 anak. Sedangkan tingkat nasional sebanyak 2,45 anak setiap keluarga,” ucap Widiwiono.

Widiwiono menjelaskan memang sudah ada target untuk pengurangan pertumbuhan jumlah penduduk pada 2024.

“Bapak Presiden sendiri menginginkan tingkat rata-rata fertilitas (kesuburan) bisa diturunkan menjadi 2,1 pada tahun 2024 mendatang,” paparnya.

“Kita di Jawa Tengah bisa dibilang on the track ya dengan angka 2,27 tinggal mengurangi sedikit lagi,” tandasnya.

Widiwiono mengatakan, jika angka 2,1 ini bisa dipertahankan dalam waktu yang sangat lama, maka manfaat bonus demografi juga bisa dirasakan dalam waktu yang sangat lama juga. Dengan catatan seluruh warga negara memiliki kesabaran untuk bereproduksi.

Lalu kemudian tugas kedua BKKBN adalah untuk meningkatkan kualitas penduduk.

“Jadi jika tugas pertama BKKBN adalah menurunkan kuantitas Fertility Rate hingga ke angka 2,1. Nah terkait tugas meningkatkan kualitas penduduk ini, kebetulan pada Januari lalu Pak Presiden menunjuk Ketua BKKBN pusat sebagai ketua pelaksana penurunan prevalensi stunting nasional,” kata dia.

Menurut catatan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) , 54 persen tenaga kerja di Indonesia dulunya waktu kecil itu kena stunting. Risiko stunting ini sangat berpengaruh pada ukuran tubuh dan ukuran otak, dan tentu juga berpengaruh pada produktifitas kerja saat mereka berusia produktif. Tentu stunting ini sangat menghambat perkembangan ekonomi.

“Nah saat ini angka stunting di Indonesia sebanyak 27,68 persen, dan itu angka yang cukup tinggi. Kemudian untuk di Jawa Tengah, angka stuntingnya sebanyak 27,67 persen. Sementara Bapak Presiden menginginkan pada tahun 2024 harus bisa diturunkan sampai ke angka 14 persen, atau setiap tahun harus turun setidaknya tiga persen. Padahal, selama lima tahun terakhir penurunannya hanya 1,3 persen, itu pun berfluktuasi,” bebernya.

“Untuk penurunan stunting kita punya target prioritas ke ring satu, antara lain; ibu hamil, ibu menyusui, dan balita usia dua tahun. Lalu ring duanya anak usia lima tahun hingga orang dewasa calon pengantin. Kenapa calon pengantin? Karena kualitas nutrisi yang mereka konsumsi sangat berpengaruh terhadap kualitas keturunan yang mereka lahirkan. Kualitas sperma dan sel telur mereka juga perlu diperhatikan,” jelas Widiwiono.

Saat ini, jelas Widiwiono, BKKBN memiliki prosedur pendaftaran pernikahan tiga bulan sebelum pelaksanaan nikah untuk memberikan edukasi terkait persiapan fisiologis agar fisik dan kesehatan calon pengantin betul-betul bagus demi menciptakan keturunan yang berkualitas.

Selain itu, BKKBN juga memasukkan kategori remaja dalam ring dua. Hal ini dikarenakan kesehatan remaja, setelah diteliti, ternyata mereka kekurangan darah merah karena kualitas makanan yang mereka makan sangat buruk.

“Remaja-remaja ini ketika diperiksa Hemoglobin (HB) -nya Rata-rata di bawah sebelas, ada yang sepuluh ada yang sebelas, terutama remaja perempuan yang sehabis menstruasi kualitas makannya rendah karena hobi makan fast food,” tandas Widi.

“Nah remaja yang HBnya kurang pasti produktivitasnya juga kurang. Sekilas fisiknya sehat, bisa lari-lari dan bisa jalan. Tapi pasti akan mudah lelah,” pungkasnya. (ADV)

Baca Berita Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini