Penjara Overload, Kemenkumham Sebut Telah Pulangkan 30.000 Napi Melalui Program Asimilasi

Ilustrasi - Narapidana diberi pelatihan mengelas dan perbengkelan. Sebanyak 30.000 narapidana itu dipulangkan melalui program asimilasi dan integrasi Kemenkumham.

Jakarta (Sigi Jateng) – Sejak awal pandemi Covid-19, sebanyak 30.000 narapidana dipulangkan ke rumahnya masing-masing melalui program asimilasi dan integrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).

Wamenkumham, Eddy O.S Hiariej menjelaskan salah satu alasan pihaknya ‘merumahkan’ 30.000 narapidana tersebut. Saat ini Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) maupun Rumah Tahanan (Rutan) sudah kelebihan muatan (overcrowded).

“Pada awal terjadi Covid-19 kurang lebih ada 30.000 narapidana yang ‘dirumahkan’ melalui proses Asimilasi maupun Pembebasan Bersyarat dan ini adalah kebijakan yang reasonable dan dapat dipertanggungjawabkan,” ujar Eddy Hiariej saat mengikuti diskusi bertajuk ‘Covid-19, Prison Overcrowding, and Their Impact on Indonesia’s Prison System’ yang digelar secara virtual pada Kamis, (5/8/2021).

Eddy mengungkapkan, situasi overcrowded yang terjadi di lapas menjadi tantangan yang tidak mudah bagi Kemenkumham di tengah pandemi Covid-19. Sebab dengan overcrowded tersebut, Kemenkumham kesulitan untuk menerapkan protokol kesehatan (prokes) di dalam lapas.

Lebih lanjut, Eddy Hiariej menyoroti permasalahan kelebihan muatan di sejumlah lapas. Ia menekankan bahwa lapas saat ini hanya bersifat menerima putusan pengadilan dan tidak dapat melakukan intervensi dalam sistem peradilan pidana.

Menurutnya, untuk mengatasi overcrowding tersebut, tidak cukup hanya dengan membangun lapas. Namun, lebih merujuk pada perubahan paradigma hukum pidana yang dianut aparat penegak hukum. Terlebih, sambungnya, mayoritas penghuni lapas merupakan terpidana kasus narkoba.

“Mengapa terjadi overcrowding tidak lepas dari paradigma hukum pidana yang masih dianut yang melihat hukum pidana hanya pada keadilan retributif. Padahal sejak 1990 sudah ada perubahan paradigma hukum pidana modern yang tidak hanya berorientasi pada keadilan retributif atau pembalasan, tetapi keadilan korektif, restoratif dan rehabilitatif,” ungkapnya.

Oleh karenanya, Eddy Hiariej mendesak agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Narkotika, RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan RUU Pemasyarakatan untuk segera disahkan. Hal itu diyakini Eddy bisa menurunkan kelebihan muatan di dalam lapas.

Sebab, kata Eddy, dalam RUU KUHP terdapat pemindahan lain seperti denda, pengawasan, percobaan, dan kerja sosial yang lebih diutamakan dibanding pidana penjara.

“Serta, dalam RUU Pemasyarakatan, lapas tidak lagi sebagai tempat pembuangan akhir, namun terlibat sejak awal dalam proses ajudikasi,” imbuhnya. (Dye)

Baca Berita Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini