Mayday 2021, Pekerja PLN Tolak Privatisasi Listrik

ilustrasi. (Dok.)

SEMARANG (Sigi Jateng) – Federasi Serikat Pekerja Listrik Nasional (FSPLN)Jawa Tengah dan DI Yogyakarta ikut meramaikan momentum peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) yang jatuh pada Sabtu (1/5/2021).

Koordinator Departemen Media dan Propaganda FSPLN, Rizky Wibisono mengatakan pihaknya mengkampanyekan perlawanan terhadap privatisasi ketenagalistrikan. Selain juga terus menolak UU Cipta kerja.

“Perlawanan terhadap privatisasi di PLN harus terus disuarakan mengingat di dalam UU Cipta Kerja ruang ketenagalistrikan bisa dikuasai oleh swasta. Disaat ketenagalistrikan sudah dikuasai oleh swasta dimungkinkan PLN selaku pemegang otoritas tidak bisa berperan penuh terhadap tarif listrik. Artinya masyarakat pengguna kelistrikan yang akan merasakan imbas dari kenaikan harga yang ditetapkan oleh swasta,” ungkap Rizki dalam aksinya.

Rizky menambahkan, kaitannya dengan tenaga alih daya di lingkungan PLN bahwa privatisasi tersebut akan berdampak pada kebijakan yang merugikan pekerja alih daya itu sendiri ditambah adanya UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan diantaranya masih berlakunya sistem kerja outsourching yang banyak sekali merugikan pekerja ditambah masih lemahnya pengawasan di tubuh PLN dalam menangani vendor bermasalah yang tidak menjalankan ketentuan sesuai aturan dan kebijakan PLN.

Rizky menyatakan, atas dasar efisiensi anggaran ternyata PLN sudah mulai memangkas anggaran kontrak alih daya yang akan diberlakukan pada kontrak multiyears II.

“Pada kontrak alihdaya multiyears I yang dilaksanakan pada tahun 2014/2015 ditegaskan dalam Surat Keputusan Direksi Nomor 500 tahun 2013 bahwa upah pekerja terdiri dari Upah Minimum Kota ditambah koefisien sebesar 10% untuk membedakan tenaga alih daya di lingkungan PLN dan pekerja alihdaya di luar PLN. Demikian halnya untuk kontrak alihdaya multiyears II yang tercantum dalam Peraturan Direksi Nomor 0219 tahun 2019 bahwa dalam komponen upah terdiri atas Upah Tetap dan Tidak Tetap,” paparnya usai aksi.

Untuk upah tetap terdiri dari upah pokok ditambah Tunjangan Masa Kerja yang baru bisa dirasakan pada tahun kedua dan upah tidak tetap berupa bantuan pengembangan kompetensi yang nilai besarannya pada tiap bagian jenis pekerjaan berlaku sama.

“Pada komponen hak normative lain seperti BPJS Kesehatan ; BPJS Ketenagakerjaan ; serta Uang Pengakhiran yang dipakai dasar oleh PLN dan diterima pekerja alihdaya adalah upah pokok dan upah yang dilaporkan untuk iuran BPJS adalah upah pokok yang berimbas terhadap uang pesangon dan manfaat Jaminan Hari Tua serta Jaminan Pensiun pekerja di kemudian hari,” terangnya.

Oleh karenanya, FSPLN meminta kepada PLN untuk tidak memakai Perdir 0219 tahun 2019 serta mengembalikan pada aturan SKD 500 tahun 2013 untuk kontrak multiyears II supaya kesejahteraan pekerja alihdaya bisa merasakan manfaatnya.

Sebelumnya, Ketua Umum Serikat Pekerja (SP) PLN, M. Abrar Ali dalam keterangannya menyebutkan berdasarkan Putusan MK tahun 2004 dan 2016 pada UU Ketenagalistrikan, tenaga listrik adalah salah satu cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, tenaga listrik harus dikuasai oleh negara.

“Perubahan UU Ketenagalistrikan pada pasal 42 UU Cipta Kerja mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Judicial Review terhadap pasal 10 ayat (2) tentang Unbundling dan pasal 11 ayat (1) tentang Swastanisasi atau Liberalisasi Sektor Ketenagalistrikan,” kata Abrar.

Sebelumnya, serikat pekerja pegawai PLN telah mengajukan uji materi (judicial review) terhadap UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK), baik formil maupun materiil. Menurut Abrar, berlakunya UU Cipta Kerja berpotensi membebani negara untuk memberikan subsidi, dan bila beban subsidi tersebut tidak bisa ditanggung APBN, berpotensi menyebabkan kenaikan harga listrik bagi masyarakat.

Agar hal itu tidak terjadi, sektor ketenagalistrikan wajib dikuasai oleh Negara dari hulu sampai hilir dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia

Ketua Umum PPIP Dwi Hantoro dari Serikat Pekerja Indonesia Power selaku anak perusahaan PLN menambahkan bahwa aturan turunan UU Cipta Kerja, yaitu PP No 25 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral juga berpotensi merugikan rakyat. Ia menilai pasal tersebut menghilangkan kewenangan presiden dan menghilangkan penguasaan negara.

“SP PLN yang merupakan serikat pekerja pegawai organik maupun FSPLN serikat pekerja dari pekerja alihdaya mempunyai mandat untuk memastikan bahwa listrik dikelola oleh negara, murah, terjangkau dan berkelanjutan. Oleh karena itu, dalam momentum hari buruh ini, kami meminta agar privatisasi dan segala bentuk ‘outsourcing’ harus dihapuskan,” kata dia. (Mushonifin)

Baca Berita Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini