Kamis, September 19, 2024
No menu items!

Covid-19 itu Bencana Murni atau Bencana by design? Begini Analisa Dosen UIN Sunan Ampel

SIGIJATENG – Hingga hari ini jumlah pasien Covid-19 ternyata terus bertambah. Rencana penerapan New Normal (Normal Baru) belum bisa diberlakukan dengan maksimal di Indonesia. Hanya sedikit daerah yang siap  menerapkan New Normal. Bahkan, DKI Jakarta juga memperpanjang status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Jawa Tengah, dan juga Kota Semarang juga belum berani mengumumkan kapan New Normal akan di terapkan. Gubernur Jateng Ganjar menyatakan tidak akan tergesa-gesa menerapkan new normal. Covid oh covid.

Sebetulnya apa itu Covid-19? Rekayasa atau Bencana? Yuk kita simak tulisan Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya yang termuat  di nuonline sebagai tambahan pengetahuan dan khasanah ilmu.

Kala Covid-19 menyerang Indonesia dan dunia, muncul berbagai spekulasi terkait pandemi tersebut. Tidak sedikit yang memandang wabah ini sebagai sebuah serangan biologis terhadap kekuatan politik global. Baginya, apa yang terjadi ini bukanlah bencana murni (by accident), tapi bencana yang direkayasa (by design). Ini adalah aksi serangan biologis dalam peperangan antara China versus Amerika.

China yang sukses menurunkan tingkat kemiskinan dari 88% pada 1981 ke 6,5% pada 2012 sesuai laporan Bank Dunia, membuatnya melaju pesat tak tertandingi. Kemampuannya mendidik rakyat menjadi tenaga terampil menjadikannya sukses besar dalam industri manufaktur sehingga menjadi raksasa ekonomi dunia. Capaian yang dahsyat ini menggiringnya pada perang dagang dengan Amerika yang kemudian sering dikaitkan dengan sebab musabab di balik pandemi Covid-19 di mana Amerika menjadi korban terbesarnya. Jatuhnya banyak korban kematian Covid-19 yang melebihi korban Perang Dunia 2 (lebih 100.000 jiwa) adalah serangan telak China atas rivalnya itu, kata sebagian orang.

Pandangan semacam ini, yang memandang bencana dengan kacamata konflik global, adalah pandangan yang didasarkan pada teori konspirasi. Dengan cara mengaitkan antara satu fakta dengan fakta yang lain dan mengembangkan sangkaan yang logis tanpa pembuktian empiris yang serius. Mereka bermain pada tataran surface yang dengan mudah bisa diterima oleh khalayak karena seolah rasional.

Dalam teori kebenaran terdapat teori korespondensi dan teori koherensi. Kerja ilmiah sebisa mungkin menggunakan keduanya, yaitu kesesuaian pikiran dan fakta (korespondensi) dan hubungan logis antara satu pernyataan dan pernyataan lainnya dalam sebuah argumen (koherensi). Penggunaan teori konspirasi dalam menganalisis sebuah kejadian hanya mengandalkan koherensi dan mengabaikan korespondensi. Tidak heran jika para akademisi kampus jarang sekali menggunakan teori ini kecuali para aktivis dari kalangan mereka. Aktivis yang seringkali menyuarakan kebenaran idealis dan nilai-nilai moral yang kerap bergesekan dengan kekuatan sosial-ekonomi-politik sehingga sulit menghindari penggunaan teori ini. Kecarutmarutan yang ada tidak mudah ditemukan bukti empirisnya. Ibarat bau kentut yang mengganggu, orang tidak punya bukti siapa yang mengeluarkan gas ‘beracun’ itu. Orang hanya bisa menduga karena yang kentut tidak pernah mengaku. Di sinilah diskusi berdasarkan dugaan menjadi jamak dan dimaklumi.

Untuk mengatakan bahwa Amerika diserang oleh China lewat virus Corona, secara ilmiah ia tidak bisa hanya berdasarkan pada preseden perang dagang antara Amerika dan China. Ia harus benar-benar ditemukan fakta bahwa China mengirimkan agennya untuk menyebarkan virus tersebut. Jika belum ada yang tertangkap melakukan itu, sulit standar ilmiah menerimanya. Haruskah kenaikan pajak atas produk China yang masuk ke Amerika yang memberatkan pemerintah China dibalas dengan virus yang membunuh 100.000 warga Amerika yang tidak berdosa?

Bukankah sebelum merebak ke seantero jagat, China yang terlebih dahulu terkena virus itu? Kalau memang untuk menyerang Amerika dengan senjata biologis itu, mengapa harus China sendiri yang mencicipinya? Apakah tega mengorbankan rakyat sendiri sebagai uji coba sebelum dipakai menyerang lawan? Teori konspirasi hanya menduga-duga tanpa mampu membuktikannya. Mengapa? Karena sangat sulit melakukannya. Hanya lembaga dengan kapasitas luar biasa seperti badan intelijen yang mampu melakukannya karena banyaknya sekat sosial dan birokrasi yang menahannya. Hanya badan intelijen yang manpu menembus sekat seperti itu. (Aris)

Baca Selengkapnya Disini..

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

RELATED ARTICLES
- Advertisment -

Popular 24 Jam