Jakarta (sigijateng.id) – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menetapkan 1 Ramadhan 1444 Hijriah jatuh pada Kamis 23 Maret 2023 Masehi. Keputusan tersebut ditetapkan berdasarkan hasil hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.
Lantas, apa itu hisab hakiki wujudul hilal? Serta bagaimana cara menentukannya?
Sebagaimana dikutip dari Muhammadiyah.or.id, Ustadz Ilham Ibrahim mengungkapkan bahwa metode hisab dapat menghitung posisi-posisi geometris benda-benda langit guna menentukan penjadwalan waktu di muka bumi, sehingga dapat membuat perhitungan awal bulan kamariah dan penanggalan.
Dalam perjalanannya, Muhammadiyah telah berperan aktif dan kreatif dalam mengembangkan ilmu hisab di Indonesia, dan dapat dikatakan sebagai pelopor penggunaan hisab untuk penentuan bulan kamariah yang terkait dengan ibadah.
Dalam penentuan awal bulan kamariah, Muhammadiyah tidak mendasarkan pada metode hisab urfi, karena perhitungannya didasarkan pada peredaran bulan dan bumi rata-rata dalam mengelilingi matahari, sehingga menghitung umur bulan secara tetap, yakni pematokan hari dalam bulan-bulan hijriyah sebanyak 30 hari untuk bulan ganjil (bulan ke-1, 3, 5, 7, 9, 11) dan 29 hari untuk bulan genap (bulan ke-2, 4, 6, 8, 10, 12) secara terus-menerus dalam satu tahun, kecuali bulan Dzulhijjah pada tahun kabisat berjumlah 30 hari.
Muhammadiyah mengacu pada gerak faktual bulan di langit sehingga bermula dan berakhirnya bulan kamariah berdasarkan pada kedudukan atau perjalanan bulan tersebut. Inilah yang dinamakan dengan hisab hakiki.
Penggunaan hisab hakiki oleh Muhammadiyah ini disebabkan perhitungan yang dilakukan terhadap peredaran bulan dan matahari menurut hisab ini harus sebenar-benarnya dan setepat-tepatnya berdasarkan kondisi bulan dan matahari pada saat itu.
Lebih jauh, Muhammadiyah menggunakan hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal, yakni matahari terbenam lebih dahulu daripada bulan walaupun hanya berjarak 1 menit atau kurang.
Ide ini berasal dari pakar falak Muhammadiyah Wardan Diponingrat yang tidak hanya dipahami berdasarkan pada Surat Yasin Ayat 39–40, melainkan juga menggunakan perangkat lain seperti hadits dan konsep fikih lainnya serta dibantu ilmu astronomi.
Syarat Hisab Hakiki Wujudul Hilal
Dalam buku “Pedoman Hisab Muhammadiyah” dijelaskan bahwa dengan hisab hakiki wujudul hilal, bulan kamariah baru dimulai apabila pada hari ke-29 berjalan saat matahari terbenam terpenuhi tiga syarat berikut secara kumulatif, yaitu:
(1) Telah terjadi ijtimak; (2) Ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam; (3) Pada saat matahari terbenam, bulan (piringan atasnya) masih di atas ufuk. Apabila salah satu dari kriteria tersebut tidak dipenuhi, maka bulan berjalan digenapkan 30 hari dan bulan baru dimulai lusa.
Tidak semua metode hisab hakiki mensyaratkan keberadaan bulan di atas ufuk saat matahari terbenam pada hari konjungsi. Dalam hisab hakiki kriteria ijtima sebelum gurub (al-ijtima’ qabla al-ghurub), misalnya apabila ijtimak terjadi sebelum matahari tenggelam, maka malam itu dan esok harinya adalah bulan baru, dan apabila ijtimak terjadi sesudah matahari terbenam, maka malam itu dan esok harinya adalah hari penggenap bulan berjalan, dan bulan baru dimulai lusa.
Kriteria ini tidak mempertimbangkan apakah pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk atau di bawah ufuk.
Padahal, ufuk menjadi garis penentu apakah bulan baru sudah wujud atau belum. Apabila pada saat terbenamnya matahari, bulan telah mendahului matahari dalam gerak mereka dari barat ke timur, artinya saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk, maka itu menandai dimulainya bulan kamariah baru.
Akan tetapi apabila bulan belum dapat mendahului matahari saat gurub, dengan kata lain bulan berada di bawah ufuk saat matahari tenggelam, maka bulan kamariah baru belum mulai; malam itu dan keesokan harinya masih merupakan hari dari bulan kamariah berjalan.
Bagi Muhammadiyah, menjadikan keberadaan bulan di atas ufuk saat matahari terbenam sebagai kriteria mulainya bulan kamariah baru juga merupakan abstraksi dari perintah-perintah rukyat dan penggenapan bulan 30 hari bila hilal tidak terlihat.
Hilal tidak mungkin terlihat apabila di bawah ufuk. Hilal yang dapat dilihat pasti berada di atas ufuk. Apabila bulan pada hari ke-29 berada di bawah ufuk sehingga tidak terlihat, lalu bulan bersangkutan digenapkan 30 hari, maka pada sore hari ke-30 itu saat matahari terbenam untuk kawasan normal Bulan sudah pasti berada di atas ufuk.
Wallahu a’lam bishawab. (Red)
Baca Berita Lainnya
- Polisi Bekuk 3 Muncikari di Purwokerto, Modus Jual Wanita Muda Via MiChat Tarif Rp 150 Ribu hingga Rp 300 Ribu
- Jelang Mudik Lebaran 2024, Jalingkut Kota Tegal-Brebes Diperbaiki, Polisi Mulai Rekayasa Lalu Lintas
- 4 ABG di Wonogiri Luka-luka Terkena Ledakan Mercon Racikan Sendiri, Polisi Ungkap Kronologinya Begini
- Warga Sebut Gas LPG 3 Kg Langka Barang, Per Tabung Tembus Rp27 Ribu, Disdagkop UKM Kendal Beri Penjelasan Begini
- Langkah Proaktif, Perumda Air Minum (PAM) Sendang Kamulyan Batang Siapkan Tim ULC yang Siaga 24 Jam Jaga Pasokan Air