Tawarkan Konstruksi Hukum Perlindungan Kebebasan Beragama, Anthin Latifah Raih Doktor di UIN Walisongo

Anthin Latifah saat mempresentasikan disertasinya yang berjudul "Konstruksi Hifz Al-Din (perlindungan agama) Dalam Perundang-undangan dan Implementasinya di Indonesia" pada ujian doktoral pada Rabu (12/1/2022) di UIN Walisongo Semarang. (Foto. Dok. Humas UIN Walisongo Semarang)

SEMARANG (Sigi jateng) – Konstruksi perlindungan dan kebebasan beragama dalam perundang-undangan di Indonesia masih memunculkan masalah baik dalam tataran juridis terkait pembatasan agama dalam UU No 1 Penetapan Presiden tahun 1969 tentang Perlindungan Penodaan Agama (UU PNPS 1969) maupun sosiologis karena masih menyisakan masalah diskriminasi, kekerasan dan ketidakadilan.

Kajian ini jadi objek penelitian Anthin Latifah pada ujian doktoral pada Rabu (12/1/2022) di UIN Walisongo Semarang. Dalam ujian tersebut, Anthin membuat disertasi berjudul Konstruksi Hifz Al-Din (perlindungan agama) Dalam Perundang-undangan dan Implementasinya di Indonesia. Dan diapun meraih gelar doktor di UIN Walisongo.

Anthin mendeskripsikan konstruksi ḥifẓ al-dīn dalam perundang-undangan di Indonesia, implementasi ḥifẓ al-dīn yang terjadi di lapangan, faktor-faktor yang menyebabkan konstruksinya demikian dan tawaran konstruksi baru hukum kebebasan beragama di Indonesia.

“Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa perundang-undangan yang ada di Negara Republik Indonesia telah menjamin kebebasan beragama terutama terkait dengan kebebasan beribadah dan mengekspresikan agamanya. Jaminan hukum kebebasan beribadah ini searah dengan konsep ḥifẓ al-dīn Wahbah al-Ẓuhaylī,” ujar Anthin.

Namun Anthin mengatakan, dalam kebebasan berakidah, negara belum secara mutlak memberi kebebasan beragama karena memberi hak dan perlindungan yang lebih kepada enam agama dan masih membedakan hak beragama aliran kepercayaan. Adapun implementasi ḥifẓ al-dīn yang terjadi di Indonesia masih terdapat upaya-upaya perlindungan agama yang dilakukan secara tidak tepat sehingga menimbulkan kekerasan atas nama agama, diskriminasi dan ketidakadilan.

“Permasalahan tersebut disebabkan adanya kepentingan dan truth claim pemahaman keagamaan. Oleh karenanya, dengan paradigma hukum integratif,” Anthin menawarkan konstruksi baru ḥifẓ al-dīn dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, sebagaimana prinsip ḥifẓ al-dīn (Wahbal al-Zuhaylī), dengan cara: (1) Negara harus menjamin kebebasan beragama setiap warga negara, termasuk menjalankan syariat Islam bagi yang beragama islam; (2) Negara tidak boleh memaksa seseorang untuk mengikuti agama tertentu, termasuk enam agama yang diakui “pemerintah”; (3) Negaralah yang harus menghukum orang yang melanggar ketertiban, kemaslahatan dan keamanan negara dalam beragama,” jelasnya.

Berdasarkan Pasal 28 E dan 29 UUD 1945, negara Indonesia memberi kebebasan kepada seluruh warganya untuk memilih agama dan kepercayaan serta beribadah sesuai agama dan kepercayaannya tersebut. Namun demikian kebebasan tersebut sesungguhnya dibatasi oleh ketentuan hukum yang berlaku yakni ketentuan Pancasila yang berketuhanan yang Maha Esa. Artinya Negara memberi kebebasan kepada seluruh warga negara Indonesia untuk memilih agama dalam konteks agama-agama yang berketuhanan yang Maha Esa, walaupun Indonesia bukan negara Agama.

Namun begitu, Indonesia kerap mengalami kekerasan atau diskriminasi berbau agama yang disebabkan karena fanatisme, sentimen keagamaan, dan truth claim (perasaan paling benar) dari masyarakat. Beberapa kasus agama yang didasarkan pada truth claim adalah kasus-kasus yang menganggap bahwa Negara Indonesia adalah negara Thagut dan bukan Negara Islam, karena Indonesia berasaskan Pancasila, bukan Islam. Mereka melakukan beberapa upaya untuk tegaknya Pemerintahan Islam di Indonesia dengan kekerasan dan teror atas nama agama.

Penyebab kekerasan agama karena truth claim terjadi pada kasus Bom Bali I, Bom Bali 2, kasus Amrozi dan kawan-kawan yang melakukan aksi pengeboman di Bali I pada tanggal 12 Oktober 2002 dan bom Bali II tanggal 1 Oktober 2005, Bom di Hotel JW Marriot tanggal 5 Agustus 2003 yang menewaskan 11 orang dan Bom JW Marriot 2 tahun 2009. Demikian pula gerakan radikal yang dilakukan Azhari, Nurdin M. Top dan para pengikutnya, Bahrun Naim pada pengeboman di Jalan Tamrin, pengeboman markas Polisi di Solo, Jakarta dan bahkan upaya-upaya pengeboman yang dilakukan oleh calon “pengantin” perempuan seperti Dian Yuli Novi.

Kasus lain yang disebabkan truth claim kelompok keagamaan diantaranya kasus pembantaian terhadap pengikut Ahmadiyah di Cikeusik menggambarkan bagaimana kelompok militansi muslim tertentu melakukan perbuatan intoleran terhadap muslim lainnya yang dianggap keluar dari jalur Islam. Contoh lain adalah pembantaian atas nama agama yang dilakukan kelompok Anti Syiah kepada kelompok Syiah di Sampang Madura.

Konflik keagamaan yang sering terjadi di Indonesia juga disebabkan dominasi mayoritas atas minoritas. Jika di Indonesia bagian barat mayoritasnya adalah muslim, maka objek kekerasan dan diskriminasinya adalah non muslim. Sebaliknya di Indonesia bagian timur, kaum Nasrani yang mayoritas kerap mempersulit aktifitas kaum Muslim. Di Bali kasus serupa juga di alami oleh kaum Muslim yang kesulitan membangun tempat Ibadah karena masyarakat di sana mayoritas Hindu.

“Kekerasan atas nama agama juga disebabkan adanya stereotype satu kelompok terhadap kelompok lain yang berbeda agama sehingga seringkali menjadi pemicu konflik antar umat beragama. Lebih dari itu, bahkan diikuti oleh tindakan anarkis seperti membakar rumah ibadah dan tempat-tempat bernilai bagi masing-masing pemeluk agama bahkan sampai terjadi pertumpahan darah,” ujar Anthin.

“Hal ini sebagaimana terjadi beberapa dekade terakhir, banyak umat agama lain yang memberikan stereotype kepada umat islam dianggap sebagai agama yang radikal, tidak toleran dan sangat subjektif dalam memandang kebenaran agama lain. Sementara umat kristen dipandang sebagai umat yang agresif dan ambisius dalam misionarisnya menyebarkan pesan Yesus (kristenisasi),” imbuhnya.

Dari fenomena tersebut, lanjut Anthin, tercermin stigma-stigma negatif yang tercipta secara subjektif dari kelompok tertentu terhadap kelompok lain tanpa jelas kebenaranya. Kebebasan beragama sebagai manifestasi demokrasi tidak hanya menuntut kelompok minoritas untuk memahami keberadaan dan menghargai kelompok mayoritas, namun sebaliknya kelompok minoritas juga harus mendapat perlindungan dari kelompok yang jumlahnya lebih besar.

Sejatinya tidak ada persoalan mayoritas dan minoritas karena pada prinsipnya semua orang atau kelompok harus saling menghargai dan menghormati. Hal ini dapat di lihat dalam cita hukum Negara Indonesia dimana hukum harus mampu menjamin terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menjamin tata politik dan kenegaraan yang demokratis serta mampu menciptakan toleransi.

Dalam persepektif sosial kontrak, ketika Negara sudah menentukan bahwa Pancasila yang sila pertamanya berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan kesepakatan bersama seluruh warga Negara, maka ketentuan UU PNPS tersebut dapat dibenarkan. Artinya Negara telah menyepakati bahwa seluruh Bangsa Indonesia harus berketuhanan Yang Maha Esa.

Namun demikian, penjelasan UU PNPS yang menentukan enam agama yang diakui Negara (recognized religion) dipengaruhi aspek politik Negara, yakni kebijakan politik yang tidak lepas dari kekuasaan Negara pada saat itu yang mungkin dikategorikan ke dalam konteks menjaga ketertiban umum yang sesuai dengan kondisi sosial politik pada saat itu. Dan pada konteks sekarang perlu dilakukan penelaahan ulang karena dirasa belum memberi keadilan khusunya pada penganut aliran kepercayaan.

Persoalan penistaan agama tidak bisa menegasikan latar sejarah dan Gerakan sosial yang ditimbulkannya. Penodaan dan Penistaan agama yang terjadi di masa lalu menegaskan bahwa agama dan politik telah begitu rentan menjadi isu yang mudah meledakkan massa.

Dalam paparan Anthin, kebijakan daerah yang diskriminatif juga menyumbang peran besar dalam konflik antar agama. Di antara kebijakan pemerintah daerah yang cenderung menonjolkan nilai-nilai ajaran agama tertentu seperti peraturan daerah Syariah di Aceh seperti Qonun Aceh No 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, Peraturan Daerah Injil di Manokwari, Peraturan Daerah Nyepi di Bali. Menurut Anthin, kebijakan-kebijakan tersebut sangat rentan menyulut konflik.

Pasca reformasi 1998, semangat peningkatan partisipasi masyarakat ditandai dengan kebijakan desentralisasi dimana pemerintah pusat memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur wilayah pemerintahan termasuk dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemerintah menerbitkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 (PBM 2006) tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Pendirian Rumah Ibadat.

“Menunjuk beberapa fakta lapangan, dalam perkembangannya, regulasi yang secara tegas disebutkan sebagai pedoman tugas pemerintah daerah nampaknya masih belum diperhatikan dan diimplementasikan secara optimal oleh sejumlah pemerintah daerah. Dalam hal fasilitasi kerja dan penganggaran untuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) misalnya banyak pemerintah daerah yang belum cukup memberikan perhatian,” jelas Anthin.

Mencuatnya permasalahan permasalahan penodaan agama didasarkan pada delik aduan, dimana orang yang merasa terganggu dengan pernyataan atau perilaku di depan umum, dinilai meresahkan atau menodai agama, melaporkan ke pihak berwajib, dan selanjutnya pihak berwajib menindaklanjuti atau tidak berdasarkan bukti-bukti yang ada.

Kasus-kasus penodaan agama yang ada di Indonesia masih menimbulkan perbedaan dan perdebatan di kalangan ahli hukum serta vonis bagi pelaku penodaan nampaknya masih belum sepenuhnya menunjukkan rasa keadilan terhadap umat beragama di Indonesia. Hal ini karena salah satu penyebabnya adalah adanya tekanan massa yang berbasis pada kepentingan politik berbasis agama.

Sebagian pihak memandang tindakan terhadap kasus penodaan agama di Indonesia cenderung diskriminatif dan berlawanan dengan UUD 1945 Pasal 29 ayat (2), sebagian lain menganggap penangan kasus penodaan agama dianggap tepat karena telah mengganggu ketertiban umum. Oleh karena itu peran penegak hukum menjadi penting dalam menentukan adanya kepastian dan keadilan hukum serta kebermanfaatan hukum dalam perundang-undangan di Indonesia.

Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 yang dikeluarkan pada masa pemerintah Soekarno dan berubah menjadi UU No.1 PNPS Tahun 1965 pada masa Pemerintahan Soeharto, merupakan produk politik yang bertujuan melindungi agama dan menjaga stabilitas politis pada saat itu. Hal ini dapat dilihat dari latar belakang yang melahirkan UU tersebut baik pada masa Pemerintahan Soekarno yang berupa Penetapan Presiden ataupun pemberlakuannya pada masa Soeharto.

Penetapan Presiden, merupakan mekanisme menentuan hukum yang tidak sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945. Namun karena kondisi darurat yang diakibatkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 hingga 5 Juli 1966, melahirkan sistem pemerintahan Presidensil yang memiliki kekuasaan lebih hingga mengeluarkan dua jenis peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan sistem pembentukan hukum yang ada dalam konstitusi, yakni Penetapan Presiden (Surat Presiden RI tanggal 20 Agustus 1959 No. 2262/HK/59 dan Peraturan Presiden (Surat Presiden RI, tanggal 22 September 1959 No 2775/HK/59).

Oleh sebab itu, Anthin menawarkan pembaruan paradigma hukum dari positivistik ke integeratif. Pasalnya, menurut Anthin, UU PNPS 1969 mengalami permasalahan paradigmatik karena sejarahnya yang penuh dengan perselisihan politik. Selain itu budaya hukum Indonesia yang masih didominasi kepentingan politik dan tekanan massa.

Anthin juga menawarkan konstruksi baru nilai-nilai Hifz Al-Din (pemeliharaan agama) dalam hukum kebebasan beragama di Indonesia karena eksklusifitas agama dalam penjelasan PNPS bertentangan dengan pasal 28 E, 28 I dan 29 UUD 1945, UU HAM dan Ratifikasi ICCPR yang memberi ruang kebebasan beragama yang sama kepada seluruh warga negara untuk memilih agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dipilihnya, bahkan Negara hadir dan memberi perlindungan untuk warganya dalam menjalankan ajaran agama pilihannya, kecuali bagi mereka yang mengancam keamanan dan ketertiban umum Negara.

“Rekonstruksi baru konsep ḥifẓ al-dīn di Indonesia difahami sebagai bentuk integrasi antara nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila dengan nilai-nilai universal yang terdapat dalam UU HAM, nilai inklusivisme, moderasi dan etika yang diambil baik dari praktek Nabi di Madinah yang tertuang dalam Piagam Madinah dan nilai-nilai universal lainnya,” jelas Anthin.

Adapun formulasi tawaran baru perlindungan agama di Indonesia adalah: (1) Negara harus menjamin kebebasan beragama setiap warga negara, termasuk menjalankan syariat Islam bagi yang beragama islam (bukan formalisasi syariat islam tetapi nilai Islam yang menjadi dasar beragama dalam lingkup negara); (2) Negara tidak boleh memaksa seseorang untuk mengikuti agama tertentu, termasuk enam agama yang diakui “pemerintah”; (3) Negaralah yang harus menghukum orang yang melanggar ketertiban, kemaslahatan dan keamanan negara dalam beragama.

“Oleh karenanya, untuk mencapai konstruksi baru tersebut, dibutuhkan paradigma hukum yang tepat yakni paradigma hukum integratif yang mengintegrasikan nilai-nilai dasar dalam Pancasila dengan nilai-nilai universal yang menunjang persamaan hak warga negara dalam beragama, yaitu nilai inklusivisme agama, HAM, moderasi beragama dan nilai etika beragama,” pungkas Anthin. (Mushonifin)

Baca Berita Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini