Tantangan Berat Pemerintah, Bimbing Generasi Milenial Agar Tak Salah Langkah di Era Digital

Dialog publik pada Jum'at malam (8/4/2022) di Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al-Falah Salatiga dengan tema tema Tantangan Budaya dan Kebhinekaan di Era Digital yang digelar oleh Kementerian komunikasi dan Informatika (Kominfo). (Foto Ponpes Al-Falah Salatiga)

SALATIGA (Sigi Jateng) – Kementerian komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar dialog publik pada Jum’at malam (8/4/2022) di Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al-Falah Salatiga.

Hadir sebagai narasumber dalam dialog tersebut antara lain Guru Besar Antropologi Universitas Diponegoro Prof. Mudjahirin Thohir, Guru besar HAM dan Gender UIN Sunan Kalijaga, Prof Sri Ruhaini Dzuhayatin dan PGD in Pop&Dev Drs. Sudarsana. 

Mereka membicarakan berkembang pesatnya Digitalisasi di Indonesia sebagai negara Multikultural. Puncaknya, mereka mendorong agar Indonesia jadi percontohan dunia dalam hal moderasi beragama di era digital. Dialog tersebut mengambil tema Tantangan Budaya dan Kebhinekaan di Era Digital. 

Direktur Informasi dan Komunikasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Drs. Wiryanta, MA.,Ph.D, mengatakan pemajuan digital di era transformasi digital memunculkan tantangan yang berat untuk generasi muda saat ini, ini menjadi tugas bagi pemerintah dan tokoh agama untuk membimbing generasi muda agar tidak salah langkah.

“Kita tidak mudah membedakan mana kabar kebohongan mana yang bukan, karena ini memerlukan bimbingan alim-ulama dan dari pemerintahan, kita harus bhineka tunggal ika, karena bhineka tunggal ika mudah diucapkan tapi sulit dilakukan.” ucap  Drs. Wiryanta

Indonesia sebagai negara multikultural maka sudah menjadi fitrah  muncul banyak perbedaan-perbedaan terutama dalam hal kepercayaan. Prof Muhadjirin mengungkapkan dengan banyaknya kepercayaan yang ada di Indonesia tidak boleh diartikan sebagai sebuah bentuk kemungkaran.

“Dalam Konteks Pancasila kepercayaan orang-orang yang berbeda di Indonesia jangan didefinisikan sebagai sebuah kemungkaran, kalau berbeda-beda tapi tetap rukun maka akan tercipta keindahan,” ucap Prof. Muhadjirin. 

Pancasila hadir untuk mengatur Kehidupan kemajemukan  Indonesia, keberagaman yang ada di Indonesia harus diatur agar tidak berantakan dan menimbulkan kehancuran.

“Pancasila penting karena beda-beda, karena kalau beda-beda tidak diatur jadi berantakan. Perbedaan diatur dengan bhineka tunggal ika yang moralnya ada di Pancasila, agar menuju tatanan kehidupan bangsa yang lebih baik,” tambah Prof Muhadjir

Di era digital sangat penting diperlukan perawatan dalam cara pandang terhadap agama, masyarakat Indonesia harus bisa menunjukan representatif wajah agama yang baik. Sebagai contoh yaitu representatif wajah agama  Islam di Indonesia. Islam di Indonesia yang disebut Islam Wasathiyah harus mencakup tiga hal yaitu, Islam Nusantara, Berkemajuan dan Islam berkembangsaan, 3 unsur tersebut harus disampaikan dalam moderasi beragama.

Selaras dengan Prof Suhartini, Prof Sudarsana juga mengungkapkan bahwa wajah moderat Islam Indonesia adalah Islam yang mengayomi dunia, Islam yang bertujuan untuk kemanusiaan.

Dalam menyikapi perkembangan digital masyarakat Indonesia harus lebih arif bijaksana, harus bisa membedakan informasi yang masuk itu dapat membangun kembali keberagaman yang sudah ada atau bahkan dapat merusak kesatuan yang sudah tersusun dengan rapi. Oleh karena itu perlu penyaringan informasi yang baik.

“Hal-hal yang itu sifatnya mencoba untuk mengaduk sentimen dan keyakinan kita perlu penyaringan terlebih dahulu, perlu disaring yang mana agama mana yang hanya ditempelkan pada agama,” ucap Prof Sri Ruhaini Dzuhayatin

Prof. Mudjahirin Thohir menambahkan dengan datangnya era digital ibarat dua mata pisau yang membawa kebaikan dan keburukan, kemajuan digital yang pesat dapat memberikan keuntungan dapat menghubungkan berbagai hal secara mudah tetapi juga memunculkan konsekuensi yang besar pula.  

Kita harus bisa mengingat dan berkaca kepada kekuatan pendahulu kita yang mampu bertahan menjaga keutuhan bangsa selama ratusan tahun lamanya tidak tergoyahkan.

“Kita harus mengingat Kerajaan Sriwijaya yang mampu eksis selama 800 tahun lamanya, apalagi era sekarang eranya digital kita harus mampu lebih menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa,” kata Sudarsana.

Di Indonesia yang majemuk pasti akan memunculkan perbedaan – perbedaan dalam cara pandang, perbedaan cara pandang yang ada pasti akan memunculkan sebuah perdebatan yang beresiko memunculkan sebuah konflik dan yang lebih parah adalah memunculkan tindak kekerasan.Oleh karena itu perbedaan itu harus diikat dengan kesatuan agar tidak muncul sesuatu yang membahayakan, dan kunci kesatuan multikultural Indonesia ada di Pancasila.

Seharusnya di era transformasi digital ini bangsa Indonesia bisa lebih diuntungkan untuk mengembangkan pariwisatanya sekaligus mencontohkan kepada dunia luar wajah Indonesia yang bisa bersatu ditengah  banyak perbedaan.

“Keuntungan di era digital kita bisa mengembangkan pariwisata agar negara lain bisa belajar tentang keunggulan kita, karena persatuan Indonesia berpotensi bisa meningkatkan dampak positif dan membawa perdamaian bagi dunia,” tambah Drs. Sudarsana. (Mushonifin) 

Berita Terbaru:

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini