Sejarah Cukur Rambut, Kebiasaan dilakukan Orang Zaman Dahulu Ketika Sedang Bersedih

Tukang cukur asal Madura di Surabaya pada 1911 (foto geheugenvannederland.nl)

SIGIJATENG.ID – Anthony Reid, pakar sejarah Asia Tenggara, mencatat rambut sebagai sesuatu yang suci bagi kebanyakan orang Asia Tenggara. Mereka percaya rambut menyimpan kekuatan.

“Oleh sebab itu pola yang berlaku hingga Kurun Niaga tampaknya ialah didorongnya pria dan wanita untuk menumbuhkan rambut sepanjang dan selebat mungkin,” ungkap Reid dalam Asia Tenggara dalam ‘Kurun Niaga 1450-1680’.

Jika orang Asia Tenggara mencukur rambut, itu berarti dia sedang bersedih atas suatu peristiwa. Di Aceh dan negeri-negeri Melayu, para kawula laki dan perempuan mencukur rambut ketika sultan mereka mangkat.

Mencukur rambut bisa pula wujud praktik keberagamaan orang Asia Tenggara. “Pemotongan rambut pria jelas merupakan pertanda yang penting dari kepatuhan pada Islam,” lanjut Reid. Misalnya dalam praktik haji. Ada masanya orang muslim yang naik haji harus mencukur rambutnya atau ber-tahallul.

Sementara itu di Jawa, Pangeran Diponegoro menganjurkan para pengikutnya untuk mencukur rambut menjadi lebih pendek agar bisa membedakan diri dari orang-orang Jawa yang “murtad” ke Belanda.

Cara orang Eropa memandang dan merawat rambut terbawa ke negeri-negeri jajahan mereka. Di Hindia Belanda, sebagian mereka membuka usaha cukur rambut untuk melayani pejabat Belanda dan orang Eropa.

Para pencukur rambut ialah orang-orang terampil. Mereka melewati serangkaian pelatihan mendandani rambut dan selingkarnya (jambang, kumis, dan jenggot). Mereka biasa bekerja di salon rambut yang terdapat di hotel-hotel.

Barber shop di Grand Hotel Java. Barber shop di hotel memasang harga layanan mahal. Tak banyak orang bisa membayarnya. Kebanyakan tukang cukur itu penduduk tempatan. Umar Kayam, budayawan sekaligus guru besar Universitas Gajah Mada Yogyakarta, menyebut tukang cukur model begitu sebagai cukur pitingan atau barber rakyat.

“Di mana sang tukang cukur itu, dan yang dicukur sama-sama mlaratnya nyaris tidak bermodal apa- apa kecuali pisau dapur yang agak tajam dan gunting ‘all purpose’,” tulis Umar dalam ‘Salon/Coiffieur/Tukang Cukur’ termuat di Satrio Piningit ing Kampung Pingit.

Tapi dari tukang cukur model begitu justru muncul cerita lucu. H.C.C Clockener Brousson, seorang serdadu KNIL, mengungkapkan pengalaman berkunjung ke Pasar Senen, Batavia, pada awal abad ke-20.

“Seorang tukang cukur Tionghoa sibuk memangkas para jongos perwira dan pembantu rumah tangga. Tukang cukur itu bukan saja cepet dan pandai mencukur, dengan bermacam peralatan ia mengerjakan telinga, bagian mata, lubang hidung orang yang datang bercukur,” tulis H.C.C. Clockener Brousson dalam Batavia Awal Abad 20.

“Ujug-ujug kuda seorang perwira lepas. Ia berlari ke arah tukang cukur dan pelanggannya. Sekonyong-konyong tukang cukur dan pelanggannya bubar. Tukang cukur menjerit-jerit sembari lari lintang-pukang. Pelanggannya juga berlaku demikian. Rambutnya grepes belum tuntas dicukur.”

Cerita lucu lain berasal dari Umar Kayam. Dia kenang masa kecilnya di Sala pada 1930-an, tentang ketakutannya terhadap tukang cukur keliling yang kebanyakan berasal Madura. Dia enggan serahkan urusan cukur rambut ke mereka. Begitulah kira-kira Selayang pandang tentang sejarah tukang cukur di Indonesia. (akhida)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini