Penanggulangan Dampak Perubahan Iklim, Masyarakat Adat juga Berperan Penting

Masyarakat adat di Tanah Tabi (foto Instagram rumah.aman)

SIGIJATENG.ID – Masyarakat adat merupakan istilah umum atau konsep yang dipakai di Indonesia untuk merujuk pada komunitas-komunitas adat hukum yang sudah ada di jaman pendudukan Hindia Belanda pada masa itu.

Chandra Kirana, Ketua Tim Kerja Komunikasi dan Pelibatan Para Pihak Satgas REDD+, menerangkan alasan keterlibatan Indonesia dalam gerakan global penurunan emisi. Pembentukan Satgas REDD+ merupakan wujud kepedulian Indonesia atas masa depan seluruh dunia melalui kerjasama pemerintah Norwegia dan pemerintah Indonesia.

Satgas REDD+ sendiri merupakan sebuah lembaga setingkat kementerian yang dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 62 Tahun 2013 untuk mengemban tugas dalam mengawal turunnya laju deforestasi, memperbaharui tata kelola dan transparansi pengelolaan sumber daya alam Indonesia

Di dalam menjalankan tugasnya, Satgas REDD+ sangat membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, salah satu pihak yang sangat strategis perannya dalam pelestarian hutan adalah masyarakat adat. Masyarakat adat, Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengatakan, “Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang mendiami tanah nusantara ini sejak lama. Bahkan sebelum negara Indonesia ada dan sebelum agama dan kebudayaan modern datang.”

Saat ini jumlah masyarakat adat diperkirakan sekitar 70 juta jiwa yang tergabung dalam lebih dari 1.100 suku. Mereka yang berhimpun di AMAN sekitar 15 juta jiwa. Meski memiliki berbagai perbedaan keyakinan dan cara hidup, sebagian masyarakat adat ini tinggal dan menjadi bagian dari hutan. Kearifan mereka dalam memperlakukan hutan sudah ada sejak dahulu.

Sayangnya, masyarakat adat kerap terpinggirkan dalam pembangunan, meski peran mereka penting dalam menjaga hutan dan lingkungan nusantara. Menurut Abdon, hal tersebut terjadi karena jaminan dalam konstitusi tidak diikuti dengan aturan hukum di bawahnya.

“Meski berjasa menjaga keutuhan alam, masyarakat adat lebih mirip penumpang di republik ini. Ironis!” sesal Abdon. Untunglah sejarah kini mulai berbalik. Terjadinya berbagai krisis di tingkat global, mulai dari krisis pangan, sosial hingga dampak perubahan iklim, ternyata menjadi berkah bagi masyarakat adat.

Orang melihat kearifan masyarakat adat bisa menjadi penyumbang solusi dalam mengatasi berbagai masalah tersebut. Kecenderungan yang ditengarai Abdon tersebut, dibenarkan Chandra Kirana. “Kita perlu memperbaharui paradigma pembangunan kita, dari semula mengupayakan pertumbuhan ekonomi dari eksploitasi alam, menjadi pertumbuhan yang tetap bersahabat dengan kelestarian alam,” katanya.

Perubahan paradigma ini diperlukan karena manusia harus diingatkan kembali bahwa sumber daya alam itu terbatas jumlahnya, sehingga alam perlu diperlakukan dengan arif. Kearifan itu merupakan hal yang melekat di dalam kehidupan masyarakat adat.

Selama dua tahun, Satgas REDD+ berinteraksi cukup intensif dengan masyarakat adat, terutama yang terhimpun di dalam AMAN. Satgas kemudian menggunakan masukannya untuk menyempurnakan desain kelembagaan dan mekanisme REDD+ di Indonesia. Saat ini disain kelembagaan REDD+ sudah selesai disusun, tinggal menunggu pengesahan dari Presiden.

Abdon menyampaikan pula bahwa AMAN pada dasarnya sangat optimis dengan kehadiran Satgas REDD+ dan komitmen dari Presiden untuk lebih menghargai hak masyarakat adat terhadap hutan.

Hanya saja dia mengaku kecewa dengan keluarnya peraturan terbaru yang tidak mengakomodir masukan-masukan dari mereka. Ia berharap agar nantinya kerjasama dan dukungan dari AMAN bisa dikelola dengan lebih baik, sehingga bisa lebih mendatangkan manfaat bagi masyarakat adat.

Hingga hari ini, masyarakat adat dan organisasi yang menaunginya masih menunggu pengesahan RUU Masyarakat Adat. (akhida)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini