Memutus Mata Rantai Terorisme, Mungkinkah?

Oleh : Endang Supriadi, M.A. Dosen Sosiologi FISIP UIN Walisongo Semarang

TERORIS kembali berulah di saat seluruh masyarakat Indonesia sedang dilanda bencana mulai dari gempa, banjir, dan erupsi gunung. Pada hari Rabu (7/12/2022) bom bunuh diri kembali terjadi tepat di halaman Polsek Astanaanyar Kota Bandung, Jawa Barat. Aksi bom bunuh diri ini menewaskan pelaku bom bunuh diri dan mencederai seorang aparat keamanan yang sedang melakukan apel pagi.

Pada tahun sebelumnya juga pernah terjadi, yakni pada 5 Juli 2016, bom bunuh diri terjadi di Mapolrestabes Solo pelaku anggota Jamaah Anshar Daulah Khilafah Nusantara yang menewaskan 1 pelaku meninggal dan 1 polisi terluka.

Selang dua tahun berikutnya, pada 14 Mei 2018 terjadi bom bunuh diri di Mapolrestabes Surabaya, pelaku merupakan 1 keluarga dengan menggunakan 2 sepeda motor dan menewaskan 4 para pelaku dan 4 polisi dan 6 warga luka-luka.

Berselang 2 hari berikutnya 16 Mei 2018 terjadi serangan ke Mapolda Riau, pelaku merupakan anggota NII. Kemudian pada 13 November 2019 terjadi lagi bom bunuh diri di Polrestabes Medan (Data hasil pengamatan penulis).

Sungguh ini merupakan kejahatan kemanusiaan paling biadab. Aksi bejat dan kejahatan kemanusiaan tersebut terjadi pada saat masyarakat Indonesia sedang menghadapi bencana alam yang terjadi di beberapa daerah. Tindakan ini tidak sepatutnya dilakukan dan bahkan ditiru oleh generasi berikutnya, karena semua agama di dunia ini tidak mengajarkan kepada umatnya berbuat kejahatan keji yang merugikan banyak orang. Yang ada adalah menebarkan kasih sayang, sikap toleransi, saling menghormati, dan saling berbagi.

Disaat bangsa Indonesia sedang dilanda bencana alam, yang perlu ditingkatkan adalah persatuan dan kepedulian terhadap saudara-saudara kita yang terkena musibah. Bukan sebaliknya, tindakan-tindakan yang tidak bermoral, tidak menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, dan tidak menginternalisasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan bermasyarakat dengan melakukan bom bunuh diri yang hanya merugikan tidak hanya untuk diri sendiri, tapi juga masyarakat.

Terorisme semakin nyata dan memalukan apabila pelakunya mengaku beragama Islam. Padahal kita tahu bersama, tidak ada satupun agama yang mengajarkan teror, terlebih agama Islam. Sehingga dengan demikian, terorisme sama sekali tidak ada kaitannya dengan Islam. Terorisme itu satu hal dan Islam itu hal lain.

Terorisme lahir akibat dari kedangkalan berpikir dan kebrutalan jiwa. Aksi teror yang terjadi belakangan ini begitu menghancurkan sendi-sendi kehidupan manusia dan telah pula meluluh lantahkan indahnya persaudaraan dan kemanusiaan. Disaat masyarakat sedang membutuhkan tali persaudaraan untuk bersemangat hidup dalam situasi bencana alam yang menimpa Indoensia. Tuhan mengamanatkan umat manusia sebagai pengganti Tuhan di atas dunia dalam memakmurkan dan mensejahterakan kehidupan, bukan malah menghancurkannya. Terorisme merupakan laknat bagi hidup dan kehidupan, serta bencana bagi manusia dan kemanusiaan. Tindakan-tindakan yang merugikan orang banyak dan tidak ada kaitan dengan ajaran agama manapun.

Pelaku aksi bom bunuh diri semakin memperteguh eksistensi dirinya sebagai makhluk yang aneh, unik dan bukan manusia. Aksi yang dilakukan merupakan kejahatan luar biasa, bukan hanya luar biasa dampak dan akibatnya, serta luar biasa sasarannya, tetapi juga luar biasa targetnya. Peristiwa bom bunuh diri di Bandung dijadikan momentum kita bersama untuk merajut kebersamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di bumi nusantara. Kita harus katakan bahwa Indonesia negara damai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Kita semua tidak takut kepada pelaku teror, karena bukan ajaran agama. Para pelaku teror harus dihukum seberat-beratnya dan dikikis habis semua jaringannya sampai ke akar-akarnya.

Kita harus tahu bahwa terorisme ini sebuah perilaku yang telah direncanakan sedemikian rupa. Pelaku bom bunuh diri yang terjadi di Bandung kemarin merupakan residivis napiter pada tahun 2017 hingga 2021 pada kasus keterlibatan perakit bom panci di Cicendo, Bandung pada tahun 2017 lalu. Negara, Polri dan BIN harus bekerja lebih ekstra, sebab dengan meledaknya aksi terorisme ini ada kelengahan.

Hal ini diakui atau tidak faktanya sudah terjadi dan tidak ada yang memprediksi bahwa mantan napiter akan berulah kembali. Kelengahan ini yang harus segera diperkuat dengan sistem keamanan negara yang prima, kemudian kontrol sosial masyarakat juga dibutuhkan. Kita sebagai civil society harus lebih pro aktif, peduli lingkungan sekitar tempat di mana kita tinggal karena persoalan radikalisme dan terorisme ini tanggung jawab semua elemen masyarakat bukan hanya pihak keamanan negara.

Para pelaku teror adalah mereka yang kejiwaannya terganggu. Obsesi menjadi martir dengan balasan surga betul-betul berhasil mencuci otaknya.

Ideologi radikal yang bercokol dalam pikirannya yang dangkal betul-betul mempengaruhi setiap aksi teror selama ini yang meledak. Tidak ada jalan lain kecuali kita melakukan deradikalisasi di setiap lini kehidupan, termasuk di ranah lembaga pendidikan formal maupun non-formal dan pada sektor-sektor lainnya. Selain itu juga perlunya deradikalisasi pemahaman agama (Al-Quran dan Al-Hadits), terutama Islam. Sebab secara tekstual ada beberapa ayat Al-Quran yang memerintahkan membunuh dan perang.

Membaca beberapa ayat Al-Qur`an tersebut tanpa pemahaman yang kontekstual dengan melibatkan asbabun nuzulnya, maka akan membuahkan pemahaman yang radikal sebagaimana tercermin dalam perilaku teror yang selama ini terjadi di Indonesia. Termasuk mata pelajaran agama di sekolah-sekolah dan kampus-kampus, harus dipastikan disampaikan dengan moderat dan kontekstual tentunya.

Memutus mata rantai terorisme harus tegas. Artinya bahwa memutus mata rantai terorisme tanpa memutus mata rantai radikalisme dan sikap intoleransi tidak akan membuahkan hasil yang maksimal. Lembaga-lembaga pendidikan formal dan non-formal yang selama ini dibiarkan mengembangkan ajaran radikal harus segera mendapat filterisasi dari pemerintah dan pihak yang berwajib serta pengawasan dari masyarakat. Tidak ada yang tidak mungkin, jika kita sebagai anak bangsa bersatu dan memiliki keinginan sama membangun bangsa yang toleran, damai, dan tentram. Maka bentuk kejahatan apapun dapat dicegah dan bahkan dihilangkan dalam kehidupan masyarakat yang menjunjung nilai kemanusiaan di bumi pertiwi.

  • Endang Supriadi, M.A.
    Dosen Sosiologi FISIP UIN Walisongo Semarang

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini