Khasan Raih Doktor di UIN Walisongo Teliti Pemikiran Hukum Pidana Mohammad Hashim Kamali

Mohammad Khasan saat ujian doktoral di UIN Walisongo Semarang pada Jum’at (14/1/2022). (Foto. Dok. Humas UIN Walisongo Semarang)

SEMARANG (Sigi Jateng) – Pemikiran tentang hukum pidana (hudud) tidak pernah selesai, formulasi-formulasi baru telah banyak dirumuskan, salah satunya oleh Mohammad Hashim Kamali. Pemikiran Kamali sendiri menyebabkan adanya perubahan fundamental yang berbeda dari para Fuqaha (ahli fiqih) lainnya.

Mohammad Khasan, dalam disertasinya yang berjudul “Pemikiran Hukum Pidana Islam Mohammad Hashim Kamali Dan Relevansinya Dengan Pembangunan Hukum Pidana Di Indonesia” menemukan pemikiran Kamali tentang pembaruan hukum pidana Islam mecakup dua hal, yaitu; pertama, restorasi jarīmah ḥudūd dan harmonisasi syari’at.

Kedua, rumusan restorasi ḥudūd Kamali dilatarbelakangi oleh respons terhadap praktik pemberlakuan hukum pidana Islam di berbagai negara Muslim yang belum maksimal karena alasan substantif maupun alasan politis. Secara metodologis, konstruksi ḥudūd Kamali dirumuskan dengan teori maslahat secara integratif melalui pendekatan maqāṣid al-syarī’ah.

Mohammad Khasan dihadapan dewan penguji saat ujian doktoral di UIN Walisongo, Jumat (16/2022) (foto dok. humas uin walisongo)

Ketiga, beberapa pasal dalam RKUHP secara khusus memiliki narasi kontekstual dengan pemikiran Kamali, yaitu: pasal 54 ayat (1) dan (2), 191-196, 306, 417-420, dan 598-616.

Dalam ujian doktoral yang dilaksanakan di UIN Walisongo Semarang pada Jum’at (14/1/2022), Khasan menyampaikan bahwa pembaruan hukum pada hakikatnya mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa pembaruan hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach),” ujar Khasan menyampaikan isi disertasinya di hadapan para penguji dan promotor.

Khasan mengatakan, pembaruan hukum harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan yang berbasis politik. Namun dalam setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai, oleh karena itu pertimbangan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai.

“Sedangkan perspektif pendekatan nilai, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan peninjauan dan penilaian kembali nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofis dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan,” paparnya.

“Maka bukanlah termasuk pembaruan hukum pidana, manakala orientasi nilai yang dicita-citakan misalnya, KUHP Baru sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah,” imbuhnya.

Mengutip Qodri Azizi, Khasan menjelaskan bahwa konsep pembaruan hukum pidana yang dilakukan saat ini lebih pada mengutamakan mengambil nilai-nilai Islam dengan menggunakan pendekatan kultural-substansial, sehingga yang dicari bukanlah bagaimana memformalitaskan penerapan hukum Islam ke dalam sebuah struktur kelembagaan peradilan, tetapi lebih dikedepankan penyerapan nilai-nilai Islam ke dalam masyarakat.

“Nilai-nilai Islam yang universal seperti keadilan, kejujuran, persamaan di muka hukum, toleransi beragama inilah yang diupayakan dapat tertanam dan terimplementasikan dalam setiap perilaku kehidupan dalam masyarakat. Atas dasar ini pemikiran pembaruan Kamali memiliki peluang untuk dikontekstualisasikan, dalam arti memberi kontribusi pada wacana pembaruan hukum pidana di Indonesia,” beber khasan.

Menurut Khasan, gagasan kontekstualisasi Kamali dapat dinarasikan dalam beberapa ketentuan sebagai berikut: Pertama, bahwa akomodasi terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat secara nyata dan objektif merupakan sesuatu yang potensial untuk dipertimbangkan jika secara substansi tidak bertentangan dengan nilai-nilai syari’ah dan Pancasila.

“Maka dalam pembaruan hukum pidana Nasional ini, penetapan sumber hukum misalnya, dasar dapat dipidananya suatu perbuatan dalam KUHP yang saat ini berlaku berpedoman bahwa sumber hukum yang utama adalah undang-undang (hukum tertulis), asas legalitas dalam pengertian yang formal,” jelas Khasan.

Namun, lanjut Khasan, di dalam Konsep KUHP baru, dasar hukum ini diperluas perumusannya secara materiil dengan menegaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) itu tidak mengurangi berlakunya “hukum yang hidup” di dalam masyarakat.

“Konsep KUHP memberi tempat kepada sumber hukum tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat sebagai dasar menetapkan patut dipidananya suatu perbuatan,” tandas Khasan.

Kedua, terkait dengan pengadopsian nilai-nilai moral religius di dalam prinsip dan norma yang juga digunakan sebagai ruh dalam pembaruan hukum pidana berkaitan dengan pasal kesusilaan. Pasal tentang kesusilaan dalam RKUHP diperluas dengan menerapkan standar prinsip moralitas religius bahwa budaya masyarakat Indonesia bukanlah budaya liberalisme dan individualisme yang membebaskan orang melakukan tindakan asusila.

“Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) BPHN tahun 2015 menjelaskan pula bahwa struktur pokok perumusan tindak pidana kesusilaan berdasarkan norma hukum pidana dalam KUHP yang direformulasikan dan disesuaikan dengan nilai kesusilaan masyarakat hukum Indonesia dan bahwa dalam mengisi dan mengarahkan delik-delik susila ini unsur agama diberikan porsi dalam memegang peranannya,” ujarnya.

Penegasan itu dapat dilihat dalam beberapa poin tambahan terhadap tindak pidana kesusilaan, yaitu: a) Merumuskan batasan serta isi mengenai apakah yang dimaksud dengan melanggar kesusilaan itu; b) menegaskan perbuatan-perbuatan sebagai tindak pidana terhadap kesusilaan, baik dengan memperhatikan perundang-undangan negara lain, maupun penentuan tindak pidana baru yang digali dari norma-norma agama yang berkaitan dengan kesusilaan; dan c) memperbaiki konstruksi-konstruksi sekitar tindak pidana yang sebelumnya ini telah ada dalam aturan perundang-undangan dengan menyesuaikannya kepada pemikiran bahwa hukum mendapat sandaran kuat pada moral agama. Konsep RKUHP 2019 menempatkan delik kesusilaan ini di Bab XV mengenai Tindak Pidana Kesusilaan, dan berisi sembilan (9) bagian.

“Delik kesusilaan ini dalam perjalanannya mengalami perubahan dan menimbulkan perdebatan serius. Hal ini berkaitan dengan kebijakan penuntutan yang berkaitan dengan delik perzinaan/permukahan yang dicantumkan dibagian keempat apakah akan digunakan sebagai delik aduan atau tidak (delik biasa). Konsep RKUHP 2019 ini, delik perzinaan dimasukkan dalam delik aduan, dimana sebelumnya sejak Konsep BAS 1977 sampai konsep 1991/1992 delik perzinaan ini dijadikan delik biasa dan bukan delik aduan,” imbuh Khasan.

Perzinaan bukan semata-mata diposisikan sebagai persoalan privat dan kebebasan individual saja, namun terkait pula dengan nilai-nilai kepatutan dan moralitas agama serta kepentingan masyarakat luas.

Khassan menjelaskan, pendekatan nilai orientasi lebih menjadi pertimbangan utama, sehingga pengambilan rumusan tentang delik perzinaan ini akan memiliki konsekuensi yang terukur menurut standar moralitas masyarakat Indonesia. Konsep RKUHP mengambil nilai hukum syariat Islam (hukum pidana Islam) dengan memperluas cakupan perzinaan dengan menggunakan standar nilai-nilai religius agama dan moralitas masyarakat monodualistis.

“Walaupun hukuman yang diancamkan tidak menggunakan prinsip syari’at Islam, karena jelas disebutkan dalam rumusan pasal bahwa sanksi ancaman yang diberikan bukan hukuman rajam atau cambuk kepada pelakunya, namun perumusan delik ini menjadi salah satu tujuan yang ingin dicapai melalui pembaruan hukum pidana guna pencegahan terjadinya tindak pidana, baik dalam arti pencegahan khusus (speciale preventie) maupun pencegahan umum (generale preventie) melalui standar moral dan agama,” tutur Khasan.

Ketiga, RKUHP juga memberikan perhatian serius terhadap tindak pidana tertentu yang memiliki potensi membuat kerusakan secara masif dan sistemik dan mengancam kesejahteraan masyarakat. Tindak pidana tersebut dikenal dengan istilah tindak pidana khusus. Tindak pidana ini diatur dalam RKUHP pasal 598 – 616 tentang Tindak Pidana Khusus diancam dengan ancaman pidana antara 5 tahun sampai 20 tahun penjara.

“Termasuk dalam jenis Tindak Pidana Khusus ini adalah: Tindak pidana HAM berat, tindak pidana terorisme, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana narkotika, permufakatan jahat, serta persiapan, percobaan, dan perbantuan Tindak Pidana Khusus,” jelasnya.

Keempat, Khasan Kembali mengutip Kamali yang secara khusus juga menunjukkan perhatian dan kasih sayang serta pemberian kesempatan bagi mereka (para pelaku) yang mungkin siap untuk bertobat dan mereformasi diri (iṣlāh) menjadi pertimbangan yang perlu mendapatkan perhatian lebih besar dalam perumusan kebijakan pidana yang komprehensif di zaman modern ini.

“Penegasan ini memperkuat persepsi bahwa formulasi ḥudūd dalam syari’at Islam bisa ditinjau ulang. KUHP yang berlaku saat ini pun memiliki kesamaan dengan konsepsi ḥudūd yang dipahami para fukaha awal, yang lebih banyak memberikan perhatian kepada aspek penghukuman (upaya penal) dari pada aspek pertobatan, pemaafan dan rekonsiliasi yang merupakan bentuk pendekatan kasih sayang humanistik terhadap pelaku kejahatan,” paparnya.

Selaras dengan ide tersebut, konsep KUHP baru memberikan terobosan dengan merumuskan aspek pemaafaan yang merupakan pengaktualisasian nilai-nilai hukum tradisional (hukum adat) dan nilai-nilai hukum agama sebagai aspek kemanusiaan dalam pembaruan hukum pidana.

Khasan melanjutkan, Bab II tentang Pemidanaan konsep 2019, Pidana dan Tindakan paragraf 2 tentang pedoman pemidanaan, Pasal 54 ayat 1 menyatakan: “….dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan klausul pemaafaan dari korban dan/atau kerluarganya”. Selain itu, dalam ayat 2 dijelaskan bahwa: “ringannya perbuatan, keadilan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.”

“Aspek pemaafan yang diberikan ini menjadi klep atau katup pengaman dalam pemidanaan dan menjadi salah satu alternatif pemidanaan untuk mengatasi persoalan yang timbul dari adanya penjara pendek. Sekali lagi, bahwa konsep pembaruan hukum pidana tidak hanya berorientasi pada penghukuman semata, tapi lebih ke dalam perlindungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, aspek-aspek yang berkaitan dengan pemidanaan penjara menjadi konsekuensi terakhir (the last resort) dalam kebijakan pidana. Maka, adanya pemaafan ini bisa dipahami bahwa tidak semua tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang harus dihukum (penjara),” bebernya.

Perlu dicatat bahwa pembangunan sistem hukum pidana baru ini bukan mengubah struktur dan penamaan hukum pidana Nasional dengan syari’at Islam, apalagi dengan penamaan-penamaan idiom-idiom Islam. Hal ini sangat dipahami oleh para perumus KUHP, mengingat pluralitas dan keberagaman masyarakat Indonesia ini, sehingga yang digunakan adalah penggalian substansi dan semangat pembaruan tersebut kearah yang lebih baik.

“Objektifikasi hukum Islam menjadi sangat penting sebab hanya dengan cara ini keberadaan hukum publik tidak akan menyinggung legitimasi perorangan dan kelompok pihak lain. Pelaksanaan syari’at Islam bagi umat Muslim dapat dimaknai sebagai pengadopsian semangat dan pesannya dalam sistem hukum Nasional,” pungkasnya. (Mushonifin)

Berita Terbaru:

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini