Ketua PCNU Kota Semarang Raih Gelar Doktor Studi Islam di UIN Sunan Kalijaga

Ketua PCNU Kota Semarang Anasom foto bersama dengan Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Walisongo Dr Ilyas Supena dan Dewan Penguji diketuai Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Dr KH Al Makin usai dikukuhkan menjadi Doktor Studi Islam, Jumat (28/1/2022)

YOGYAKARTA (Sigijateng.id) – Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Semarang Anasom, dikukuhkan menjadi Doktor Studi Islam di auditorium Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Jumat (28/1/2022).

Di depan dewan penguji, pria kelahiran Kabupaten Temanggung itu menyampaikan disertasi berjudul ‘’Nasionalisme Patriotik Kiai-Santri, Perang Sabil, dan Kemerdekaan Indonesia Dalam Sejarah Palagan Ambarawa 1945 M’’.

Adapun sebagai Dewan Penguji diketuai Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Dr KH Al Makin dengan anggota Prof Dr KH Machasin, Dr Nurul Hak, Prof Dr Dudung Abdurrahman, Dr KH Jazilus Sakho, Dr Hj Siti Maryam dan Prof Dr Sri Margana.

Hadir pada kesempatan itu Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Walisongo Dr Ilyas Supena dan keluarga besar Anasom.

Dalam paparanya, dosen FDK UIN Walisongo itu menjelaskan, penelitian disertasinya itu mengkaji peristiwa Perang Ambarawa dalam konteks sejarah. Secara lebih spesifik, penelitian ini berusaha menjelaskan terjadinya proses penguatan politik Islam pada awal abad ke-20 sehingga mengantarkan pada sikap nasionalisme kiai-santri yang melahirkan laskar-laskar rakyat.

Dalam beberapa penelitian sebelumnya dikisahkan bahwa peristiwa Perang Sabil Ambarawa secara spesifik didahului oleh pendaratan tentara sekutu yang diboncengi NICA di bawah pimpinan Brigadir Bethel di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945.

Pada awalnya maksud kehadiran mereka adalah untuk mengurus tawanan perang dan tentara Jepang yang berada di Jawa Tengah .

Dengan tujuan dianggap baik, kedatangan sekutu ini disambut baik, bahkan Gubernur Jawa Tengah saat itu, Mr. Wongsonegoro berjanji akan menyediakan bahan makanan dan segala keperluan yang dibutuhkan bagi kelancaran tugas sekutu. Sekutu sebaliknya berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan Republik Indonesia.

Namun, mereka mengkhianati janji, seperti dijelaskan Marwati Joened, mereka justru mempersenjatai para bekas tawanan perang tersebut.

Dalam latar belakang seperti itu menurut Anasom terjadilah insiden di Magelang pada tanggal 26 Oktober 1945 yang berlarut menjadi pertempuran antara TKR dengan pasukan sekutu. Hingga akhirnya Bethel meminta Soekarno datang mengatasi masalah tersebut karena merasa kewalahan menghadapi pasukan TKR.

Pada 2 November 1945 terjadi perundingan gencatan senjata . Namun, sekali lagi pihak sekutu ingkar janji. Bahkan tentara sekutu justru menambah pasukan untuk menghadapi TKR. Pasukan sekutu secara diam-diam meninggalkan Kota Magelang menuju ke Benteng Ambarawa.

Perlawanan pun terus berlanjut hingga di Ambarawa. Pertempuran di Ambarawa terjadi selama beberapa hari dan pasukan sekutu berhasil dipukul mundur pada tanggal 15 Desember 1945. Dalam keadaan terdesak, akhirnya sekutu mundur ke Semarang.

Para pejuang Indonesia semula percaya bahwa kedatangan sekutu merupakan bentuk dukungan kemerdekaan. Namun, dalam waktu singkat gambaran itu pudar dan terlihat nyata bahwa tujuan asal mereka adalah dukungan kepada penjajah Belanda untuk menguasai Indonesia.

Hal itu menurut Anasom yang melatarbelakangi terjadinya kontak senjata antara pasukan sekutu dan pejuang Indonesia di berbagai tempat. Mulai dari Ambarawa pada Oktober 1945 hingga yang paling berdarah di Surabaya pada bulan berikutnya.

Bagi umat Islam di wilayah Jawa Tengah, perlawanan terhadap penjajah ini bukanlah pengalaman pertama. Jauh sebelum itu, berbagai peristiwa perang telah terjadi di bumi Jawa Tengah. Perlawanan umat Islam terhadap kolonial dapat dilacak sejak masa Kesultanan Demak Bintoro yang melawan Portugis di Malaka, kemudian ekspedisi Panarukan melawan Portugis di Jawa Timur, dan perlawanan terhadap VOC di Batavia pada masa kepemimpinan Sultan Agung pada masa Kesultanan Mataram Islam. Pengalaman lain terjadi pada awal tahun 1742.

Pemberontakan rakyat mengangkat pemimpin Mas Garendi atau Sunan Kuning dengan gelar Amangkurat V Senapati Ing Alaga Abdurahman Sayidin Panatagama menurunkan Pakubuwana II yang bersekutu dengan VOC. Pada bulan Juli 1742, Sunan Kuning melakukan serangan besar-besaran dan berhasil merebut Keraton Kartasura. Pakubuwana II pun pergi melarikan diri ke Ponorogo bersama Kapiten van Hohendorff . Perlawanan paling bersejarah mungkin adalah Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830 . Yang menarik, Carey menemukan bahwa terdapat 108 kiai, 31 haji, 15 syekh, 12 pegawai penghulu Yogyakarta, dan 4 kiai guru yang turut berperang bersama Diponegoro. (aris)

Baca Berita Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini