Guru Besar FISIP Universitas Brawijaya, Prof. Rachmat Kriyantono : Pemilu 2024 Masih Rawan Politik Identitas

Guru Besar Ilmu Hubungan Masyarakat, FISIP Universitas Brawijaya, Prof. Rachmat Kriyantono saat memprediksi kondisi politiki Indonesia jelang Pemilu 2024. (Foto. Universitas Brawijaya)

SEMARANG (Sigi Jateng) – Guru Besar Ilmu Hubungan Masyarakat, FISIP Universitas Brawijaya, Prof. Rachmat Kriyantono menyebut aksi demo 411 pada 4 November 2022 dan rencana gelaran aksi 212 pada Desember mendatang, merupakan indikator bahwa Pilpres 2024 masih rawan diwarnai politik identitas.

Politik identitas, ungkap ProfRachmat, merupakan strategi politik yang menggunakan unsur SARA, seperti ras, suku bangsa, kebangsaan, agama, jenis kelamin, latar belakang sosial, kelas sosial, atau faktor identitas fisik dan sosial lainnya sebagai agenda politiknya. Sejak satu dekade ini, unsur identitas yang paling menonjol digunakan adalah ras, dan agama, terkhusus Islam.

“Agenda politik identitas biasanya berisi frame-frame bahwa beberapa kelompok masyarakat beridentitas tertentu telah mengalami penindasan dan bersamaan itu pula menyerang kelompok masyarakat beridentitas lain,” ujar Prof Rachmat menanggapi kondisi politik Indonesia jelang Pemilu 2024, pada Selasa (8/11/2022).

Prof Rachamat mengatakan sebuah identitas diframe sebagai sumber masalah. Contoh yang Prof Rachmat gunakan adalah PA 212 yang sering mengklaim bahwa umat Islam telah tertindas, terzalimi, dan terkriminalisasi sehingga muncul gerakan membela agama atau membela Islam.

“Pada puncaknya, mereka menawarkan seorang tokoh yang bisa membantu umat Islam,’ kata PhD dari edith Cowan University Western Australia ini.

Bagi Prof Rachamt, agama bersifat rasional dan berasal dari Allah Yang Maha Rasional.

“Agama pasti bersifat rasional karena Allah menciptakan manusia dan manusia adalah makhluk rasional (Homo sapiens atau homo rationale). Wahyu pertama pun representasi dari rasionalitas, yakni iqra’ (bacalah),” tambah Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UB.

Sifat rasionalitas agama, kata Rachmat, akan tampak jika agama dijadikan pedoman, yakni nilai-nilai agama dijadikan fondasi berpolitik. Agama pasti hadir dalam semua aspek kehidupan, seperti berpolitik, berekonomi, berbudaya, berteknologi, dan lainnya.

Dikatakan, Agama akan memunculkan politik identitas jika agama hanya digunakan sebagai bungkus politik atau sebagai konten yang dijual dalam Gerakan atau kampanye politik.

“Contoh, bertakbir sambal mencaci maki lawan politik,” tukasnya.

Politik identitas yang menggunakan agama,menurut Rachamt, bisa besar dampaknya karena agama bersifat dogmatis kepercayaan yang terkait dengan pahala-dosa dan surga-neraka. Bagi orang awam ilmu agama (bukan awam dalam pendidikan), yakni orang yang belum mampu mengeksplorasi rasionalitas agama, politik identitas berbungkus agama bisa memperbesar aspek irasionalitas individu.

Apalagi, lanjut Rachamt, didukung fakta bahwa politik identitas biasanya diikuti penggunaan strategi komunikasi nonverbal secara massif dan redudansi tinggi, seperti aksi-aksi massa, produksi gimmick-gimmick agama (baju, bendera, ritual ibadah, teriakan takbir, jihad, kafir) sebagai gimmick politik.

Aksi-aksi massa sangat efektif untuk menciptakan contagion mentale, yakni para pendukung akan lupa jati diri sosialnya dan larut pada jati diri kelompok pengusung politik identitas. Media sosial dan online pada akhirnya mengaplifikasi efek contagion mentale ini lebih luas.

“Politik identitas akan lebih fokus pada identitas-identitas fisik dan sosial tertentu dan minim argumentasi gagasan berbasis data. Karena itulah simbol-simbol nonverbal banyak digunakan yang bisa mereduksi demokrasi. Minimnya gagasan berbasis data dan kecenderungan simbol-simbol nonverbal bisa memunculkan maraknya strategi kampanye negatif dan kampanye hitam,” jelasnya.

Dalam political public relations, kata Rachamt, kampanye negatif merupakan kampanye yang menampilkan kekurangan-kekurangan lawan. Jika berisi data yang valid dan argument ilmiah, kampanye negatif masih bisa diterima secara hukum. Namun, politik identitas membuat kampanye negatif ini lebih fokus memframe identitas fisik dan sosial sebagai sebuah kekurangan lawan.

“Tentu hal ini tidak bijak karena bisa dianggap melawan takdir Allah, antara lain di QS 49:13,” terangnya.

Kampanye negatif ini jika tidak berhati-hati bisa membuat politisi fokus pada upaya mencari-cari kekurangan orang lain dengan tujuan membongkar noda dan memalukannya (Tajassus), yang tentu saja dilarang agama (QS 13:12).

Kampanye hitam adalah kampanye yang tidak berdasarkan fakta atau data yang benar sehingga mengandung kebohongan. Bisa mengandung fitnah kepada lawan politik. Kampanye hitam mencakup penyebaran informasi hoaks dan informasi palsu.

Semua itu sangat dilarang agama (QS 24:11). Beberapa hoaks berbasis politik identitas pernah terkenal saat pilpres, antara lain Pak Jokowi beragama Kristen, padahal beragama Islam.

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibangun dari fondasi kesatuan dari keberagaman identitas fisik dan sosial, seperti agama, ras, suku, politik identitas bisa memperlebar perbedaan ini dan pada akhirnya memecah belah bangsa.

“Para politikus mesti hentikan politik identitas. Cukuplah pengalaman di Pilkada DKI Jakarta yang memecah belah masyarakat. Mari gunakan rasionalitas argument berbasis data untuk mencerahkan demokrasi kita dan menjaga keutuhan bangsa,’ tutupnya. (Mushonifin)

Baca Berita Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini