Bahtsul Masail NU: Jangan Menjual Kulit dan Kepala Hewan Kurban, Haram! Simak Solusinya

BAHTSUL MASAIL WAQI’IYYAH: Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM NU) Kota Semarang mengadakan Bahtsul Masail Waqi’iyyah atau masalah-masalah aktual seputar kurban di Masjid Baiturrohim, Gabahan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang. ( foto dok lbm nu)

SIGIJATENG.ID – Salah satu persolan yang banyak muncul dan sering diperbincangkan terkait pelaksanaan kurban pada saat Hari Raya Idul Adha adalah menjual kulit hewan kurban, kepala hewan kurban. Karena memang sering dijumpai, pada saat Idul Adha banyak orang yang jual beli kulit kambing hewan kurban.

Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM NU) Kota Semarang memberikan peringatan kepada panitia kurban agar berhati-hati dalam menjalankan Amanah sebagai panitia.

Dalam Bahtsul Masail Waqi’iyyah atau pembahasan permasalahan kekinian atau masalah-masalah aktual di Masjid Baiturrohim, Gabahan, Kecamatan Semarang Tengah, LBM NU dipimpin Ketuanya KHM Sa’dulloh AshShodiqi dan Sekretaris Habib Musthofa Al Muhdhor membahas seputar kurban.

Bahtsul Masail diikuti 16 Pengurus MWC NU Kecamatan se-Kota Semarang dimoderatori Gus Ahmad Mundzir. Sebagai Mushahih KH Hanief Ismail Lc (Rais Syuriyah), KH Muharno Abimaya dan Dr KH In’amuzzahidin Masyhudi (Katib Syuriyah). Perumus terdiri Habib Muhammad bin Farid Al Muthohar, Habib Mustofa Al Muhdhor dan  KH Muhammad Sa’dulloh AshShodiqi. Hadir pada kesempatan itu Wakil Ketua PCNU Agus Fathuddin Yusuf dan Sekretaris Rahul Saiful Bahri.

Tiga persoalan hukum agama tentang kurban yang dibahas yaitu bagaimana hukum kulit dan kepala hewan kurban dijual baik dijual oleh panitia atau dijual oleh mudhahhi sendiri mengingat banyak masyarakat perkotaan yang malas mengolahnya. Kedua, hukum mendistribusikan hewan kurban ke luar daerah dan ketiga hukum daging kurban yang dicampur menjadi satu.

Tentang hukum menjual kulit dan kepala hewan kurban, dan bagian lain dari hewan kurban itu, LBM NU secara tegas menyatakan hukumnya haram dan mengakibatkan kurban tidak sah. ‘’Solusinya adalah kulit atau kepala hewan kurban diberikan kepada orang miskin kemudian orang miskin tersebut dipersilahkan untuk mengolah, memanfaatkan atau menjualnya sendiri. Apabila dia tidak bisa menjualnya sendiri, orang miskin tersebut boleh dibantu panitia untuk menjualkan, namun uang hasil penjualan menjadi milik orang miskin seratus persen. Panitia tidak boleh mengambilnya baik untuk kepentingan panitia atau disumbangkan kepada masjid, mushala, dan sejenisnya,’’ tegas Gus Sa’dulloh.

Pembatasan Wilayah

Di dalam kurban, apakah ada batasan wilayah distribusi? Apabila diilustrasikan di Masjid Agung Semarang, jaraknya sampai mana?

Terhadap pertanyaan tersebut, LBM NU menjawab, apabila pemindahannya masih berupa uang, tidak ada batasan distribusi. Apabila masih berupa hewan kurban hidup (belum disembelih), juga tidak ada batasan distribusi. Apabila hewan kurban sudah disembelih, maka diperinci, yaitu jika daging hewan kurban nadzar, ada batasan distribusi yaitu batasannya adalah batas wilayah setempat.

‘’Tidak boleh ada sepotong pun daging yang dibawa ke luar daerah. Semuanya harus diberikan ke warga setempat. Apabila diilustrasikan dengan Masjid Agung Semarang, maka harus dibagikan ke warga sekitar masjid,’’ kata Gus Sa’dulloh.

Jika daging hewan kurban sunnah, maka setiap hewan dari setiap mudhohhi, harus dipisah menjadi dua; kadar minimal wajib (kira-kira sekitar setengah kilogram daging murni dan segar) yang harus diberikan kepada orang fakir sekitar Masjid Agung Semarang. Sisa dari sekitar setengah kilo boleh dibagikan secara bebas, tidak ada batasan wilayah.

Dalam batasan pembagian jika ilustrasinya di Masjid Agung Semarang maka batasnya adalah batas daerah setempat masjid tersebut secara urf.

Mengenai hukum daging kurban yang dicampur menjadi satu muncul pertanyaan,  bagaimana hukumnya panitia yang mendapatkan banyak hewan kurban, setelah hewan disembelih, dijadikan satu. Kemudian semua daging dibagikan kepada masyarakat tanpa menyisihkan secara spesifik ada bagian bagi orang fakir? Apabila sudah terjadi di masyarakat, bagaimana konskwensinya dan bagaimana solusinya?

LBM NU menjawab hukum panitia langsung mencampur daging menjadi satu tidak diperbolehkan karena jika daging langsung dicampur menjadi satu antara daging satu hewan dengan hewan yang lain dikhawatirkan setelah tercampur nanti ada sebagian hewan yang tidak ada sedikitpun daging yang diberikan kepada orang fakir.

‘’Seharusnya panitia mengambil sekedar wajib (sekitar setengah kilogram daging murni dan segar) terlebih dahulu sebelum daging dicampur dengan daging hewan-hewan yang lain. Apabila dari kurban sapi yang terdiri dari tujuh orang, maka harus menyisihkan masing-masing sapi tujuh potong sebelum dicampur dengan daging sapi-sapi yang lain,’’ katanya.

Apabila masing-masing mudhohhi menghendaki ingin ikut bertabarruk memakan sebagian daging kurbannya, maka panitia selain menyisihkan daging sekitar setengah kilogram untuk orang fakir, panitia juga mengambilkan sebagian daging dari masing-masing hewan kurban sesuai dengan nama mudhohhi, tidak asal diambilkan dari daging kurbannya orang lain.

Apabila panitia memang sejak awal menyengaja diri untuk merekrut dan melakukan pembentukan kepanitian, jika terjadi kesalahan atas ketidatahuannya tentang harus memisahkan terlebih dahulu kadar minimal wajib yang harus diberikan kepada mustahiq, sehingga tidak ada yang sesuai sasaran sama sekali, maka panitia dianggap muqashshir yang resikonya adalah membayar ganti rugi (dhoman) dengan berupa memberikan sekitar setengah kilogram daging dengan dibagikan kepada orang fakir. Perlu diketahui bahwa memberikan minimal sebagian kecil daging murni dan segar kepada orang fakir adalah satu hukum yang tidak ada perbedaan pendapat antar ulama. (aris)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini