Alasan dibalik Badai PHK yang Terjadi di Beberapa Startup Indonesia

Ilustrasi. (foto unsplash)

SIGIJATENG.ID – Beberapa hari terakhir ini linimasa berbagai sosial media maupun platform berita dipenuhi dengan kabar dipecatnya ratusan hingga ribuan karyawan di beberapa startup yang ada di Indonesia.

Melansir dari berbagai sumber, kebijakan tersebut dilakukan oleh perusahaan agar tetap bisa eksis menghadapi krisis ekonomi global yang sudah mulai terasa.

Gelombang PHK digital disebabkan oleh tekanan makro ekonomi yang cukup berat pasca ekonomi, mulai dari kenaikan inflasi, tren penyesuaian suku bunga, pelemahan daya beli, dan resiko geopolitik serta model bisnis yang berubah signifikan.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS,) Bhima Yudhistira mengatakan, hampir sebagian besar startup yang lakukan PHK massal disebut sebagai pandemic darling atau perusahaan yang meraup kenaikan Gross Merchandise Value (GMV) selama puncak pandemi 2020-2021.

Karena valuasinya tinggi, maka mereka dipersepsikan mudah mencari pendanaan baru.

Fenomena overstaffing atau melakukan rekrutmen secara agresif jadi salah satu penyebab akhirnya PHK massal terjadi.

Banyak founder dan CEO perusahaan yang over-optimis, ternyata pasca pandemi reda, masyarakat lebih memilih omnichannel bahkan secara penuh berbelanja di toko offline atau hanya pembayaran pakai digital/mobile banking-transaksi dilakukan manual.

“Akibat overstaffing biaya operasional membengkak, dan menjadi beban kelangsungan perusahaan digital,” jelas bhima

Kata Bhima, pemerintah harus mulai mengatur model bisnis e-commerce dan ride-hailing yang lakukan promo dan diskon secara besar-besaran untuk pertahankan market share, dampaknya persaingan usaha sektor digital menjadi kurang sehat.

Menanggapi maraknya PHK, ekonom Indef Dzulfian Syafrian menyebutkan bahwa fenomena ini alamiah mengingat tahun depan ekonomi akan semakin sulit.

Ia menyebut konsumsi tahun ini berkurang drastis, sehingga produktivitas perusahaan pun turun dan mendorong perusahaan untuk melakukan perampingan.

“52 persen ekonomi nasional kita dari agregat konsumsi, kemudian ekspor. Kedua aktivitas ekonomi itu sedang lesu-lesunya, maka produktivitas turun. Sehingga perusahaan startup mau tidak mau harus PHK agar terus berjalan operasionalnya, sambil meraup untung,” tutur Dzulfian.

Sementara itu Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, ancaman inflasi hanyalah salah satu faktor dari badai pelepasan karyawan yang banyak menimpa perusahaan baru-baru ini. Ia mengatakan pengurangan karyawan di industri startup sudah menjadi sifat industrinya.

Namun, ia menggarisbawahi ancaman resesi berpotensi menjadi faktor utama yang dapat memperparah badai PHK tahun depan.

Timboel mengatakan semua tergantung kesiapan pemerintah dalam menghadapi ancaman resesi tahun depan.

“Untuk 2023, resesi bisa jadi faktor utama. Memang kita (masih lebih baik) dibandingkan negara lain yang resesi seperti Inggris dan Rusia yang dua digit inflasinya, tetapi apakah akan bertahan? Nah, itu tergantung antisipasi pemerintah, bantalan apa yang disiapkan,” tambahnya.

Ia menyarankan pemerintah dapat mengalokasikan APBN yang tersisa tahun ini untuk Bantuan Subsidi Upah (BSU), agar masyarakat yang tertimpa inflasi mendapat bantuan mengamankan kondisi finansialnya. (Akhida)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini