Soal Larangan Mudik; PBNU Minta Pemerintah Harus Kompak dan Tidak Boleh Pelangi

Ketua Tim Pengarah Satgas Covid-19 PBNU H Andi Najmi Fuadi (baju merah marun). (Foto: dok. Istimewa)

JAKARTA (Sigi Jateng) – PBNU mengingatkan pemerintah harus kompak perihal kebijakan larangan mudik. Bukan saja mudik yang dilarang, tetapi juga sektor wisata yang mengundang banyak orang berkumpul juga harus tutup.

Hal tersebut disampaikan Ketua Tim Pengarah Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Andi Najmi Fuadi.

“Pemantik-pemantik orang mudik termasuk sektor wisata juga harus tutup. Catatan lagi pemerintah harus kompak, tidak boleh pelangi,” kata Andi, seperti dikuti di NU Online, Selasa (13/4/2021).

Pada prinsipnya, terang Andi Najmi, selama angka penyebaran Covid-19 belum terkendali dan program vaksinasi masih jauh dari target ideal pemerintah seperti saat ini, maka kebijakan pembatasan pergerakan manusia dirasa masih harus dilakukan.

“Termasuk kebijakan larangan mudik saat jelang hari raya idul fitri,” tegas Wakil Sekretaris Jenderal PBNU itu.

Menurut Andi,  pergerakan manusia dari satu wilayah ke wilayah lain terlebih dalam jumlah yang besar sangat berpotensi menambah angka positif Covid-19. Larangan mudik juga, lanjutnya, harus dilihat sebagai upaya menghindari gelombang kedua Covid-19 sebagaimana banyak dialami negara-negara lain.  Selaras dengan kebijakan larangan mudik tentu sudah seharusnya pemantik-pemantik pergerakan orang seperti tempat wisata juga harus ditutup.

“Tapi, bahwa kebijakan dibolehkannya melakukan ibadah tarawih saat bulan Ramadhan berbeda dengan pelarangan mudik itu.  Selama shalat tarawih diberlakukan dengan protokol kesehatan secara ketat dan bisa meminimalisasi kesempatan orang untuk membuka masker, saya berpendapat masih ok,” ujarnya.

Misalnya, lanjut Andi mencontohkan, imam membaca surat-surat pendek, tadarus Al-Qur’an dibatasi orang dan durasi waktunya, hingga tidak ada buka bersama dan sajian-sajian lainnya.

Berita Terbaru:

Adapun jika mudik diatur dengan penerapan protokol kesehatan, menurutnya, tidak efektif. Pasalnya, mudik itu berarti bolak-balik, berangkat dari kota asal menuju kota tujuan dan akan kembali dari kota tujuan menuju kota asal. Secara teori, memang hal tersebut bisa diatur. Namun, praktiknya sangat tidak efektif dan berbiaya tinggi, belum lagi efek potensi peningkatan angka positif Covid-19.

“Tentu kita sangat menghormati dan menghargai keinginan sebagian masyarakat untuk membolehkan mudik dengan pengaturan, tapi saya rasa tidak akan efektif pembatasan atau pengaturan mudik lebaran,” pungkas Andi. (aris)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini