PUISI-PUISI CANDI AMIR MACHMUD NS

H Amir Machmud NS, Ketua PWI Jateng ( foto dok pwi jateng)

Amir Machmud NS

DARI PERADABAN GUNADARMA

bertahun-tahun kurenungi

secemerlang itukah leluhur menganggit

dalam karya mengguncang akal

yang kuyakin mata batin bicara

yang kupercaya sikap tirakat mengemuka

yang kupasti berkeunggulan rasa

tak hanya berbekal yang kasat mata

bertahun-tahun kutera hati

dengan kebanggaan dalam prasasti

segemilang itu para leluhur melabuhkan semesta pikiran

untuk warisan yang tak terbahasakan

hanya karena Dyah Pancapana-kah

hanya lantaran Samaratungga

atau hanya berkat Rakai Pikatan?

atau Gunadarma

dengan nalar peradaban

dan keadiluhungan budaya?

bertahun-tahun tak kenal henti

kuikhlaskan menumpuk kebanggaan

untuk para empu yang waskita

untuk para rakai yang bijaksana

untuk bangsa yang besar ini

: yang terkadang hilang adab

mencabik kebesarannya sendiri.

(2021)

Amir Machmud NS

DALAM ADAB, DALAM BUDI

tak kutolak malam untuk menyelimuti

lelantun kidung di dukuh sunyi

senyap tapi meruap harap

sepi tapi menata elok budi

o, dalam tuntunan budi

seni pengikat peradaban

takkan beradab tanpa budi

takkan berbudi tanpa adab

dan, di candi-candi kutemui budi

takkan candi tanpa adab

adabkah yang memfondasi candi?

kuserap suara-suara

di keheningan habitat Candi Pawon

mantera-kah?

bukan

puja kidung asmara?

bukan

siul angin pembuai mimpi?

bukan pula

: desir, desir cobalah kau raba

ia munajat yang mengiris sepi

ia penanda yang melelehkan rasa

kau hidup-hidupkanlah budi

kau rawat-rawatlah adab.

(2021)

Amir Machmud NS

UNTUK PARA LELUHUR

pastilah kau menangkap visi dan kecerdasan pada setiap candi yang kau ziarahi

bukankah itu warisan yang didirikan dengan detail rencana dan keramahan menyanding alam

karya-karya yang dirancang menjulang menjadi penanda zaman lalu tak terbayangkan betapa kuat pikiran para empu meletupkan gagasan: harus dari mana memulai dan bagaimana mengisi dan bagaimana menoreh makna

ditiupkan api jiwa dalam semangat mewariskan

dipahatkan api suci ke dinding-dinding candi

disiramkan air kebajikan menjadi berakit-rakit kisah

dicitrakan gagah candi dengan lembut pesan-pesan damai Buddha dan Syiwa

tak terkatakan dari sedikit ke sedikit bangunan menjelma pancaran keagungan yang kita banggakan sekarang tanpa mampu mencerna bagaimana mungkin raga, jiwa, dan semua pengorbanan menandai kerja raksasa dengan sarana-sarana serbapurba

lalu kita mengagumi

lalu kita membanggakan ke antero semesta

lalu kita puja-puja leluhur yang luar biasa

kita tera para empu dalam prasasti yang lestari mengabadi

maka biasakanlah menghargai leluhur lewat mahakarya tak terkira

dan entah dengan cara apa memosisikannya dalam ruang luas sejarah

dengan nalar keagungan yang berbeda

sejarah takkan mengenal jejak yang dibelokkan

sejarah tak membiarkan siapa pun hanya mendaku-daku sebagai pembuat dan pemilik peristiwa

sejarah sejatinya adalah pengakuan lantaran ada fakta

untuk sepenuhnya kita tera dalam batu-batu dan lontar penanda

para empu, maharaja, rani, dan kesatria meletakkan mahkota kemartabatan sebagai bangsa

saat warisan dipersembahkan

saat alam termahkotai

: kita senandungkan masa lalu

kita bernyanyi untuk masa kini

kita bersyair untuk masa depan.

(2021)

Amir Machmud NS

KUSAMBUT DI MANJUSRIGRHA

datanglah ke Manjusrigrha

stupanya menjulang menggapai langit

seagung pucuk-pucuk Sambarabudara

membelah arak-arakan awan

di sini akan kalian rasakan luas segara cinta

di sini akan kalian resapi hamparan langit makna

berderet perwara menyatukan

indahnya perbedaan

luap samudera keragaman

langit tak membedakan warna

biru Manjusrigrha, cerah Syiwagrha

mendung putih berkejaran

melintas biru di langit dua agama

meneduhi pernyataan darma

dalam kesanggupan menera cahaya

sama-sama menerang mayapada

hati tersatukan oleh muara.

(2021)

Amir Machmud NS

LEWAT KEARIFAN YANG TERBACA

candi berbicara menyatukan masa-masa

dengan bahasa budaya

: dia ada untuk suatu masa

namun dia hadir tak hanya untuk masanya

menghampar dari generasi ke generasi

candi-candi menatap dan kau tatap dengan rasa

gagah wajah mahakarya

: dia menanda kebesaran wangsa

dia terwariskan untuk bangsa

candi melebur makna

lewat kearifan yang terbaca

: ada agama

ada kuasa

ada seni

ada budaya

pun ada cinta

dan rasa sudah pasti ada dalam muatan kehadirannya

resapilah dengan mata waskita

tanpa harus meneriakkan permusuhan

untuk menandai adanya.

(26-04-2021)

Amir Machmud NS

MENERANG SEMESTA DARI CAHAYA

bukan, bukan sekadar bahasa agama yang menyalakan api di ubun-ubun candi. Bukan pula bahasa wangsa

tengara cahaya hadir di pepucuk mahakarya yang menjulang dan karenanya candi-candi itu menjadi milik semesta manusia

cahaya itu mewujudkan gairah yang menepikan keangkuhan wangsa-wangsa karena masa kini yang merangkai sejarah betapa bangsa ini memiliki kecemerlangan masa silam

bukan, bukan bahasa agama yang lalu mengkotak-kotakkan manusia untuk kehilangan semestanya. Agama memperindah dan bukan untuk nafsu menguasai

dalam ziarah kita temukan api

dalam ziarah kita mencari tepi

pada api kita nyalakan darma

dari bibir tepi kita satukan samudera

luas menghampar

: bukan sekadar Medang Mataram

tak sekadar Mamrati

tak sesempit Daha

apimu menerang Jawadwipa

cahayamu membahanakan Nusantara.

(2021)

Amir Machmud NS

MERAPI

Merapi mengulik candi-candi dari panggung eksibisi jagat raya. Ia arga yang setia mengawal kosmologi alam dan perilaku manusia

pesan apakah yang dia sampaikan ketika pada suatu masa sejadi-jadinya memuntahkan amuk mahapralaya?

O, masa silam yang hitam. Kalian tak harus melupakan. Bukankah itu sejarah yang menorehkan pesan

dari bukit Sambarabudara Merapi melatari cakrawala timur. Kadang membawa awan putih berarak. Kadang mengusung koloni mendung kelam. Ada terang, ada muram. Acapkali misteri terbaca sebagai eksotika

dari Syiwagrha ia menjadi panorama sempurna altar penyatuan pikiran manusia. Ia menarasikan percakapan alam yang memberi tanda-tanda dan bukankah seharusnya manusia menafsirkan dengan perilakunya

tafsir alam hadir dalam pagi, mengedar dalam siang, menyerta dalam malam. Mampukah kau membaca tanda?

kita tak sekadar kalang kabut ketika Merapi tersiram kabut. Tak hiruk-pikuk ketika Merapi terbatuk-batuk

karena alam adalah bahasa. Dan candi yang gagah berdiam adalah isyarat-isyarat pula.

(2021)

— Puisi-puisi Amir Machmud NS ini merupakan bagian dari yang sedang disiapkan untuk antologi “Dari Peradaban Gunadarma”, logi kedua kumpulan puisi “Percakapan dengan Candi” yang Februari 2021 lalu terbit.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini