Perdagangan Perempuan Marak Terjadi, FISIP UIN Walisongo Bahas Serius dengan KJHAM dan PPT Seruni

Dekan FISIP UIN Walisongo Semarang, Dr. Hj. Misbah Zulfa Elisabeth, M.Hum. (dok.)

SEMARANG (Sigi Jateng) – Convention On the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) atau Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan yang sudah ditetapkan oleh sidang umum PBB pada tanggal 18 Desember 1979 harus dijadikan sebagai bahan renungan semua pihak tidak hanya tugas pemerintah, melainkan semua elemen masyarakat harus mengetahuinya.

Hal itu disampaikan oleh Dekan FISIP UIN Walisongo Semarang, Dr. Hj. Misbah Zulfa Elisabeth, M.Hum saat membuka Webinar “Membaca Kembali CEDAW di Era Post Covid-19” dalam rangka dies natalis UIN Walisongo Semarang. Kegiatan tersebut dilakukan secara virtual pada Kamis (1/4/21) dan dihadiri langsung jajaran pimpinan fakultas serta mahasiswa FISIP maupun masyarakat umum.

Elisabeth menjelaskan bahwa Indonesia sendiri telah meratifikasi CEDAW ini melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984.

Elisabeth menuturkan pendidikan anak adalah tanggung jawab bersama. Dan demi kepentingan terbaik untuk anak maka munculah regulasi larangan perdagangan perempuan dan eksploitasi pelacuran, persamaan dalam bidang politik, persamaan dalam bidang perekonomian, serta persamaan dalam perkawinan dan keluarga.

Webinar CEDAW menghadirkan 5 (lima) narasumber yang ekspert di bidangnya, diantaranya Dr. H. Moh. Fauzi, M.Ag (Dosen Sosiologi FISIP UIN Walisongo), Titik Rahmawati, M.Ag selaku Kepala Pusat Studi Gender dan Anak UIN Walisongo, Nur Laila Hafidhoh unsur praktisi dari LRC-KJHAM Kota Semarang, ada juga Raoudlatul M praktisi dari PPT Seruni Kota Semarang, dan terakhir sekaligus alumni dari Prodi Ilmu Politik UIN Walisongo yakni Indah Feni Rejeki, S.Sos juga aktif di PKBI Jawa Tengah.

Dalam sambutannya Dekan FISIP menekankan bahwa CEDAW dan Undang-undang turunanya telah dibuat guna mendukung pelaksanaan isi dari CEDAW di Indonesia.

“Namun, tantangan selanjutnya adalah bagaimana implementasinya dalam menjamin tidak adanya lagi kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apapun. Undang-Undang telah ada, peraturan juga telah ada, pertanyaan kemudian adalah bagaimana implementasinya.” tambah Misbah.

Sementara itu, Nur Laila Hafidhoh dari LRC-KJHAM Kota Semarang mengatakan implementasi dari komitmen pelaksanaan CEDAW ini memang menjadi hal yang menjadi perhatian di tengah masih banyaknya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dengan berbagai bentuknya di Indonesia.

“Apalagi dengan masih kuatnya budaya patriarki di Indonesia yang meletakkan wanita di tempat kedua,” ungkap Hafidhoh.

Dr. H. Moh. Fauzi, M.Ag mengatakan bahwa pandemi Covid-19 ini juga menunjukkan adanya tren kenaikan kekerasan seksual yang ada di media sosial. Selain itu beban wanita sebagai istri dan ibu juga makin meningkat selama masa work from home. Para wanita harus bekerja sekaligus mengurus pekerjaan domestik, serta mengurus pendidikan anak sepenuhnya saat masa bekerja dari rumah.

“Dalam perspektif agama, menyatakan bahwa pendidikan anak itu adalah tugas berdua dari orangtua, bukan hanya tugas seorang ibu,” tambah Fauzi.

Kepala Pusat Studi Gender dan Anak UIN Walisongo, Titik Rahmawati, M.Ag menyatakan bahwa UIN Walisongo sebagai institusi Pendidikan, di mana seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman, dan kondusif untuk seluruh civitas akademiknya.

“Harus ada upaya untuk mengimplementasikan CEDAW melalui dorongan Keputusan Dirjen Pendis Nomor 5494 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di PTKI yang kemudian melahirkan Keputusan Rektor Nomor 300 Tahun 2020 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual pada UIN Walisongo Semarang,” ujar Titik.

Feni Indah Rejeki, S.Sos juga turut meramaikan diskusi tersebut dengan melihat dari kacamata anak muda. Bagaimana peran anak muda dalam menghadapi persoalan-persoalan kekerasan yang sering dialami perempuan. Feni juga berbagi pengalaman selama menjadi pendamping di PKBI Jawa Tengah, bahwa anak muda tidak lagi menunggu untuk diperintah melainkan harus aktif menjemput problem yang ada di masyarakat.

“Generasi milenial di masa pandemi Covid-19 harus ikut serta memberikan pendidikan dan wawasan terkait dengan bahayanya kekerasan seksual dan berikan solusi bagaimana cara penanganan kekerasan seksual yang tepat ala anak muda,” tambah Feni. (Mushonifin)

Baca Berita Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini