Nasikhin, Wisudawan Terbaik UIN Walisongo Dengan Modal Nekat, Jadi Pemulung dan Mocok Kerja di Catering

Nasikhin, seorang pemulung sampah yang Jadi Wisudawan Terbaik Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang. (foto ist.)

SEMARANG (Sigi Jateng) – Rangkaian kegiatan Wisuda UIN Walisongo Semarang yang berlangsung selama 10 hari telah usia. Namun kisah dari wisuda ini masih terus berlanjut dengan sebuah kisah inspiratif dari seorang mahasiswa terbaik yang hidup sebagai pemulung sampah.

Salah satu wisudawan UIN Walisongo 2021 ini adalah Nasikhin. Dia menjadi sorotan karena menjadi wisudawan terbaik Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Walisongo Semarang. TIdak hanya terbaik, namun kisah hidupnya juga sangat inspiratif.

“Beberapa orang menyebut istilah itu (Nasikhin) untuk memanggil nama saya. Susunan huruf yang tergolong simpel ini merupakan warisan terbesar yang ayah berikan untuk putra kecilnya. “Orang yang memberikan nasihat”, kurang lebih seperti itu kalimat yang teringat, saat saya dan guru SMP berbincang kecil tentang arti nama-nama muridnya, tepat di samping tempat sampah biru, sambil memulung botol-botol bekas bertuliskan “Ale-Ale” 8 tahun silam,” ujar Nasikhin menceritakan kisahnya melalui pesan tertulis, Rabu (3/3/2021).

Nama tersebut, kata Nasikhin, adalah harapan dari orang tuanya agar menjadi teladan yang baik bagi teman-temannya.

“Sungguh teramat bahagia, sebab masa purba itu adalah waktu pertama bagiku untuk memaknai sebuah nama. Perbincangan yang mengandung pesan bahwa orang tua saya sangat ingin anak pertamanya bisa menjadi contoh, nasehat, dan teladan yang baik bagi adik-adiknya,” ungkapnya.

Nasikhin mulai menceritakan kehidupannya saat SD hingga SMP yang dijalaninya sebagai pemulung.

“Dari sini semuanya dimulai, setelah 3 tahun dari kelas 6 SD hingga 2 SMP fokus pada profesiku sebagai pemulung dan menjual semua barang yang didapat (kardus, botol bekas, besi, buku dll), mulailah timbul pemikiran untuk menahan buku hasil mulung itu selama satu minggu, tidak lain agar bisa membaca terlebih dahulu sebelum akhirnya dijual kepada pengepul,” jelas Nasikhin.

“Sebab benar-benar tersadar, untuk menjadi Orang yang memberikan nasihat sebagaimana diceritakan orang tua, saya harus banyak belajar. Namun karena keadaan perekonomian yang sangat kurang waktu itu, tidaklah berani saya meminta uang untuk untuk membeli buku. Jangankan membeli buku, melihat orang tua tidak bertengkar karena sekilo beras saja sudah bahagia,” ungkap Nasikhin.

Karena tak mampu membeli buku demi sekilo beras dan cukup mengambil buku-buku hasil pulungannya itu kemudian menjadi alasan bagi Nasikhin dan adiknya bernama Ulul Albab terus memberanikan diri untuk memulung selama bertahun-tahun.

“Sebab kami tidak mau ibu menangis hanya karena masalah beras. meskipun hanya sekilo beras yang bisa kami berikan pada ibu, setidaknya itu sudah cukup membuat ibu tersenyum, memastikan bahwa anak-anaknya hari ini bisa makan,” paparnya.

Namun keberuntungan memang selalu dekat dengan orang yang bekerja keras. Saat sekolah dulu, banyak guru-guru nasikhin yang memberikan barang-barang bekasnya untuk dijual.

“Banyak hal yang mereka tawarkan mulai dari botol, buku-buku yang tertumpuk, dan bahkan ada yang memberikan wajan anti karat dengan lubang di bagian tengahnya,” kenangnya.

“Tak terbayang betapa bahagianya kala itu, karena kelompok barang rongsok berjenis aluminium adalah salah satu benda mahal yang dicari pengepul. Teringat jelas, Bu salijah, Bu Suyati, Bu Titiari, Bu Yatmini adalah beberapa dari nama-nama guru yang saya anggap malaikat. Sungguh mereka adalah orang-orang baik yang semoga Allah lindungi di setiap langkahnya,” ungkap Nasikhin mengenang para gurunya yang dianggapnya baik hati.

Waktu terus berlalu, Nasikhinpun beranjak dewasa dengan segala perubahan sikap dan kepekaan rasa. Lama-lama Nasikhin malu dengan ejekan teman yang selalu saja merendahkannya karena profesi pemulingnya.

“Saat bercampur dengan mereka, tidak semua memang, tapi tidak sedikit juga yang demikian (membully). Hal itu menimbulkan keputusan untuk mulai meninggalkan profesiku sebagai seorang pemulung dan menggantinya dengan berdagang,” ungkapnya.

“Semuanya dijual, mulai dari kelapa, ikan asin, sawi, tape, gorengan dan apapun benda yang kiranya dipercayakan oleh si pemilik barang untuk saya usung keliling kampung dan menawarkannya kepada para warga. Memang keuntungannya tidak seberapa, namun saya rasa pekerjaan ini lebih terhormat dari pada memulung. Kegiatan ini saya rutinkan setiap sore hari selepas pulang sekolah, 4 tahun lamanya sejak kelas 3 SMP hingga Akhir masa studi kelas 3 SMA,” paparnya.

Nasikhin yang saat SMA bersekolah di SMA N 1 Bawang Kabupaten Batang, mengisahkan sosok guru yang menginspirasinya. Dia bernama Lilik Retno Wilianti. Sosok Bu Lilik adalah sosok yang bisa memberinya motivasi. Selain Lilik, ada guru lain bernama Tyas yang memberi pengalaman berbeda pada Nasikhin pada bidang karya ilmiah.

“Saya dipertemukan dengan guru inspiratif. Beliau bernama Bu Lilik Retno Wilianti dan Ibu Tyas, seorang guru yang sangat inspiratif. Mereka adalah pembina ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja. Dengan begitu sabar dan tekun, ibu guru cantik ini selalu membimbing saya di setiap event penulisan yang diikuti, baik di tingkat Kabupaten, Provinsi, maupun Nasional,” ungkapnya.

Alhasil beberapa kejuaraan penulisan pun pernah diraih oleh Nasikhin mulai dari Lomba Karya Tulis Ilmiah tentang pesisir, Lomba Esai Pertanian IPB, Finalis Karya Tulis Ilmiah (KTI) Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Batang dan beberapa yang lain. Dengan modal nilai rapor dan sertifikat kejuaraan inilah akhirnya Nasikhin memberanikan diri untuk mendaftar kuliah di UIN Walisongo Semarang melalui jalur SPAN-PTKIN pada Jurusan Pendidikan Agama Islam pada 2017 lalu.

“Masih teringat, 19 Agustus 2017 saya menginjakkan kaki di Semarang, diantar oleh Pak Umar (Kepala SMAN 1 Bawang saat itu) yang kebetulan ada acara belanja barang dagangannya di Simpang Llima, beliau adalah guru yang sudah seperti bapak kedua saya,” ucapnya.

Sesampainya di Ngaliyan, tempat kampus UIN Walisongo berdiri, Nasikhin langsung beristirahat di masjid Kampus 1 UIN. Sehari kemudian Nasikhin dihantar ke Masjid Al-Falah di Perumahan Bukit Persada Indah (BPI) Ngaliyan untuk mengisi slot marbot yang kosong di sana.

“Di masjid kampus satu, saya bertemu dengan Mas Chilman Syarif yang memberikan tumpangan tidur dan makan selama satu hari hingga pada 20 Agustus 2017, saya diantar ke masjid Al-Falah perum BPI untuk mengabdikan diri disini,” jelasnya.

“Bermodalkan 180 ribu begitu PD-nya saya mengikuti kegiatan PBAK (Ospek/Opak). Jangankan baju baru, dasi yang saya gunakan untuk PBAK saja dipinjami Mas Rizal. Dengan bangga dan penuh kebahagian, saya memakai baju putih dan celana hitam, berderet dengan gagah di auditorium kampus tiga. Serasa sangat bangga dan bahagia sekali, seorang saya, seorang pemulung, bisa mendapatkan gelar kehormatan sebagai mahasiswa,” kenangnya menceritakan masa-masa awal masuk UIN Walisongo Semarang.

Hingga barulah beberapa waktu selepas kegiatan PBAK hari pertama usai, Nasikhin mulai merasakan lapar dan dahaga. Tanpa pikir panjang, kisah Nasikhin, dirinya masuk ke warung makan padang. Selama dua kali dalam sehari, dimana waktu itu, karena belum pernah makan enak, Nasikhin menghabiskan dua porsi makanan, habislah uangnya sebanyak 28 ribu rupiah. Bagi Nasikhin saat itu uang sebesar itu adalah angka yang cukup besar mengingat kemampuan ekonominya yang sangat tidak layak.

“Sebab kali pertama makan dengan dua porsi menghabiskan 28 ribu ditambah uang pembayaran parkir seribu entah lupa kemudian yang seribu saya gunakan untuk apa,” paparnya yang mengaku khilaf tiba-tiba uangnya berkurang 30 ribu dan tersisa 150 ribu.

“Penyesalan demi penyesalan terus menghantui, sebab kekhilafan saya telah menghabiskan uang 30 ribu dalam waktu sehari. Hingga malam saya tak bisa tidur, memikirkan nasib satu bulan kedepan, kira-kira apa yang bisa saya makan,” ujarnya.

“Hingga pada suatu ketika, saya diajak teman saya, Mas Mustaqim, ke sebuah warteg. Disana saya baru tau kalau ada sup kubis bercampur wortel yang di jual murah. Dengan 2.000 kita bisa mendapatkan satu bungkus sup full berisi kuah dan sedikit sayuran,” kisahnya saat mendapat pencerahan soal makanan enak dengan harga murah.

Begitulah kemudian seterusnya selama dua semester. Setiap hari kudapan yang disantap Nasikhin hanyalah nasi yang didapat dari beras zakat idul fitri, dan sup sayur, yang dibagi tiga waktu makan.

“Tapi entah, waktu itu, meskipun hanya dengan sup dan nasi, makanan bisa terasa sangat nikmat dan sedap sekali dimakan,” kenangnya.

Bahkan, beber Nasikhin, keinginan untuk memakan makanan yang lebih enak menjadi sirna. Seakan nasi dan sup sudah menjadi kudapan yang sangat sedap.

Di saat masih menempuh pendidikan S1, setengah tahun sekali Nasikhin pulang ke kampung halaman di Kecamatan Bawang Batang untuk menjenguk keadaan orang tua dan adik-adiknya.

“Namun sebab terlalu nyaman di masjid dengan segala fasilitas yang diberikan (lantai berkeramik, tidak pernah bocor saat hujan, tidak kesulitan air saat mandi atau BAB) membuat saya tidak betah lama saat pulang di Batang yang keadaan rumahnya waktu itu masih jauh dari kata layak. Lantai tanah, tembok dengan papan kayu, atap reot, mandi dan minum air sungai, serta air hujan yang menggenangi kamar tidur, membuat saya tidak nyaman saat pulang kampung,” kisahnya.

Padahal, sebelum di Semarang, hal itu sudah menjadi santapan Nasikhin setiap hari, namun entah, setelah menetap di masjid selama satu tahun, Nasikhin menjadi kurang nyaman dengan keadaan demikian serta kasihan kepada orang tua yang mendiami gubug reot tersebut.

“Memang wajah saya masih bisa memamerkan senyum setiap kali pulang kerumah, namun sejujurnya, keadaan rumah yang demikian jelas membuat saya tidak nyaman, meskipun ketidaknyamanan itu saya simpan diam-diam,” ucap Nasikhin yang berusaha tidak membuat orang tuanya tersinggung dengan ketidaknyamanan yang dia rasakan.

Setiap kali pulang dari Batang, pikiran terus memaksa untuk merenenung, kiranya apa yang bisa dilakukan oleh Nasikhin untuk membuatkan hunian yang layak bagi kedua orang tuanya.

“Hingga akhirnya, Allah menunjukkan jalan. Di sela-sela kuliah dan waktu libur, saya diajak Mas Nafis (koordinator freelance pelayan catering) bekerja sebagai tukang catering, bertugas mengambil piring kotor di setiap pesta yang dilaksanakan,” ucapnya.

“Entah saya nyaman dengan hal ini, sebab selain diberi uang, para pekerja juga mendapatkan makanan berupa nasi ayam yang begitu enak. Bahkan saking nyamannya, saya sampai ikut sift malam, berangkat pukul 22.00-02.00, maka tak heran jika terkadang saya mengantuk di kelas saat kuliah,” imbuhnya.

Nasikhin bahkan mampu menabung hingga hampir menyentuh angka 3 juta rupiah dari hasil pekerjaannya yang setiap kali ada job hanya dibayar sekitar 50 hingga 60 ribu rupiah saja. Uang itu Nasikhin gunakan untuk membeli batako (paving) sebanyak 1.000 buah untuk membangun rumah orang tuanya.

“Teringat, setelah sekira 3 bulan uang di tabung, terkumpullah uang 2.900.000. Bergegaslah saya pulang untuk membeli batako sebanyak seribu biji. Uang masih terisisa 100.000,- dan saya gunakan untuk kembali ke semarang,” paparnya.

Selain bekerja sebagai tukang catering, Nasikhin juga aktif mengikuti berbagai event lomba menulis.

“Dengan izin Allah Swt, Alhamdulillah saya berkesempatan untuk menjadi juara. Reward yang saya dapatkan dalam beberapa lomba kemudIan saya tabung sebagai ongkos tambahan untuk membangun hunian di kampung. Alhamdulillah, meskipun tidaklah megah, rumah kecil berukuran 5 kali 12 meter sudah berhasil berdiri dan sekarang menjadi hunian yang bisa diandalkan saat hujan turun,” ucapnya menceritakan rumah yang berhasil dia bangun.

“Setidaknya bisa digunakan untuk berlindung bapak, ibu dan adik-adik saya dari dinginnya angin, mereka tidak perlu takut lagi dengan bocor dan tetap bisa tidur nyenyak meskipun hujan telah turun,” imbuhnya.

“Namun, meskipun saya mengikuti event lomba menulis, menjadi marbot masjid, bekerja sebagai tukang katering dan banyak kegiatan yang saya lakukan, prinsip saya adalah jangan sampai meninggalkan dan menyepelekan perkuliahan. Sebab tujuan awal saya datang ke Semarang adalah untuk berkuliah, adapun beberapa rejeki lain yang Allah turunkan kepada saya itu hanyalah reward atas terkabulnya doa kedua orang tua saya,” sambungnya.

“Jadi selelah apapun, sesedih apapun, sesusah apapun, tugas dan kewajiban saya untuk kuliah di kelas harus saya laksanakan, meskipun harus terpaksa datang terlambat, ataupun mengantuk di kelas, yang jelas bagaimanapun caranya, saya harus tetap masuk kuliah, sebab yang menjadi niat saya datang ke Semarang adalah kuliah, sehingga masuk kelas kuliah adalah suatu hal wajib, dan jika saya meninggalkan kelas kuliah, maknanya saya dzalim dengan diri sendiri, dan saya tidak mau menjadi orang dzalim, karena jelas jelas Allah membenci orang yanag dzalim,” pungkasnya. (Mushonifin)

Baca Berita Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini