“Kudeta” Demokrat, Amin Farih; Sah-sah Saja Karena Berkaitan Dengan 2024

Dr. Amin Farih, Pengamat Politik dan Wakil Dekan III FISIP UIN Walisongo Semarang. (Mushonifin)

SEMARANG (Sigi Jateng) – Salah satu isu politik paling hangat yang sedang dibicarakan saat ini adalah “kudeta” kepemimpinan Partai Demokrat. Seperti banyak diberitakan, Ketua Umum Partai Demokrat menuding beberapa orang di pemerintahan serta eks-pengurus teras Partai berlambang bintang mercy itu berupaya “mencongkel” kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari tampuk kepemimpinan.

Dr. Amin Farih, Pengamat Politik dari FISIP UIN Walisongo Semarang menilai hal itu bersangkut paut dengan suksesi pemilu 2024 dan isu politik seperti ini dianggapnya sebagai kewajaran.

“Isu kudeta (partai Demokrat) ini sebenarnya sangat terkait dengan (pemilu) 2024. Saya melihat ada dua sisi, ada istilah baper yang mencuat yang menurut saya sah-sah saja yang kemudian dibesar-besarkan yang menurut saya itu bagian dari strategi politik. Demokrat menganggap ada campur tangan pemerintah dalam situasi yang disebut kudeta,” ujar Wakil Dekan III FISIP UIN Walisongo Semarang pada Rabu (3/1/2021).

“Dan cara-cara yang dianggap sebagian orang sebagai baper itu adalah ciri khas politik Pak SBY. Nah hal-hal tersebut dilakukan untuk menaikkan elektoral yang bisa diraup Partai Demokrat, dan itu ya sah,” imbuhnya.

Walaupun begitu, Amin Farih menilai istilah “kudeta” yang digaungkan sangat lebay. Menurutnya, jika memang ada intervensi pemerintah ke partai politik maka itu bagian dari dinamika.

“Tapi di sisi lain saya menangkap istilah “kudeta” itu terlalu lebay. Tapi saya kira seandainya memang betul-betul ada intervensi dari pemerintah ke Partai Demokrat, hal itu bagian dari dinamika politik,” ungkapnya.

“Situasi seperti itu juga pernah dialami oleh PDI saat orde baru sebelum menjadi PDI Perjuangan. Termasuk dialami oleh Golkar dan PPP. Nah situasi seperti ini bisa dibilang sebuah kewajaran,” tekannya.

Amin Farih mengatakan situasi yang dihadapi Partai Demokrat menjadi semakin runyam karena ada ‘pentolan-pentolan’ partai Demokrat yang merasa tak diuntungkan oleh arah politik pemimpin partai tersebut. Amin Farih kemudian mencontohkan beberapa tokoh besar Partai Demokrat yang ‘terbuang’.

“Nah jika ada pentolan-pentolan Demokrat yang membelot saat ini ya bisa jadi karena merasa tidak diuntungkan oleh Partai (Demokrat), contohnya seperti Marzuki Alie, Muhammad Nazaruddin, dan kemungkinan kalau Anas (Urbaningrum) sudah bebas dari penjara pasti ikut barisan ini,” bebernya.

“Ini kan sebetulnya barisan-barisan yang kecewa terhadap kepemimpinan Partai Demokrat saat ini. Tapi kemudian AHY menganggap pemerintah ikut mengintervensi dengan tuduhan kudeta. Moeldoko sendiri menjawab “jangan terlalu baper”. Pemimpin jangan seperti itu, pemimpin harus tangguh begitu Moeldoko bilang,” tukasnya.

“Nah ini kan sebetulnya dinamika-dinamika politik yang terjadi di Indonesia yang menurut kajian politik sah-sah saja akan tetapi kalau pakai bahasa “kudeta” kok terlalu lebay. Dan itu hal-hal kewajaran bagi partai-partai yang kecewa biasanya dia melakukan manuver-manuver politik seperti itu,” sambungnya.

Namun begitu, Amin Farih menjelaskan bahwasanya secara teori demokrasi, negara tidak boleh mengintervensi keberadaan partai politik.

“Secara demokratis sebetulnya pemerintah tidak boleh mengintervensi partai politik. Namun yang terjadi di beberapa negara faktanya intervensi itu terjadi baik hiden atau unhiden. Baik itu dalam kategori pengaruh, intervensi, atau bahkan mengatur secara langsung terhadap partai-partai politik,” ucapnya.

Amin menegaskan bahwa fakta yang terjadi saat ini jika negara terlalu kuat maka intervensi kepada partai politik sulit dihindari. Dia menegaskan kunci untuk melepaskan pengaruh negara terhadap partai ada pada masyarakat.

“Dalam teori politik memang seperti itu, jika negara (kekuasaan) kuat pasti ada pengaruhnya ke partai politik. Terutama kalau kita lihat pada zaman Soeharto. Nah kalau intervensi itu terjadi bagaimana pak? Ya serahkan saja ke masyarakat, nanti masyarakat akan menilai dan boleh meninggalkan negara (kekuasaan) jika memang masuk terlalu dalam ke dapur partai politik,” paparnya..

“Tapi kalau tuduhan kudeta (Partai Demokrat) itu tidak terbukti dan hanya sekedar kekecewaan orang-orang Demokrat yang bermanuver politik ya nanti Partai Demokrat harus bisa menjawab kepada masyarakat,” sambungnya.

“Namun memang dari banyak manuver politik ya ujung-ujungnya pencitraan. Politik memang seperti itu,” pungkasnya. (Mushonifin)

Baca Berita Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini