Komunikasi Kurang Lancar, Masyarakat Kurang Merespon Aturan PPKM

Dr. Amin Farih, pakar politik UIN Walisongo Semarang. (Mushonifin)

SEMARANG (Sigi Jateng) – Kebijakan PPKM yang diperpanjang setiap satu minggu sekali sejak covid-19 gelombang kedua terjadi telah menuai respon yang beragam dari masyarakat. Dr. Amin Farih, seorang pakar politik dari UIN Walisongo Semarang menanggapi hal tersebut. Dia mengatakan ada kebingungan di level pemerintahan untuk memahamkan masyarakat tentang bahaya covid-19 dan pentingnya vaksinasi.

“Covid-19 ini kan tidak adil dalam beberapa sisi, dari sisi ekonomi jelas tidak menguntungkan, dari sisi politik itu memang saya melihat dibuat bertahap (peraturan PPKM). Ini saya melihat karena pemerintah mungkin kebingungan antara bagaimana antara ekonomi jalan dan Kesehatan tetap terjaga. Lah, dari tahapan itu memang ada dua kelompok yang saling berlawanan, yaitu kelompok ekonomi dan kelompok Kesehatan,” ujarnya saat ditemui pada Kamis (26/8/2021).

Amin Farih mengatakan bahwa sebenarnya masyarakat telah sadar dengan bagaimana menyikapi fenomena covid-19 itu. Namun pemerintah khawatir jika tidak dibuat peraturan yang ketat maka akan ada lonjakan ketiga yang telah diperingatkan WHO.

“Namun sebetulnya masyarakat telah mampu menyikapi secara mandiri fenomena covid-19. Namun jika tidak ada PPKM, pemerintah khawatir akan ada lonjakan ketiga. Sementara WHO telah memperingatkan banyak negara soal ancaman gelombang covid-19 ketiga,” jelasnya.

Amin Farih sendiri mengapresiasi pemerintah yang cepat dalam menanggapi varian-varian baru covid-19 yang semakin berbahaya. Hanya saja masyarakat perlu diberi edukasi melalui komunikasi politik yang baik.

“Sehingga saya memperkirakan perpanjangan PPKM setiap satu minggu sekali itu adalah upaya untuk mengerem agar tidak terjadi lonjakan yang terlalu besar,” ujarnya.

“Saya sendiri menyayangkan komunikasi pemerintah yang kurang menyentuh masyarakat karena istilah dalam peraturan yang berubah-ubah seperti dari PPKM darurat menjadi PPKM level 4. Yang kedua ditambah distribusi bantuan sosial yang ada kesenjangan antara data laporan di pemerintah dan realisasi di lapangan,” jelasnya.

Amin juga menyoroti betapa koordinasi pemerintah pusat dan daerah belum berjalan lancar, terutama dalam rekapitulasi data yang tidak sesuai antara pusat dan daerah.

“Belum lagi koordinasi pemerintah pusat dan daerah yang kerap berbeda jalur. Contoh yang bisa kita lihat adalah bagaimana pusat dan daerah kerap berbeda soal data, contohnya di Semarang yang beberapa kali ada missed soal data ini,” jelasnya.

“Sebetulnya yang dilakukan pemerintah sudah baik, cuman memang ada bahasa-bahasa komunikasi yang harus disesuaikan dengan bahasa masyarakat agar masyarakat teredukasi. Contoh istilah ‘terpapar’ yang seolah-olah orang kena covid-19 pasti sekarat. Padahal yang terjadi jika imunnya kuat masih sangat bisa sembuh. Lalu ada revisi-revisi peraturan yang terlalu cepat sehingga sinkronisasi kebijakan dari pusat ke daerah menjadi terhambat,”.

“Padahal jika mengikuti filosofi Jawa Itu ada istilah ‘seng penting tembunge enak’. Jika komunikasi massa yang baik itu bisa dilakukan, saya kira masyarakat tidak akan ragu mengikuti anjuran pemerintah dengan kesadaran dirinya. Terutama di kampung-kampung yang selama ini tidak menghiraukan kebijakan pemerintah perihal PPKM,” pungkasnya. (Mushonifin)

Baca Berita Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini