H Musta’in Bendahara MUI Jateng Wafat, Pakaiannya yang Selalu Putih putih Tetap Misteri ,

SIGIJATENG – Kabar duka. Innalillahi wainna ilaihi rajiuun. Telah meninggal dunia H Musta’in. Sabtu (28/8) pukul 11.00. Almarhum yang dikenal sebagai salah satu pejuang dakwah di Kota Semarang ini meninggal dunia dalam usia 73 tahun. Saat ini, almarhum sebagai Bendahara MUI Jawa Tengah.

Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) RI Prof Dr H Noor Achmad MA menjelaskan, almarhum mengalami sakit di rumah beberapa hari sampai akhirnya Allah memanggilnya. “Selama hidupnya dipakai untuk berdakwah baik secara pribadi maupun melalui berbagai organisasi,’’ katanya.

Sejumlah tokoh tampak melayat di rumah duka di Jalan Bedagan No.462, Kelurahan Sekayu, Kecamatan Semarang Tengah. Tampak Ketua Umum MUI Jateng KH Ahmad Darodji, mantan Gubernur Jateng Ali Mufiz, mantan Wakil Gubernur Drs H Achmad, Rektor UIN Walisongo Imam Taufiq dan sejumlah kiai yaitu KH Hanief Ismail, KH Ahmad Hadlor Ihsan, KH Muhyiddin, KH Hammad Maksum AlHafidz, KH Erfan Soebahar dan lain-lain. Jenazah H Musta’in kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga, jalan Wedung, Kauman, Kabupaten Demak.

Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengatakan, H Musta’in adalah sahabat, senior dan tokoh Kota Semarang.

“Mas Musta’in yang saya kenal sebagai Ketua Baznas pertama Kota Semarang, sebagai Ketua KIM FIM juga aktif di LPMK, Sahabat Hendrar Prihadi (SHP), maupun kegiatan keagamaan,’’ katanya.

Almarhum menurutnya sangat baik, bijaksana dan selalu ramah terhadap siapapun.

“Kami semua sangat kehilangan atas kepergian mas Musta’in, semoga almarhum husnul khatimah dan dilapangkan jalan menuju surga Allah Swt,’’ katanya.

H Musta’ini juga memiliki usaha yang sagat terkenal. Dia adalah pendiri dan pimpinan penjahit terkenal Eka Karya yang ada di ujung Jalan Kiai Saleh Kota Semarang. Yang menjadi ciri khas penampilannya sehari-hari adalah pakaian yang serba putih dari atas sampai bawah bahkan sepatu yang dipakainya juga selalu warna putih.

Haji Tain, begitu panggilan akrabnya, sangat terbuka tentang berbagai hal menyangkut persoalan umat. Tetapi terhadap profil peribadinya termasuk mengapa dia selalu berpakaian serba putih, dia sangat menutup diri dan tidak mau berbagi cerita.

Suatu hari ada yang bertanya, setiap bertemu H Musta’in selalu memakai baju putih, celana putih, sepatu juga putih. Kalau sedang memakai kain sarung warnanya juga putih. Berarti satu lemari pakaian warna putih semua ya pak? Haji Tain hanya menjawab dengan senyum penuh misteri. Dalam acara resepsi pernikahan yang biasanya berpakaian batik, Haji Tain pun tetap dengan ciri khas penampilannya putih-putih.

Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi saat menyampaikan sambutan dalam acara Tarling di rumah H Musta’in Bedakan 462, Kampung Sekayu (Jalan Pemuda) Semarang sempat melempar joke. Anak-anak Pramuka ketika acara Jurit Malam untuk uji nyali keberanian melewati pemakaman Umum Bergota, oleh para seniornya ditakut-takuti dengan sejenis kain putih. Anehnya ternyata anak-anak remaja itu tidak takut lagi dengan “hantu-hantuan” warna putih tersebut. Mereka malah berkata, “Putih-putih itu paling H Musta’in yang lewat”. Tentu saja para hadirin tertawa mendengarnya termasuk H Musta’in sendiri.

Bapak dari empat anak dan 10 cucu itu namanya selalu ada dalam setiap organisasi kemasyarakatan, terutama yang berhubungan dengan masjid, NU, dan organisasi sosial lainnya.

Dia menjadi Pengurus Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), Masjid Agung Semarang (Kauman), Masjid Baiturrahman Semarang, Masjid Sekayu, Badan Amil Zakat (BAZ) Kota Semarang kemudian berubah menjadi Baznas, Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), dan lain-lain.

Dia juga menjadi Pengurus Yayasan Wahid Hasyim Semarang, Bendahara Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jateng, pengurus Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dan lain-lain. “Pak Musta’in menginspirasi pemuda-pemuda di Kota Semarang,’’ kata Hendy Hendrar Prihadi, Wali Kota Semarang.

Saat hidupnya, ketika diminta menceritakan bagaimana awal sukses mengembangkan Tailor Top Eka Karya dari Wedung Demak sampai Kota Semarang, Haji Musta’in mencoba mengalihkan pembicaraan ke materi lain. “Mpun mboten usah crita bab niku. Kersane mawon,” katanya sambil tertawa.

Boleh dibilang dia sebagai pejuang dari Kampung Sekayu. Ketika dulu berkembang isu Kampung Sekayu mau digusur untuk kepentingan sebuah proyek, dia mendatangi kantor DPRD dan bersuara lantang. “Pemkot Semarang diminta tidak mengulang kesalahan lama dalam melindungi kampung-kampung tua”.

Hilangnya Kampung Jayenggaten, Basahan, Gendingan, merupakan kebijakan yang tidak menitikberatkan pada unsur kultur budaya. Dia berteriak vokal agar Kampung Sekayu tetap dipertahankan. Jangan sampai kesalahan lama terulang lagi.

”Pemkot harus mempertahankan kampung tersebut. Di sana masih ada bangunan cagar budaya seperti Masjid Sekayu. Sayang kalau tidak dipertahankan. Jangan karena dibalik modernisasi akhirnya menghilangkan kultur budaya Semarangan,” tegas dia.

Menurutnya, warga masih tetap konsisten untuk mempertahankan kampung tersebut. Selain tua, Kampung Sekayu merupakan bukti perjuangan warga Semarang dalam Pertempuran Lima Hari. ”Tiang bendera sebagai tempat upacara saat memperingati Pertempuran Lima Hari harus dipertahankan. Saya kira, kalau Kampung Sekayu keseluruhan bakal hilang tidak mungkin,” tandas dia yang beberapa tahun menjadi Ketua LPMK.

Diakui yang terjadi sekarang, ada sebagian warga yang menjual rumahnya. Itu terjadi di wilayah RT 1 RW 1. Namun dengan dijualnya rumah tersebut bukan berarti Kampung Sekayu akan hilang.

”Wilayah itu memang di pinggir kampung, berdekatan dengan Mal Paragon. Tidak sampai masuk ke wilayah kampung. Saya yakin seyakinnya, Kampung Sekayu tetap terjaga,” tegasnya.

Di Kampung Sekayu setidaknya ada beberapa bangunan yang masuk cagar budaya, yakni Masjid Sekayu, rumah di Jalan Sekayu No 340 dan No 311, rumah di kawasan Kampung Sekayu Kepatihan No 269 dan 270. (aris)

Baca Berita Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini