
SEMARANG (Sigi Jateng) – Dalam rangka pelaksanaan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Pengarusutamaan Dasar-Dasar Bina Damai di Asia Tenggara; Mainstreaming the Peacebuilding Fundamentals in Southeast Asia”, Prof. Dr. Imam Taufiq, M. Ag mengajak seluruh elemen lintas agama dan para aktifis toleransi berdialog di Quest Hotel Semarang Jl. Plampitan pada Jum’at (22/10/2021).
Selain aktifis dan akademisi lokal, Imam Taufiq juga mengundang Dr. Siti Marpuah MED, seorang peneliti dari University Tun Hussein Onn Malaysia dan Dr. Amin Farid selaku Chairman INSAF (Interfaith Spiritual Fellowship) Malaysia.
Selain mereka, dihadirkan pula koordinator Persaudaraan Lintas Agama (PELITA), Setyawan Budi dan ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Semarang, Drs. KH. Mustamaji.
Prof Imam Taufiq selaku kepala peneliti dasar-dasar bina damai di asia tenggara membuka acara dengan sebuah ungkapan bahwa damai itu ada dua, damai negatif dan damai positif.
“Ketika di rumah tangga tidak ada pertikaian itu sudah damai, itu damai yang negatif versi Johan Galtung,” jelasnya.
“Ada lagi damai yang positif, yang memiliki unsur keadilan seperti toleransi dan tidak ada lagi kekerasan konflik serta semua kebutuhan terpenuhi. Tidak ada lagi ketakutan serta perebutan sumber daya. Itu damai yang positif,” imbuhnya menjelaskan damai yang sebenarnya.
Imam Taufiq mengatakan, damai yang sebenarnya adalah damia yang bersifat ikhlas dan konsekuen, bukan damai karena keterpaksaan.
“Riset yang kami lakukan itu karena ingin memiliki potret sesungguhnya damai di Indonesia, khususnya di Semarang,” jelasnya.
Dr. Siti Marpuah, MED dalam pemaparannya mengatakan bahwa Malaysia terdiri dari banyak suku bangsa dan perbedaan agama. Walaupun mayoritas bersuku melayu dan beragama Islam, agama-agama lainpun cukup eksis seperti Kristiani, Budha, dan Kong Hu Chu serta suku-suku lain seperti Tionghoa, Jawa, dan India.
“Salah satu upaya memunculkan toleransi adalah memberikan libur satu minggu pada saat perayaan hari raya agama-agama yang ada di sana,” ujarnya.
Siti Marpuah juga mempresentasikan falsafah pendidikan di Malaysia, dimasukkan unsur-unsur keharmonian, kekeluargaan, dan kemakmuran.
“Yang Islam wajib mengambil pelajaran Islam dan yang non-muslim wajib dan disediakan pelajaran murel (kurikulum agama di luar Islam),” jelasnya.
Dr. Amin Farid Isahak, selaku Chairman INSAF (Interfaith Spiritual Fellowship) menjelaskan dirinya aktif di dunia perdamaian antar keyakinan karena kerusuhan antar etnis di Kuala Lumpur pada 13 Mei 1999 lalu.
“Saya sudah aktif dalam pengawalan kerukunan umat beragama di Malaysia selama 20 tahun. Selain konflik politik, malaysia juga kerap dilanda konflik berbasis agama,” ucapnya.
Dalam sejarah, konflik terbesar Malaysia terjadi pada 13 Mei 1999 di Kuala Lumpur yang melibatkan etnis melayu dan Tionghoa.
“Semenjak kejadian itu, kami membentuk banyak jaringan perkumpulan antar agama untuk menjaga perdamaian,” ujarnya.
Tugas daripada INSAF sendiri mengawal isu-isu sensitif tentang agama yang berpotensi memicu konflik. Apalagi, Islam sebagai agama resmi Negara Malaysia, tentu harus ada pengawalan khusus karena berpotensi menindas agama lainnya.
“Contoh isu yang pernah jadi bahan pertengkaran antara Islam dan Kristiani adalah penggunaan kalimah “Allah”. Mereka berebut siapa yang paling sahih menggunakannya, bahkan masalah ini sempat digugat di Mahkamah Negara,” jelasnya.
Drs. KH. Mustam Aji, Ketua FKUB Kota Semarang mengatakan pihaknya selalu sampaikan pada masyarakat agar selalu menjunjung tinggi norma-norma kedamaian agar setiap agama nyaman mengekspresikan ritualnya.
Masalah rumah ibadah juga persoalan yang tidak ringan di Semarang, banyak kejadian penolakan pembangunan rumah ibadah karena tak ada saling pengertian.
“Walaupun begitu, kami mengusahakan agar setiap umat antar agama tetap harmonis dalam hubungan sosial,” ujarnya.
Di akhir, Setyawan Budi selaku Koordinator Persaudaraan Lintas Agama (PELITA) mengatakan bahwa di Semarang, perdamaian dan kerukunan secara alamiah muncul dari masyarakatnya.
“Walaupun banyak masyarakat pendatang dan perbedaan suku agama, Semarang relatif kondusif dan hampir tidak ada konflik,” ucapnya.
Pelita sendiri terbentuk dari aspirasi berbagai agama dan kepercayaan di Kota Semarang yang mulai khawatir adanya ancaman kelompok radikal yang mulai muncul di Kota lumpia ini.
Salah satu yang mentrigger terbentuknya PELITA adalah saat Ibu Shinta Nuriyah Wahid mengalami penolakan dari sebuah kelompok di sebuah Gereja di Ungaran.
Walaupun PELITA terbentuk untuk persaudaraan lintas agama, namun kegiatan sosial lain seperti penanggulangan bencana, penanganan dampak covid-19, pengawalan kebijakan pemerintah, dan sebagainya tetap kami laksanakan.
“Salah satu program unggulan PELITA adalah Pondok Damai yang mana dalam program tersebut kami mempertemukan setiap orang dari berbagai agama dan meminta mereka jujur tentang pengalaman berinteraksi dengan agama lain. Mereka harus jujur jika ada pengalaman yang menyedihkan ya ceritakan saja,” pungkasnya. (Mushonifin)
Baca Berita Lainnya
- Empat Local Hero Binaan Semen Gresik di Jawa Tengah Sukses Raih Indonesia CSR Awards (ICA) and Indonesian SDGs Award (ISDA) 2023
- Dahulukan Istithaah Kesehatan, 1.324 Orang Jemaah Calon Haji Kudus Mulai Jalani Pemeriksaan Kesehatan
- Bayi Perempuan Dibuang di Bawah Jembatan di Semarang, Bikin Heboh Warga
- Gelar Komsos, Danramil 04 Bawang Ajak Ciptakan Kondisi Aman Damai Jelang Pemilu 2024
- Polisi di Pekalongan Bekuk 7 Orang Kasus Penyalahgunaan Narkoba