Kulon Progo (Sigi Jateng) – Gunakan tanah warisan milik orang tua, mantan perampok Sandiman berjuang keras mendirikan bangunan pondok pesantren sebagai tempat ibadah juga sekaligus wahana belajar agama Islam.
Keinginan kuat Sandiman mengajari warga di Desa Sidorejo, Lendah tentang agama Islam kian kuat. Selain membangun masjid dia juga membangun panti asuhan dan pondok pesantren yang diberi nama nama Al-Ghifari.
Pembangunan kompleks seluas 2.400 meter persegi itu berlangsung sejak tahun 1999 dan rampung serta bisa digunakan setahun kemudian. Adapun lahan yang digunakan adalah tanah warisan milik orang tua Sandiman.
“Jadi ini merupakan tanah warisan dari bapak saya, terus diberikan kepada saya dan kakak serta adik saya. Kita sepakat tanah ini diwakafkan untuk pembangunan ponpes,” ujar Sandiman.
Sejak pertama beroperasi hingga saat ini Ponpes Al Ghifari mengalami perkembangan yang pesat. Di bawah naungan Yayasan Al-Ghifari pondok ini juga membuka sekolah setingkat SD-SMA yang mengusung pembelajaran berkonsep Islam Terpadu (IT).
“Perkembangan ini tak lepas dari banyaknya donatur dan tentu karena bantuan Allah SWT,” ujar Sandiman.
Tercatat saat ini ada 87 santri boarding dan full day, yang rata-rata berasal dari sekitar DIY, sebagian lagi dari Sumatera hingga Papua. Para santri diajar oleh delapan guru termasuk Sandiman. Seluruh santri di ponpes ini belajar tanpa dipungut biaya. Biaya sekolah para santri menjadi tanggung jawab Sandiman.
Selain sekolah dan mengaji, santri di Ponpes Al-Ghifari diajarkan ilmu berwirausaha. Mereka diajak untuk mengolah tanaman dan berternak. Namun Sadiman menekankan yang jadi fokus tetap pendidikan formal santri demi masa depan mereka.
“Saya fokusnya ke pendidikan ya, karena berkaca dari masa lalu saya bahwa orang itu gampang terkena pengaruh (buruk) karena bodoh, sehingga saya tekankan anak-anak harus pintar, makannya saya sampai bikin tingkat SMA nya biar anak-anak punya ijazah SMA agar tidak tertinggal dengan anak-anak dari sekolah lain,” ucapnya.
Salah seorang santri Ponpes Al-Ghifari, Agustiawati (17), mengaku nyaman belajar di pondok ini. Ia merasa bisa benar-benar memahami agama Islam yang diajarkan oleh para pendidik. “Alhamdulillah saya juga jadi lebih berprestasi,” ungkapnya.
Dara asal Lendah itu mengaku sudah tahu latar belakang Sandiman, pendiri Ponpes Al-Ghifari. Meski demikian ia tak mempersoalkan hal itu. Ia justru merasa termotivasi dengan kisah hidup gurunya tersebut, yang bisa berubah ke jalan yang benar dan menjadi suri tauladan bagi para santri.
“Pak Kiai (Sandiman) adalah sosok yang ramah dan selalu membantu kami yang kesulitan. Kadang kalau ada santri yang lagi tidak punya uang nanti dikasih, kadang juga diberikan baju secara cuma-cuma,” ujar. (dtc/dye)