Begini Sejarah Lengkap Halal Bihalal Halal Menurut Ketua FKPT Jateng

Suasana halal bi halal di halaman rumah Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah, Prof Dr Syamsul Ma’arif. Menceritakan tentang sejarah lengkap Halal bi halal. (Dok.)

SEMARANG (Sigi Jateng) – Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah menggelar Halalbihalal bersama Pengurus KUA Mijen, Polrestabes Semarang, dan Eks-Napiter.

Dalam acara yang digelar pada Rabu (3/6/2021) itu Ketua FKPT Jawa Tengah Prof Dr Syamsul Ma’arif menjelaskan bahwa setelah puasa, umat Islam merayakan Idulfitri yang disebut “riyaya”. Dalam perspektif Clifford Geertz (Religion Of Java), Halal bihalal dianggap sebagai bentuk wisuda spiritual, menurut Andre Moller dalam buku Ramadan in Java The Joy and Jihad of Ritual.

“Secara bahasa, thalabu halal bi thariqin halal (mencari penyelesaian masalah dengan cara mengampuni kesalahan)-halal yujza’u bi halal (pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan). Sering diterjemahkan dalam masyarakat jawa dengan bahasa simple “kosong-kosong”. Secara normatif halalbihalal memiliki landasan dari segi agama yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Rangkaian aktivitas dalam halalbihalal seperti saling berkunjung, bersalaman, memberi ucapan saling maaf-memaafkan,” jelas Prof Syamsul dalam materinya bertajuk Merajut Persaudaraan Sejati.

Dalam kesempatan itu, Ketua FKPT merujuk hasil penelitian para ahli, juga menjelaskan sejarah Halal bi halal di Indonesia yang diawali oleh KGPAA Mangkunegara 1 saat mengadakan pertemuan setelah salat Idulfitri antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana, prosesi sungkeman yang berarti menghalalkan segala kesalahan yang sudah diperbuat.

“Namun pada saat itu belum dikenal istilah halal bi halal, setelah era kemerdekaan istilah halal bi halal mulai dipergunakan yakni berasal dari ide KH. Wahab Chasbullah,” jelas Syamsul.

“Pada bulan Ramadan di tahun 1948, Presiden Sukarno meminta nasehat kepada KH Wahab Chasbullah untuk memberikan solusi atas situasi politik yang tidak sehat,” lanjutnya.

Manfaat Halal bi halal menurut Dekan FPK UIN Walisongo ini adalah untuk perekat sosial dan memunculkan kerukunan antarumat beragama Shilaturrahim-Shilatun (menyambung), Rahimun (keluarga), membuka perasaan saling memiliki suasana sosial, keterbukaan sosial, menghilangkan rasa curiga, dan sikap fanatik, Ahabbuddin ilallahi al-hanafiyatus samhah.

Prof Syamsul juga menekankan pentingnya persahabatan, dan larangan memutus persaudaraan, serta pentingnya ulama sebagai pemersatu umat.

Pihaknya mencontohkan apa yang dilakukan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari melalui Qanun Asasi Nahdhat al-Ulama yang substansinya pada persatuan lokal.

“Pada Mu’tamar Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1936 di Banjarmasin, Mbah Hasyim menyerukan kaum muslimin mengakhiri pertikaiain, fanatisme demi persatuan kelompok. Maka kita harus menguatkan konsep Ukhuwwah, mulai dari Ukhuwah Basyariyah, Ukhuwah Islamiyyah, dan Ukhuwwah Wathaniyyah,” lanjutnya.

Dalam konteks persatuan global, Prof Syamsul mencontohkan pada 1926 KH. Hasyim Asy’ari mengutus KH Wahab Hasbullah dan Syekh Ghanaim menyampaikan petisi pada Raja Saudi untuk menjamin kerukunan antarumat Islam.

“Karena Sang Kiai tahu bahwa Kerajaan Saudi adalah ciptaan Inggris dalam upaya memecah-belah dan menguasasi Dunia Islam. Dalam Risalah Ahlussunnah wal-jama’ah—Wahabi dibaratkan penyakit lepra,” tegasnya.

Untuk itu, faham-faham yang merusak ukhuwah harus dihindari dan dikikis.

“Neo-Pan-islamisme, menegakkan khilafah islamiah. Neo-Liberalisme, Menolak Negara Bangsa–siklus atau putaran ekonomi dunia selalu menguntungkan negara maju. Neo-Komunis & Radikalisme Agama (meskipun hal ini ditengarai alat yang digunakan kapitalisme global),” papar dia.

Azmi Ahsan, M.Ag, ketua KUA Mijen dalam sambutannya menyampaikan bahwa KUA diharap menjadi unit terkecil dari Kementerian Agama yang mengkampanyekan moderasi beragama, toleransi dan anti radikal terorisme.

“meneruskan pesan Menteri Agama, Pak Yaqut, bahwa KUA tidak hanya melulu persoalan menikah, tetapi menjadi unit terkecil dari Kementerian untuk mengkampanyekan moderasi beragama dan paham anti radikal teror.” Terangnya.

Machmudi Hariono alias Yusuf sebagai mantan napiter mengajak agar masyarakat setia terhadap NKRI dan tidak terjebak pada wacana jihad yang sempit.

“saya terpapar paham jihad karena semangat muda namun belum bijaksana dalam memahami makna jihad secara komprehensif, sekarang kita sadar bahwa setia kepada NKRI juga merupakan bagian dari jihad itu sendiri.” Paparnya. (Mushonifin)

Baca Berita Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini