Bantah Walisongo Sebagai Mitos, Pascasarjana UIN Walisongo Semarang Undang pakar dan Peneliti Sejarah

Suasana seminar internasional bertema “Reinventing Walisongo in History Past Present and Future (Menemukan Kembali Walisongo Dalam Sejarah Masa lalu, Masa Kini dan Masa Depan) di Hotel Grand Candi Semarang yang digelar oleh Pascasarjana UIN Walisongo Semarang. (Foto; Mushonifin/Sigijateng)

SEMARANG (Sigi Jateng) – Pascasarjana UIN Walisongo Semarang menggelar seminar internasional bertema “Reinventing Walisongo in History Past Present and Future (Menemukan Kembali Walisongo Dalam Sejarah Masa lalu, Masa Kini dan Masa Depan) di Hotel Grand Candi Semarang pada Kamis (4/11/2021) dengan menghadirkan pakar sejarah seperti Marten Van Bruinessens, Dr. Ahmad Baso, dan Prof. Dr. Anashom.

Ketua panitia sekaligus Wakil Direktur Pascasarjana UIN Walisongo Semarang, Prof. Dr. Muhyar Fanani mengatakan seminar ini menjawab keraguan Sebagian kalangan yang mempertanyakan fakta sejarah Walisongo. Muhyar membeberkan ada beberapa kelompok Islam sendiri yang selalu menggembar-gemborkan bahwa Walisongo adalah mitos, diapun menegaskan bahwa fakta sejarah bisa dibuktikan melalui penelitian.

“Seminar ini dihadiri oleh para ahli yang ekspert di bidang walisongoan, ada Pak Martin (Marten Van Bruinessens), kemudian beberapa peneliti. Hal yang ingin dikaji oleh para peneliti bahwa Walisongo itu sebagai fakta sejarah itu sebagian orang masih memperdebatkannya, karena dianggap mitos karena belum ada manuskrip yang secara nyata membicarakan Walisongo. Itu yang akan dijawab dalam seminar ini, karena faktanya Walisongo itu baik masih diperdebatkan sebagai mitos atau fakta tapi dampaknya itu bisa kita lihat bersama saat ini,” ujar Muhyar saat diwawancara.

Muhyar menandaskan, tidak mudah menyebarkan Islam di wilayah Nusantara yang penduduknya sangat besar dengan pulau-pulau yang terpisah. Apalagi saat ini Indonesia menjadi negara dengan Populasi Muslim terbanyak di dunia. Bagi Muhyar, mustahil hal ini terjadi jika peranan Walisongo tidak ada.

“Tidak mudah mengislamkan 260 juta rakyat Indonesia dengan pulau yang terpisah-pisah, kemudian wilayah yang begitu luas itu tidak mudah, bahkan jumlah umat Islam di Indonesia ini kan seperlima populasi Muslim di dunia. Jadi penduduk Muslim dunia ini sekitar 1,9 Miliar, nah seperlimanya itu ada di Indonesia ini. Nah itu luar biasa,” tandasnya.

Dan itu, lanjut Muhyar, diakui atau tidak merupakan hasil dakwah walisongo sebagai fakta. Dan model keislamannya pun khas.

“Bukan memukul tapi merangkul, nah itu sudah luar biasa. Dan masyarakat mengakui kehadirannya sebagai eksistensi cara beragama, yang kebetulan berdasarkan pengalaman masyarakat kepulauan Nusantara ini, mereka itu menjalankan hidup beragama secara damai dan bersahabat dengan banyak pihak, dan itu yang sebenarnya ruh dari Pancasila sejak ratusan tahun yang lalu,” tukasnya.

Muhyar mengatakan, urgensi penelitian Walisongo adalah untuk memberi pengajaran agama yang komprehensif sesuai dengan konteks keindonesiaan.

“Nah, dalam konteks kekinian kita ini menghadapi situasi yang berbeda dengan bapak-bapak kita, generasi sekarang itu lebih eksis di dunia maya tapi tidak terlalu eksis di dunia nyata, cara mereka belajar agama juga lebih didominasi oleh dunia maya tapi berkurang dalam dunia nyata,” tuturnya.

“Pada saat bapak-bapak kita belajar agama, mereka ketemu guru yang validitasnya itu bisa dipercaya. Orang disebut kyai itu setelah mendapat pengakuan rekognisi dari masyarakat, tutur katanya baik, tata pikirannya baik, perilakunya baik, sehingga masyarakat rekognisi dan itu diberi gelar kyai,” jelasnya.

Dalam dunia maya seperti sekarang, tambah Muhyar, generasi muda menghadapi tantangan yang berbeda, mereka berhadapan dengan guru agama yang uji validitasnya tidak jelas.

“Di dunia maya itu siapapun boleh mengajarkan agama, akibatnya apa? Akibatnya agama yang luhur itu ketika dipegang oleh orang yang tidak memiliki keluhuran itu agama bisa dibajak untuk kepentingan si pembajak. Nah ini tentu membahayakan generasi muda saat ini,” ungkapnya.

“Maka seminar ini targetnya adalah minimal menyadarkan, mengajak masyarakat terutama mahasiswa bahwa walisongo itu bisa menjadi role model dalam memahami agama di era milenial seperti sekarang,” ujarnya.

Muhyar mengatakan di UIN Walisongo dirinya melihat ada peneliti-peneliti muda yang tertarik di bidang ini.

“Memang tidak mungkin kami tampilkan semuanya, tapi kami ingin memberikan spirit pada mereka bahwa silahkan dilanjutkan kajian-kajian kewalisongoan sebagai fakta sejarah. Karena memang di kalangan para ilmuwan, bahwa mitos, folklore, kemudian hal-hal yang tidak didukung fakta sejarah itu tidak dianggap fakta ilmiyah. Maka tugas mereka adalah membuktikan fakta-fakta sejarah yang berkaitan dengan walisongo,” jelasnya.

Terkait dengan minimya dokumentasi sejarah Walisongo, Muhyar mengatakan ada banyak faktor penyebab manuskrip itu sulit didapatkan, di antaranya bencana dan tradisi dokumentasi masyarakat Nusantara masa lalu yang sangat lemah.

“Bisa jadi walisongo kan hidup pada abad ke-15 masehi yang mana pada saat itu dokumentasi itu tidak terlalu bagus di naskah nusantara ini. Kita tahu Nusantara inikan ring of fire (cincin api, rawan bencana) jadi banyak sekali bencana-bencana pada waktu yang lama, gunung sering Meletus, itulah makanya kalau ada orang bertanya mana sih kerajaan Majapahit. Nah itu problem, karena memang banyak faktor yang membuat kerajaan tersebut tidak bisa kita temukan peninggalannya karena faktor terlalu banyak bencana, terutama ledakan gunung berapi yang memendam situs-situs majapahit,” ucapnya.

“Ditambah lagi, masyarakat di wilayah tropis itu memang sangat lemah dalam pendokumentasian, jadi bangsa-bangsa di daerah dua musim, karena musim sangat bersahabat, kesadaran untuk mendokumentasikan itu lemah. Berbeda dengan bangsa empat musim,” imbuhnya.

Muhyar ingin mengajak para peneliti yang tertarik pada bidang penelitian kewalisongoan untuk menekuni bidang ini.

“Tentu tidak semua orang bisa menjalankan tugas ini, hanya mereka yang betul-betul konsen di bidang ini. Nanti Pak Anashom (Prof. Dr. Anashom) dan Pak Baso (Dr. Ahmad Baso) itu bisa menginspirasi kepada para peneliti muda agar melanjutkan tugas ini. Karena sebenarnya relevansi dan signifikansi walisongo sudah nyata sekarang. Dunia sekarang mengglobal, apa yang diomongkan di sini, di Amerika bisa dibaca,” ucapnya.

Muhyar mengklaim jika penelitian ini dibaca secara luas, eksistensi walisongo akan bisa mengatasi masalah radikalisme yang menjalar dalam kehidupan umat Islam di seluruh dunia.

“Jadi kalau Islam punya masalah dengan radikalisme itu walisongo adalah obatnya. Dan ini bisa kita tularkan ke belahan dunia yang lain melalui kemajuan teknologi informasi. Nah itulah yang menjadi keinginan kita, namun kita juga sadar bahwa karakter orang-orang Nusantara itu tidak banyak aktif berbicara. Mereka lebih banyak diam daripada berbicara,” jelasnya.

“Makanya saya setuju Khaled Abou El-Fadhl itu mengingatkan kita semua bahwa orang-orang yang memiliki pandangan Islam moderat itu harus bicara lebih keras daripada orang yang terkategorisasi sebagai radikalis itu. Karena jumlah radikalis di dunia ini kurang dari dua persen, kata Khaled. Mereka terlihat besar hanya karena berbicara lebih keras. Khaled juga mengajak kita berbicara dengan bahasa internasional (Inggris) agar umat Islam yang moderat mampu memahamkan Islam yang lain agar hal yang esensial dari Islam adalah hidup damai dengan semua orang. Dan ini harus disampaikan ke seluruh masyarakat dunia yang kebetulan sedang ditipu oleh kelompok-kelompok Islam tapi perspektifnya radikal,” pungkasnya. (Mushonifin)

Baca Berita Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini