SIGIJATENG.ID – Islam adalah agama yang lengkap dan mengatur seluruh aspek kehidupan ini, Dari persoalan besar hingga pada hal-hal kecil yang mungkin luput dari pandangan kita. Tidak terlewat pula aturan mengenai barang atau segala sesuatu milik orang lain, lalu kita menggunakan atau manfaatkan fungsinya. Apabila kita menggunakannya tanpa akad atau tanpa sepengetahuan pemiliknya, hal tersebut disebut dengan ghasab.
Dikutip dari DR. KH. M. Hamdan Rasyid, MA, Saiful Hadi El-Sutha dalam Buku “Panduan Muslim Sehari-hari”, ghasab adalah mempergunakan atau memanfaat harta milik orang lain tanpa izin atau tanpa sepengetahuan miliknya, termasuk pula di dalamnya mengambil harta orang lain secara dzalim.
Hal ini disebabkan di dalam Islam sendiri, dalam menggunakan dan memanfaatkan barang orang lain hanya diperbolehkan dengan cara ‘ariyah (pinjaman) atau wadi’ah (titipan) atau ijarah (menyewa) atau akad lain yang memiliki arti peminjam dan orang yang dipinjam saling ridha.
Dalam Islam, hukum ghasab itu adalah haram atau dilarang sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim berikut ini.
مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ ظُلْمًا فَإِنَّهُ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ
Artinya: “Barang siapa yang melakukan kedzhaliman dengan mengambil sejengkal tanah, maka Allah akan menimpakan padanya tujuh lapis bumi pada hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim/Muttafaq ‘Alaih).
Kemudian, dikutip dari Hasbiyallah dalam Buku “Sudah Syar’ikah Muamalahmu?”, ancaman ghasab juga tercantum dalam hadits berikut.
“Barangsiapa yang mengambil harta saudaranya dengan tangan kanannya, Allah memastikan baginya neraka dan mengharamkan surga baginya. Maka seorang shabat bertanya; “Ya Rasulullah, meskipun barang yang kita pakai barang yang ringan (sederhana)? Ya meskipun sejengkal siwak,” Jawab Rasul.” (HR. Muslim, Al-Nasa’i, dan Imam Malik)
Ghasab ini berbeda dengan pencurian. Jika pencurian dilakukan secara diam-diam, maka ghasab dilakukan secara terang-terangan. Namun, keduanya sama-sama tanpa diketahui oleh sang pemilik barang.
Perihal ghasab ini juga tidak serta merta untuk benda yang terlihat, tetapi juga bisa berupa kepemilikan tempat, lahan, rumah, dan sebagainya.
Berita Lainnya:
- 5.108 Petasan Hasil Operasi Pekat Polres Kendal di Disposal, Lokasi Pemusnahan Dijaga Ketat Tim Gegana
- Soal Kelangkaan Gas Melon LPG 3 Kg di Kendal, Ternyata Ini Biang Keroknya
- Layanan Kesehatan di Batang Melonjak Paska Lebaran 2024, Mayoritas Pasien Alami Penyakit Ini
- Lagi, Gunung Ruang Meletus, Masyarakat Sekitar Dievakuasi hingga Luar Radius 6 Km
- Momen Libur Lebaran 2024 Dongkrak Ekonomi Daerah, 16,8 Juta Pemudik Masuk Jawa Tengah
Contoh pemahaman yang salah tentang Ghasab,
Berkembang pemahaman bahwa orang yang meminjam barang orang lain tanpa seizin pemiliknya, misalnya: pinjam sandal di masjid untuk wudhu, atau pinjam sepeda teman untuk keperluan sejenak, disebut ghasab.
Pemahaman ini perlu diluruskan. Karena dalam ghasab, orang yang mengambil sejak awal punya tujuan untuk menguasai barang itu secara utuh tanpa ada keinginan untuk mengembalikannya.
Untuk kasus semacam ini, hukumnya kembali kepada standar yang berlaku di masyarakat.
Jika menurut standar masyarat, tindakan semacam ini tidak perlu izin, karena dinilai barangnya murah, seperti sandal, maka meminjam tanpa izin sesuai standar masyarakat tidak terhitung kesalahan. Dengan adanya standar ini, dia dihukumi seolah telah mendapat izin.
Sebaliknya, jika menurut standar masyarakat, meminjam barang tertentu harus izin pemilik, terutama barang mahal, seperti pinjam mobil, motor, laptop, maka tidak boleh memakainya tanpa seizin pemiliknya.
Memakai tanpa seizin pemiliknya, terhitung tindakan kedzaliman.
Sebagaimana berlaku dalam kaidah,
المعروف عرفا كالمشروط شرطا
Sesuatu yang menjadi urf di masyarakat, statusnya sebagaimana syarat.
(al-Wajiz fi Idhah Qawaid al-Fiqh, hlm. 306)
Allahu a’lam.
(zuhri/dari berbagai sumber)