Wahyuni Kristinawati, Sudah Suka Dunia Anak Sejak di Bangku Kuliah

Wahyuni Kristinawati, Pemerhati dan Peneliti psikologi anak, Wakil Dekan Fakuktas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). (Mushonifin)

SEMARANG (SigiJateng) – Tumbuh kembang anak sangat menentukan generasi bangsa di masa yang akan datang. Perkembangan psikologi anak kemudian menjadi kajian yang sangat penting untuk memantau dan mengawasi perkembangan psikis anak-anak agar tidak memiliki masalah mental saat dewasa.

Wahyuni Kristinawati, adalah salah satu pemerhati perkembangan psikologi anak sejak duduk di bangku kuliah Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada (UGM).

“Sejak kuliah sudah bantu di klinik tumbuh kembang anak anak menangani asesmen anak berkebutuhan khusus. Menjadi konselor di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta. Kemudian sejak 1999 bekerja di Fakultas Psikologi UKSW,” ujar dosen FPsi UKSW pada Senin (10/8/2020).

Ketika ditanya bagaimana awal mula menggeluti bidang kajian psikologi anak, Wahyuni menjawab karena senang.

“Karena senang, jadi mengenal beberapa orang yang punya hobi dan kesenagan yang sama, jadi mengalir saja,” ujar wanita yang sekarang menjabat Wakil Dekan FPsi UKSW tersebut.

Pengalaman pendampingan yang pernah dilakukannya adalah di Lembah Bada Sulawesi Tengah.

“Yang paling jauh saat melakukan pendampingan untuk masyarakat di 4 desa di Lembah Bada, Sulawesi Tengah dalam rangka mengoperasionalkan Undang-Undang Perlindungan Anak di tingkat desa. Saat itu bekerja bersama teman-teman Sobat Peduli. Beberapa pelatihan pendamping anak antara lain juga di Palu dan Papua,” kisahnya saat mendapat berbagai tugas di luar Jawa.

Dirinya juga pernah mendapat tugas penanganan kasus kekerasan seksual di Manggarai Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Kemudian juga penanganan kasus kekerasan seksual di Manggarai Nusa Tenggara Timur (NTT),” tukasnya.

Selain tugas di luar Jawa, Wahyuni juga aktif berkeliling di SD-SD sekitar Kota Salatiga untuk mensosialisasikan gerakan anti kekerasan terhadap anak.

“Di Salatiga bersama alumni SMP 1 angkatan 88 kami pernah keliing ke sejumlah SD di Salatiga untuk sosialiasasi anti kekerasan kepada anak, dan pernah mandapat biaya dari Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) untuk sosialiasasi anti kekerasan untuk guru SD di Salatiga,” ungkapnya

“Kami juga melakukan pendampingan kasus pelecehan seksual di Sekolah Tinggi Teologi (STT) di Salatiga, juga membantu menangani beberapa kasus kekerasan seksual di Salatiga,” sambungnya.

Kemudian Wahyuni menjelaskan mengenai Bullying dan bagaimana penanganannya.

“Bullying adalah bagian dari bentuk agresivitas, memang biasanya terjadi antar teman di usia anak dan remaja. Sebenarnya ini tidak lepas dari pola pendidikan di dalam rumah, ada atau tidaknya model agresi di rumah, sekolah, dan lingkungan sekitar anak dan bagaimana orang dewasa menyikapi hal itu,” jelasnya.

Menurut Wahyuni, pelaku bullying tak bisa serta merta disalahkan sepenuhnya, karena dia terbentuk mentalnya karena lingkungan tempat dia berada.

“Jadi tidak dapat hanya menyalahkan anak sebagai pelaku, seringkali ia sendiri adalah “korban” dari kondisi yang tidak kondusif bagi perkembangannya,” jelasnya.

“Jika ada bullying, yang harus ditolong tidak hanya korban tapi juga pelaku. Yang nolong siapa? ya sebanyak mungkin elemen; guru, orang tua, dan org dewasa sekitar anak,” tambahnya.

Eksploitasi anak juga menjadi konsen kajian yang selalu diperhatikan oleh Wahyuni. Menurutnya, orang tua harus memahami hak-hak anak sebelum meminta anak membantu pekerjaan orang tua.

“Anak kan punya hak. Di dalam haknya sebagai anak, yang harus dinomorsatukan adalah kepentingan terbaik bagi si anak. Maka, jika anak harus ‘bekerja’ atau ‘membantu’, yang perlu diperhatikan adalah sejauh mana kepentingan terbaiknya diutamakan,” ungkapnya.

Menurutnya, orang tua boleh-boleh saja menyuruh anak untuk membantu pekerjaan orang tua. Bahkan jika memang tujuannya adalah melatih anak supaya cekatan dalam bekerja tentu hal itu sangat baik. Namun harus diikuti pemahaman bahwa fisik dan mental anak itu terbatas, tak bisa dipaksakan.

“Orang tua tidak dapat menuntut anak melakukan seperti orang dewasa karena dia bukan orang dewasa dalam bentuk kecil, dia itu anak yang butuh bermain, lari-lari, mengembangkan diri, belajar, dan tenaganya juga terbatas. Ketika hal-hal itu dianulir, bisa mengarah ke eksploitasi,” ungkapnya.

“Tugas orang tua dan orang dewasa untuk memastikan dan melindungi bahwa hak-hak sebagai anak diperoleh oleh setiap anak,” tegasnya.

Dalam rangka antisipasi penularan covid-19, Wahyuni atas nama Fakuktas Psikologi UKSW mengumpulkan donasi dan mendistribusi untuk RSUD Salatiga, puskesmas di sekitar Kota Salatiga dan sekitarnya.

“Kami membagikan baju hazmat dan face shield dan masker, dan untuk pedagang pasar di pasar raya satu dan dua serta mahasiswa di kemiri kami sebar masker kain,” ungkapnya.

Baca Berita Lainnya

Wahyuni mengatakan bahwa pengabdian di masyarakat perlu untuk terus dilakukan untuk menularkan paparan kebaikan. Karena menurutnya, manusia selalu berpikir idealis namun seringkali tak tercapai bahkan cenderung negatif dari pemikiran idealisme tersebut.

“Sebenarnya masyarakat dan individu itu kan perlu paparan nilai kebaikan yang kenyataannya kadang gak tercapai dan “jomplang” dengan paparan yang sifatnya negatif. Oleh karena itu alangkah baiknya jika kita tidak menambah masalah dalam masyarakat namun memperkaya masyarakat dengan apa yang kita bisa, sebagai upaya menumbuhkembangkan kesehatan mental masyarakat,” ungkapnya.

“Toh saya, kita, keluarga kita masing-masing pun bagian dari masyarakat itu. Artinya bukan demi orang lain kita melakukan sesuatu yang baik, tapi juga buat kita sendiri juga,” pungkasnya. (Mushonifin)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini