Selalu Rob Setiap Tahun, Inilah Sejarah Dinamika Lingkungan di Pantai Kota Semarang

ilustrasi

SEMARANG (Sigi Jateng) – Rob di pantai utara Jawa, terutama di Semarang dan sebagian Kendal dan Demak, hingga Pekalongan terus mendapat perhatian baik dari pemerintah, pakar dan pelaku industri.
Salah satu pengamat lingkungan dari Fakultas Sains dan Teknologi UIN Walisongo Semarang, Dr. Rusmadi, M. Ling mengakatakan bahwa soal rob itu bencana misterius, hampir seperti bencana alam yang tidak bisa dimundurkan atau dimajukan, karena hal itu terkait dengan sesuatu yang sangat kompleks yang menyangkut isu-isu lingkungan secara global sebagai dampak kenaikan air laut sebagai dampak perubahan iklim secara global.

“Nah karena ketika kita berbicara rob hanya dalam konteks lokal ya memang agak sulit karena setiap daerah masing-masing terdampak dan mungkin berbeda-beda dampak yang dirasakan tapi sesungguhnya pemicunya itu global. Tidak bisa misalnya kita hanya menyelesaikan hanya di Kota Semarang tapi di level global tidak ada upaya untuk melakukan mitigasi terhadap penurunan muka air laut, maka berbicara soal rob memang misterius, sulit sekali. Meskipun demikian saya kira perlu dilihat aksi-aksi level global, aksi level nasional, maupun aksi level lokal,” ujarnya saat ditemui pada Kamis (25/6/2020).

Rusmadi sendiri mengapresiasi langkah-langkah yang sudah dilakukan untuk menangkal rob, namun menurutnya kebijakan pemerintah sendiri baru dianggap tepat dari sisi adaptasi saja, masih perlu ditingkatkan pada tingkatan mitigasi.

Amri Zarois Ismail, S. Pd., M. Ling., Pakar lingkungan Universitas Katolik Soegijapranata (UNIKA). (foto.pribadi)

“Ya sebenarnya langkah-langkah yang sudah dilakukan seperti reklamasi dan rencana pembangunan tanggul laut atau sabuk pantai, sifatnya mengobati pada dampaknya saja. Apa yang dilakukan baru pada tataran adaptasi, bukan mitigasi. Padahal dalam konteks rob, paling tidak ada dua strategi yaitu mitigasi dan adaptasi. Sementara kebijakan-kebijakan lingkungan baru pada taraf adaptasi,” jelasnya.

Sejarah dan Dinamika Lingkungan Pantai Semarang

Berbicara tentang sejarah pantai Semarang, tentu tidak lepas dengan sejarah pendaratan armada panglima laksamana Cheng Ho di daerah Simongan pada abad ke-13. Dahulu, daerah Simongan yang sekarang berdiri Klenteng Sam Po Khong adalah sebuah pelabuhan. Namun sekarang justru tempat itu menjadi sebuah perkampungan yang jauh dari pantai, jauhnya sekitar 5 KM.

Menurut pakar sejarah perubahan lingkungan, Amri Zarois Ismail, S. Pd., M. Ling., mengatakan wilayah Simongan dahulu bisa berupa wilayah pantai atau pesisir, bisa juga berupa wilayah palung atau mungkin selat, hal tersebut sehingga memungkinkan adanya armada kapal-kapal ekspedisi Samudra mampu bersandar.

Pengamat lingkungan dari Fakultas Sains dan Teknologi UIN Walisongo Semarang, Dr. Rusmadi, M. Ling. (Foto.Pribadi)

“Menurut seorang ahli geologi Belanda yang terkenal, yaitu van Bemmelen, garis pantai kota Semarang pada 500 tahun yang lalu diperkirakan masih menjorok ke daratan hingga ke bukit-bukit Gajah Mungkur, bukit Mugas, Mrican, gunung Sawa Simongan, dan beberapa bukit lain di sekitarnya. Dengan teori ini maka dapat disimpulkan bahwa luas daratan kota Semarang telah mengalami perluasan yang cukup signifikan,” ujar peneliti asal Universitas Katolik Soegijapranata ini pada Kamis (25/6/2020).

Bila ditelisik dari sejarah, menurut Amri, sebetulnya permasalahan rob ini bisa dikatakan sebagai fenomena siklus lingkungan suatu wilayah, yaitu wilayah daratan yang saat ini terdampak genangan rob ternyata pada masa lampau merupakan wilayah yang berupa daratan, atau lebih tepatnya pantai dan palung, sehingga dapat dikatakan bahwa alam sebetulnya sedang memposisikan dirinya pada siklus awal (Semula).

“Fenomena ini seolah menjadi penguat akan pertanyaan benarkah kenaikan muka air laut diakibat perubahan iklim dan penurunan muka tanah akibat alih fungsi lahan semata? tentu perlu dikaji lebih dalam lagi,” imbuh Amri.

Kabupaten Demak, sebagai tetangga dekat Semarang yang juga daerah asal Amri selalu mengalami rob sepanjang tahun. Wilayah paling parah adalah Desa Bedono Kecamatan Sayung. Akibat proses ini, kata Amri, Pantai Demak telah berubah dari 17,4 kilometer menjadi 30,4 kilometer. Lebih parah lagi, selain merubah peta wilayah Kabupaten Demak, 640 hektar lahan tambak yang menjadi penopang hidup warga, hilang tak berbekas.

“Abrasi pantai yang terjadi di pesisir Demak, dikatagorikan paling memprihatinkan. Posisi lahan terkena abrasi membentuk teluk. Apabila tidak ditangani secara serius, lahan yang tergerus air laut akan semakin jauh ke perkampungan,” ujarnya.

Sesungguhnya permasalahan di pantai Demak bukan hanya rob saja. Amri mengatakan di pantai kecamatan Wedung justru terjadi peristiwa sebaliknya yaitu sedimentasi (akresi) yang justru mengakibatkan pendangkalan pantai hingga membentuk daratan baru.

“Akibat adanya abrasi dan akresi menyebabkan garis pantai kabupaten Demak srelalu berubah secara dinamis. Perubahan garis pantai ini sebenarnya sudah terjadi sejak dahulu namun kecepatannya tidaklah seperti sekarang ini,” beber Amri.

Menurut Bemmelen (1949), pertumbuhan pantai Kabupaten Demak dari tahun 1695 hingga 1940 rata-rata 8 meter tiap tahun. (Mushonifin)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini