
SIGIJATENG.ID, Semarang- Pemilihan Presiden tahun ini banyak melibatkan kiai, santri dan masyarakat pesantren secara umum. Pasalnya, salah satu dari Calon Wakil Presiden, yakni KH. Ma‘ruf Amin berlatar belakang sebagai ulama atau kiai.
Menurut Pengamat Politik Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Imam Yahya, keterlibatan para tokoh agama Islam, bahkan ormas keagamaan dalam Pilpres 17 April mendatang bagian dari hal yang wajar, bahkan bagi masyarakat pesantren menurutnya menjadi kewajiban agama dalam memberikan dukungan terhadap kiainya. Pasalnya, bagi masyarakat pesantren mewujudkan moral bangsa bagian dari kewajiban agama. Karena itu proses menujunya juga wajib.
“Kiai, santri dan masyarakat pesantren punya kewajiban menjaga moral masyarakat. Hal ini yang paling memungkinkan dilakukan oleh negara, dan di sini sistemnya demokrasi. Karena itu dengan mendukung atau maju sendiri menjadi pemimpin bagian dari kewajiban juga. Dalam kaidah fikih (hukum Islam) dijelaskan maa laa yatimmul waajib illa bihi fahuwa waajib, kewajiban menjaga moral masyarakat jika tidak mungkin dilakukan kecuali melalui kekuasaan, maka menggapainya menjadi wajib,” katanya dalam acara Diskusi & Publikasi Penelitian Pendekatan Fikih dalam Politik di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Walisongo, Kamis (31/1/19).
Dalam penelitiannya, Imam Yahya berkesimpulan bahwa belakangan ini banyak partai yang melibatkan para kiai dalam politik praktis karena dapat mendongkrak suara. Pasalnya di dalam masyarakat pesantren, paternalistik atau ketaatan kepada kiai masih sangat kuat.
“Misalnya di Jawa Tengah, Gus Yasin putra Mbah Maimoen digandeng menjadi Cawagub kemarin ini jelas suara para kiai dan santri akan diberikan kepadanya lepas dari kiai-kiai dan santri-santri itu suka atau tidak terhadap Cagubnya. Jadi memilih karena taat kepada Mbah Maimoennya, tidak enak kepada beliau,” jelasnya.
Apa yang akan terjadi di dalam Pilpres mendatang menurutnya dapat dianalogikan dengan yang terjadi di Jawa Tengah, yakni Capres Jokowi akan mendapatkan banyak suara dari kalangan kiai dan santri karena berpasangan dengan seorang kiai.
“Kalau melihat tamsil (perumpamaan, red) di Jateng, kelompok santri itu masih paternalistik, apa yang dimaui oleh kiai itu menjadi bagian yang harus diikuti. Artinya, lepas dari suka atau tidak kepada Jokowi tapi para santri akan memilihnya karena taat kepada kiai. Dalam istilah Jawa, tego lorone ora tego patine (tega sakitnya, tidak tega matinya). Maksudnya para santri tidak ingin melihat kiainya kalah,” paparnya.
Fikih dalam Politik Kiai
Dalam penelitian yang dikerjakan bersama Wakil Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo, Sahidin, Imam Yahya juga berkesimpulan bahwa para kiai dalam berpolitik memiliki landasan fikih atau hukum Islam dan kaidah-kaidahnya.
Menurutnya, Kiai Ma’ruf maju menjadi Cawapres karena berdasarkan pada fikih politik Islam yang menjelaskan bahwa tujuan politik yaitu untuk mengatur urusan dunia dan menjaga agama.
“Kiai Ma’ruf seorang kiai. Beliau diberi amanat untuk maju menjadi Cawapres itu tidak boleh ditolak, tapi wajib diterima, karena dalam politik Islam atau fikih siyasah, politik itu untuk siyasatud dunya wa harasatud ad-din (mengatur urusan duniai dan menjaga agama, red), beliau punya tanggungjawab untuk melakukannya, jadi wajib diterima. Kalau ingin menegakkan nilai-nilai Islam maka harus ada yang ke sana,” paparnya.
Karena pendekatannya pada fikih siyasah atau politik Islam, maka yang dilakukan Kiai Ma’ruf dan hendak digapainya menurut Imam Yahya, bukan untuk menikmati kesenangan menjadi calon presiden, tapi lebih kepada tanggungjawab terhadap umat sebagai tokoh agama, yakni harus bertanggungjawab dalam menegakkan nilai-nilai Islam itu.
Pendekatan fikih dalam politik kiai dalam kesimpulan penelitian yang dilakukan Imam Yahya tidak hanya dilakukan Kiai Ma’ruf Amin, tapi hampir semua kiai mempraktikannya meski partainya berbeda-beda.
KH. Maimoen Zubair yang di PPP, KH. Dimyati Rois yang di PKB, KH. Chalwani yang di Golkar dan beberapa kiai lain yang ada di PDIP, Nasdem dan lainnya, semuanya menggunakan pendekatan fikih dalam berpolitik. Lalu para santrinya yang sudah menjadi tokoh agama di tempat tinggalnya masing-masing mengikuti pilihan politik para kiainya.
“Beliau-beliau pendekatannya fikih dalam berpolitik. Keputusan seperti itu (berpolitik, red) menggunakan kaidah fikih. Para santri, orang-orang pesantren pasti akan menggunakan paternalistik, ketaatan kepada guru dan pendekatan fikih siyasah (politik Islam, red),” katanya. Hadir sebagai pembanding peneliti, Dosen Sosiologi Agama Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Tedi Kholiludin dan Dosen Antropologi FISIP UIN Walisongo Misbah Elizabet Zulfa. (Aris)