Inilah Hasil Penelitian Balitbang Agama Semarang Tentang Kondisi Kehidupan Beragama

Para peneliti menyajikan Balai Litbang Agama Semarang pada kegiatan Seminar Hasil Penelitian Isu-isu Aktual Bidang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan di Hotel Pandanaran. (mushonifin/sigijateng.id)

SIGIJATENG.ID, Semarang – Budaya menjadi basis moderasi agama di masyarakat Jawa. Kearifan lokal yang merupakan bagian kekayaan budaya menjadi landasan perilaku atau praktik beragama secara moderat di masyarakat Jawa.

Hal itu disampaikan oleh Joko Tri Haryanto selaku peneliti Balai Litbang Agama Semarang pada kegiatan Seminar Hasil Penelitian Isu-isu Aktual Bidang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan di Hotel Pandanaran Semarang, Selasa (17/12/2019). Joko memaparkan hasil penelitian berjudul “Moderasi Beragama dalam Khazanah Budaya Jawa” yang merupakan studi kasus di Desa Trirenggono, Bantul, D.I.Y.

“Kehidupan masyarakat Desa Tritenggono mengabstraksikan praktik moderasi beragama berbasis budaya Jawa. Meskipun mayoritas muslim, masyarakat Trirenggono juga memeluk agama Kristen, Katolik, dan Hindu,” ujarnya.

Joko mengungkapkan, nuansa budaya sebagai basis moderasi agama tampak dalam kegiatan sosial keagamaan yang melibatkan warga lintas agama. Yaitu upacara siklus hidup dan kematian, kenduren, tradisi merti dusun, ronda, dan nyadran.

“Selain itu juga kolaborasi antarwarga dalam kegiatan keagamaan. Contoh menarik adalah kepanitiaan bersama dalam pelaksanaan kurban pada Idul Adha, Halal Bihalal pada Idul Fitri, dan Natalan,” tambahnya.

Sementara itu, Zakiyah, peneliti yang memaparkan konsep ajaran Hindu yang menjadi landasan moderasi agama mengatakan telah menemukan sejumlah konsep dalam ajaran Hindu, yakni; tat twam asi, tri hita karana, panca yadnya, panca sadra, karmapala, dan darma. Ayat-ayat di Bhagavad Gita juga mengajarkan tolong-menolong, berbagi kepada sesama, saling menghormati dan menghargai perbedaan.

“Tradisi toleransi dan moderasi agama di masyarakat Hindu tampak pada kenduren, merti desa, gotong-royong membantu membangun tempat ibadah, dan ujung-ujung ketika hari raya,” kata Zakiyah.

Konsep Negarigung
Dr. Anasom, M.Hum. yang didapuk sebagai narasumber melihat lokasi kedua penelitian tersebut termasuk kategori negarigung. Karakter negarigung, meskipupn karakter komunitas masyarakatnya plural dari sisi agama, tapi ada sisi-sisi budaya yang menyatukan masyarakat.

“Negarigung memiliki karakter budaya yang halus. Kamajaya menyebut orang di wilayah jawa memiliki sifat akomodatif. Sifat ini adalah modal. Orang jawa menerima agama apa saja, tidak akan lepas dari pola watak akomodatif masyarakat Jawa,” kata ketua PCNU Kota Semarang ini.

Meski akomodatif, masyarakat Jawa memiliki sisi selektif. Terjadi interelasi atau hubungan saling  mempengaruhi antara gama dan budaya di Jawa. 
“Hampir semua agama yang masuk di jawa bisa berpaduan. Di Jawa bisa terjadi Jawanisasi Islam dan sekaligus Islamisasi Jawa. Itu juga terjadi pada agama lainnya di Jawa,” sambungnya. 

Karena itu, tambah Anasom, di dalam kultur masyarakat majemuk ini seorang pemimpin jangan hanya hanya memikirkan pembangunan fisik, tapi juga pembangunan sosial.
“Sebagus apapun fisiknya, tetapi kalau terjadi konflik maka rusak dalam waktu singkat. Sebaliknya, diperlukan pembangunan manusia yang lebih sensitif terhadap multikulturalitas,” ujarnya. 

“Penelitian ini dilakukan oleh Tim Peneliti Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Balai Litbang Agama Semarang yang berjumlah 8 orang,” katanya.

Tujuan Sosialisasi 
Dr. Samidi Khalim, Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang mengatakan bahwa kegiatan ini adalah sosialisasi penelitian terkait isu-isu aktual yang ada di wilayah kerja Balai Litbang Agama Semarang.

Beberapa yang dipaparkan oleh para peneliti antara lain; pertama, moderasi Beragama dalam Budaya Jawa. Kedua, moderasi beragama pada masyarakat Hindu di Yogyakarta. Keempat, relasi sosial muslim dan nonmuslim di Kecamatan Pakem Yogyakarta. Kelima, relasi muslim-kristen- hindu dalam mengelola kerukukan beragama masyarakat lereng gunung Lawu Karanganyar Jateng. Keenam, merawat kerukukan umat beragama di desa Bondo Bangsri Jepara. Ketujuh, analisis konflik ritual Paguyuban Padma Buana d Mangir Lor desa Sendangsari Pajangan Bantul. Keselapan, Islam Sejati: sebuah aliran kepercayaan bermasalah di Kab. Kebumen.

Berdasarkan temuan penelitian dapat disimpulkan bahwa semua proses interaksi sosial umat beragama (di Jawa Tengah & DIY) berjalan dengan baik.
hal ini karena didukung oleh media budaya yang masih hidup di masyarakat, seperti budaya gotong royong, tadisi desa, pertemuan, rumah ibadah yg berdampingan. 

“Oleh sebab itu perlu adanya sinergitas antar umat beragama dengan tokoh masyarakat dan pemerintah dalam menjaga kerukunan dan kerjasama untuk mewujudkan moderasi beragama di wilayah masing-masing. Terwujudnya moderasi beragama di tingkat daerah atau masyarakat berarti mendukung terwujudnya bangsa yang rukun, damai, dan beradab,” pungkas Samidi. (Mushonifin)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini