Awas !! Wartawan Bukan Polisi, Wartawan Tidak Bisa Menyita Dokumen

Buku Jurnalisme Investigasi, karangan Dandhy Dwi Laksono.

SIGIJATENG.ID – Penghujung bulan Juli 2019, tepatnya tangal 25 – 26 Juli, saya berkesempatan mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) tingkat Utama yang dilaksanakan oleh PWI Jateng bekerjama dengan PT Semen Gresik Pabrik Rembang, di Semarang.

Peserta UKW sebanyak 25 orang, terdiri 4 orang peserta UKW Utama, 4 orang peserta UKW Madya dan sisanya peserta UKW Muda. Dari 25 orang itu, 1 orang dinyatakan belum kompetensi. Dan Alhamdulillah, saya termasuk yang 24 orang.

Menjadi peserta UKW dengan penguji wartawan senior dari Jakarta Marah Sakti Siregar memang pengalaman tersendiri. Kebetulan UKW utama, pengujinya  adalah dia. Dan hanya peserta UKW Utama saja, yang masih diberi PR, meskipun sudah dinyatakan kompetisi. Tugasnya, yakni membuat resume (ringkasan) buku berjudul : Jurnalisme Investigasi (Tips dan Pengalaman Wartawan Indonesia Membuat Liputan Investigasi Cetak, Radio dan Televisi). Pengarang : Dandhy Dwi Laksono.

Menurut Marah Sakti Siregar, wartawan perlu membaca buku tersebut. Apalagi sudah sekelas wartawan Madya dan Utama. Berikut resume yang saya buat sebagai. Buku aslinya isinya lebih dari 300 halaman. Sudah tentu tidak bisa memberikan kepuasan dibanding kalau membaca langsung sendiri bukunya itu. Namun setidaknya bisa sedikit membuka tabir buku ini dan sekaligus menambah wawasan kita semua.

1.        APA ITU INVESTIGASI

Lima Elemen Investigasi

Hampir setiap karya jurnalis Indonesia yang diberi label investigasi selalu menimbulkan perdebatan tentang layak tidaknya predikat itu disandang. Hanya sedikit saja yang diakui beramai-ramai sebagai karya investigasi. Padahal di wartawan atau medianya meeasa sudah jungkir balik mengerjakannya. Bila ada sejumlah wartawan duduk mendikusikan suatu tema / berita yang dianggap investigative, maka perdebatannya akan sangat panjang. Bisanya itu terjadi  karena sebagai orang merancukan dua hal; yakni

  1. Investigasi sebagai produk / karya jurnalistik
  2. Investigasi sebagai tehnik yang digunakan dalam peliputan.

Lalu, apa yang membuat sebuah produk liputan bisa disebut karya investigasi—selain menggunakan tehnik investigasi?

Hampir semua jurnalis berpendapat bahwa status investigasi bukan ditentukan oleh panjang pendeknya laporan, atau apakah dia menggunakan teknik menyamar dalam liputanya. Melainkan apakah laporan itu mengungkapkan kasus kejahatan terhadap kepentingan publik; apakah laporan itu tuntas menjawab semua hal tanpa menyisakan sedikit pun pertanyaan (karena kejahatan tersebut biasanya dilakukan secara sistematis) ; apakah laporan itu sudah mendudukkan aktor-aktor yang terlibat disertai buktinya (karena sistematis, maka dalam kejahatan itu biasanya ada pembagian peran, aktor pengecoh, dan kambing hitam atau korban) ; serta, apakah pembaca/pendengar/penonton sudah paham dengan kompleksitas masalah yang dilaporkan.

Maka, jurnalisme investigasi biasanya memenuhi elemen-elemen ini :

1.    Mengungkap kejahatan terhadap kepentingan publik, atau tindakan yang merugikan orang lain.

2.    Skala dari kasus yang diungkap cenderung terjadi secara luas atau sistematis (ada kaitan atau benang merah).

3.    Menjawab semua pertanyaan penting muncul dan memetakan persoalan dengan gambling.

4.    Mendudukkan aktor-aktor yang terlibat secara lugas, didukung bukti-bukti yang kuat.

5.    Publik bisa memahami kompleksitas masalah yang dilaporkan dan bisa membuat keputusan atau perubahan berdasarkan laporan itu.

Tanpa kelima elemen tersebut, sebuah laporan panjang barang kali hanya disebut sebagai laporan mendalam (in-depth-reporting). Untuk mendapatkan kelima hal itu, tentu saja ada motede atau tehnik yang bisa digunakan, yakni tehnik investigasi. (halaman 9)

Bedanya Dengan In-Depth Reporting

In-depth reporting atau laporan mendalam biasanya juga disajikan panjang lebar. Tetapi, dia hanya berhenti pada pemetaan masalah. Laporan investigasi lebih maju dengan mencari di mana letak kesalahannya, apakah terjadi secara sistematis, dan siapa saja yang terlibat dan betanggung jawab.

Investigasi Sebagai Teknik Liputan

Barang kali itulah tuntutan standar jurnalisme yang baik dan lengkap (meski belum tentu berupa laporan investigasi). Sehingga tak heran bila banyak wartawan yang sampai pada premis : “jurnalisme yang baik selalu investigatif”. Padahal yang dimaksud barangkali adalah : “jurnalisme yang baik selalu melakukan verifikasi. Dan dalam verifikasi, bisa menggunakan teknik investigasi.”

Untuk memudahkan gambaran barangkali lawan katanya adalah jurnalisme jumpa pers. Yakni aktivitas jurnalistik hanya menyodorkan tape dan kamera tanpa pernah melakukan verifikasi di lapangan. Jadi saking banyaknya fenomena jurnalisme jumpa pers ini, ketika ada wartawan yang melakukan verifikasi (padahal itu adalah tuntutan minimum dalam jurnalistik) sudah disebut investigasi.

Esensi Investigasi : Bukan soal besar kecilnya isu

Farid Gaban adalah alumni peliput perang Bosnia yang pernah bekerja sebagai redaktur pelaksana di majalah Tempo (1998-2003). Setelah Farid keluar, Tempo masih kerap mengundangnya sebagai redaktur tamu untuk menulis laporan-laporan investigasi. Farid termasuk sekelompok jurnalis yang menentang pe-mitos-an investigasi sebagai liputan yang canggih dan harus membedah persoalan-persoalan rumit atau high politics.

Dalam modul tentang jurnalisme investigasi yang ditulisnya setelah mendirikan Yayasan Pena Indonesia, Farid berpandang bahwa persoalan hidup sehari-hari bisa menjadi tema liputan investigasi yang dahsyat. Tidak harus berakhir dengan kejatuhan seorang presiden seperti Richard Nixon setelah The Washington Post mengungkap skandal Watergate di Amerika Serikat, era 1970-an.

Menurut Farid, kini zaman sudah menuntut wartawan tidak hanya terpaku pada investigasi yang menyangkut pejabat atau politisi, tetapi juga berkaitan dengan relasi konsumen-produsen atau kejahatan korporasi. Karen itu, kini persoalannya bukan lagi apakah isunya harus nasional, menyangkut Istana Negara, Bank Sentral, tetapi bisa juga kantor-polsek, pasar tradisional, bahkan tempat ibadah, suap menyuap di terminal atau perempatan agar para sopir angkot bisa berhenti di rambu larangan adalah topic yang menarik untuk diturunkan sebagai laporan investigasi, baik media cetak, radio, maupun televise. Setiap media memiliki kekuatan dan keunggulan masing-masing.

Wartawan Bukan Polisi

Investigasi yang dilakukan jurnalis, bukan investigasi dalam konsep kepolisian. Meski, sebagai teknik yang digunakan bisa saja sama, seperti pengamatan, pegintaian, atau bahkan penyamaran atau uji laboratorium. Tetapi jurnalis tetaplah jurnalis. Ia bekerja dengan batasan yang sangat jelas. Jurnalis tidak bisa menggeledah rumah atau kantor seseorang, jurnalis tidak bisa menyita dokumen, jurnalis tak mungkin memanggil paksa narasumbernya, atau mustahil pula menangkap seseorang.

Dengan alasan apapun, jurnalis tak dibenarkan mengambil atau mencuri sebuah dokumen dari pihak lain. Apalagi, ketika nara sumber meminta namanya dirahasiakan, jurnalis juga harus melakukan itu.

Dengan segala keterbatasan wewenang, wartawan invetigasi dituntut menghasilkan laporan yang bermanfaat bagi publik dan gamblang mengurai siapa yang mesti bertanggung jawab. Meski demikian, kebenaran jurnalistik bukanlah kebenaran hukum. Fakta jurnalistik juga tidak selalu sama dengan fakta hukum. Bila hasil investigasi wartawan tidak lebih hebat dari investigasi polisi atau jaksa, itu memang sudah “kodrat”-nya.

MODAL INVESTIGASI?

Ada lima modal dasar  dalam investigas, yaitu :

Pertama: Kemauan, Ketekunan, dan Keberanian

Dalam proses liputan dibutuhkan modal. Modal yang dimaksud tentu bukan semata-mata anggaran, tetapi yang jauh lebih penting adalah kemuan, keberanian, dan ketekunan dari “agen-agen lapangan”. Tanpa modal pertama ini, anggaran dan daya dukung logistic sebesar apa pun, akan membuat sebuah proyek investigasi macet dan cuma menghambur-hamburkan uang.

Kedua: Jejaring yang Luas

Membangun jejaring sosial (network) itu seperti membangun ruas jalan atau rel kereta. Begitu juga dengan jejaring narasumber bagi wartawan. Membangunnya sungguh tidak mudah. Ada investasi waktu, pulsa (biaya), dan juga tenaga untuk setiap orang yang kita kenal. Ada seorang bekas kontributor lepas di Metro TV yang kini bekerja sebagai reporter tetap di RCTI Nama panggilannya Dodo. Dia dikenal memiliki jejaring yang sangat kuat di kepolisian. Kenalannya bukan hanya jenderal, tetapi juga anggota berpangkat rendah. Tak heran bila gambar-gambar ekslusif kasus-kasus kriminal besar mudah dia peroleh.

Ketiga: Pengetahuan yang Memadai

Informasi dan ide liputan investigasi sebenarnya berserak di sekitar kita. Yang perlu kita lakukan adalah  membuka semua pancaindra dan terus-menerus melatih kepekaan, ketekunan, dan kesabaran. Setelah menerima sebuah informasi, yang perlu dilakukan selanjutnya adalah menakar atau menentukan nilai informasi itu.

Keempat : Keterampilan Mengemas Laporan

Wartawan harus memiliki keterampilan dan jeli dalam pengemasan sebuah berita. Ini ibarat seorang koki yang akan mengolah bahan-bahan mentah berkualitas super menjadi sajian kuliner. Meski di hadapannya ada lobster sebesar 3 kg yang sudah susah payah ditangkap dari laut, bila dia gagal menyajikannya menjadi menu yang enak, maka semua usahanya akan sia-sia. Sangat penting bagi setiap wartawan mengenal karakter media dan topic liputan investigasi yang akan digarapnya.

Modal 5 : Komitmen Institusi Media

Kita baragkali tidak habis heran, mengapa banyak Koran yang memiliki ratusan wartawan dan puluhan redaktur  tetapi dalam satu tahun tak ada satupun karya invetigasi yang mereka hasilkan.

Tidakkah ini memprihatinkan (juga memalukan)?. Apakah Koran tersebut tidak memiliki biaya? Bukankah kantornya megah, gaji karyawannya lumayan dan iklannya berlimpah. Lantas apa masalahnya.

Sebagian besar adalah persoalan alam berfikir atau mindset. Orientasi bisnis informasi sebagai komoditas menuntut produktivitas tinggi. Sayangnya, produktivitas itu hanya ditafsirkan secara kuantitatif dan jarang secara kualitatif.

3.        PERENCANAAN INVESTIGASI

Tanpa membeda-bedakan jenis medianya (cetak,radio, televise), setelah menentukan topic dan menakar bobot isinya (assessment), maka garis besar perencanaan dalam sebuah proyek investigasi adalah sebagai berikut : (1) membentuk tim (multi spesialisasi); (2) melakukan riset, observasi awal, atau survey; (3) menentukan angle (fokus) dan merumuskan hipotesis; (4) merancang strategi eksekusi (teknik, logistic, dll); (5) menyiapkan skenario pasca-publikasi.

4.        ACTION !

Tahap 1 : Mencari Bukti Fisik

Bagi media cetak, bukti fisik bisa berupa dokumen, foto, atau hasil observasi lapangan yang dilakukan jurnalis. Dokumen (kertas) atau arsip adalah material idola semua wartawan investigasi media cetak. Tapi bagi jurnalis televisi, bukti fisik identik dengan rekaman video atau footage, baik yang diperoleh dari pihak lain maupun hasil tangkapannya sendiri. Sementara bagi wartawan radio, bukti fisik yang diidam-idamkan adalah rekaman suara (audio).

Tiga elemen dalam pelaksanaan atau eksekusi investugasi : Pertama; Tahap: mencari bukti dan mencari kesaksian. Kedua ; Metode: menelusuri dokumen, menelusuri orang, menelusuri uang. Ketiga; Teknik: undercover, observation, surveillance, embedded atau immerse.

Lima unsur dalam strategi investigasi: 1. Tahapan yang jelas. 2. Metode yang digunakan. 3. Teknik yang dipakai. 4. Pemilihan sumber daya manusia. 5. Logistik (keuangan, alat dll)

Metode Investigasi : 3 Trails

1.    Material Trails

Material bisa berupa dokumen kertas, dokumen digital, bukti foto, rekaman video, atau rekaman audio yang bisa diperoleh dari penelusuran atas materi yang sudah ada (di tangan pihak lain), maupun dari hasil kerja-kerja lapangan yang dilakukan sendiri  oleh para jurnalis.

2.    Paper Trails

Paper trail yakni menelusuri keberadaan dan jati diri seseorang atau narasumber. Baik mereka yang diduga terlibat, maupun mereka yang mengetahui seluk-beluk masalah tersebut.

3.    Money Trails

Metode menelusuri asal-usul dan aliran arah uang dalam mengungkap sebuah kasus juga mujarab. Uang adalah salah satu motivasi utama manusia berbuat sesuatu. Karena itu, mengikuti aliran dan asal-usul uang bisa menuntun kita menemukan siapa saja yang bermain.

Tahap 2 : Mencari dan Mengumpulkan Kesaksian

Secara sederhana, mengumpulkan kesaksian adalah mencari orang-orang yang bisa membantu kita memecahkan persoalan. Atau dengan cara  yang agak “sembrono”, ini merupakan kegiatan mengumpulkan keterangan dari mereka yang “berpihak” kepada hipotesis kita. Mereka bisa saja saksi mata sebuah peristiwa, anggota kelompok criminal, atau bagian dari konspirasi kejahatan ekonomi yang memberikan kita informasi yang langsung berkaitan dengan kasus. Tapi di sisi lain mereka bisa juga para akuntan yang membantu melakukan audit forensic, seorang dokter ahli ginjal yang menerjemahkan hasil tes laboratorium dalam bahasa awam atau seorang penjaga makam yang bersaksi bahwa tak ada seorang pun yang pernah menziarahi makam seperti kasus de Guzman.

5.        TEKNIK PELIPUTAN

Ragam Teknik Penyamaran

1.      Penyamaran Melebur (Immerse)

Dalam investigasi RCTI tentang TKI illegal, dua reporter SAI dan HRW menyamar sebagai TKI. Dalam konteks ini mereka bisa disebut sedang melebur. Dengan cara melebur (immerse) sebagai TKI, maka reporter bisa langsung berinteraksi dengan para calo perekrut dan pihak-pihak yang mengirim para TKI illegal, sekaligus mengambil gambar.

2.      Menempel (Embedded)

Ini adalah teknik “kuda troya”, di mana jurnalis memanfaatkan objek tertentu sebagai kendaraan untuk mendapatkan fakta, keterangan atau akses. Teknik penyamaran menempel, misalnya digunakan banyak wartawan yang ingin menembus penjara dengan menyamar sebagai anggota keluarga pembesuk atau bagian dari tim pengacara.

3.      Penyamaran Berjarak (Surveillance)

Tehnik ini bukan berarti paling kecil resikonya. Istilah Surveillance sendiri juga berarti pemantauan atau pengamatan, dimana objek atau sasaran tidak merasakan kehadiran kita. Padanan lain dalam bahasa Inggris-Nya adalah shaowing (membayangi). Makna berjarak dalam penyamaran ini bukan saja makna jarak secara fisik, tetapi juga secara sosiologis atau psikologis.

Observasi

Selain penyamaran, teknik lain yang sering digunakan dalm peliputan (termasuk investigasi) adalah observasi. Ini berbeda dengan tiga terkni penyamaran, observasi bisa dilakukan secara terang-terangan. Jurnalis tetap bisa berkalunhan kartu pers.

Aktivitas jurnalis menggunakan semua pancaideranya untuk mencari informasi atau menemukan fakta di lapangan. Karena observasi berkaitan dengan pancaindera, maka teknik ini lebih dikenal di media massa cetak sebagai bekal menulis deskruipsi secara detail, factual dan menarik. Sementara bagi jurnalis televise, apa yang direkam kamera, ituah yang disaksikan penonton. Atau apa yang direkam tape recorder, itu jugalah yang terengar di radio.

Decoying Alias Mengecoh

Ada teknik lain yang memang harus terang-terangan menggunakan identitas wartawan, tetapi tujuannya justru untuk menyamarkan misi liputan yang sesungguhya. Inilah yang dinamakan teknik decoying (to decoy) atau mengecoh. Teknik ini digunakan bila kita ingin menapatkan akses pada suatu informasi yang berada di pihak tertentu, tapi mereka cenderung ragu atau menutupinya. Namun pihak tersebut sebenarnya tidak anti-media. Mereka akan terbuka terhadap informasi atau akses atas hal yang lain, tapi bukan jenis informasi atau akses yang kita mau. Di sinilah teknik decoying bisa membantu.

Teknik ini secara spontan sudah banyak dilakukan para wartawan dengan atau tanpa membaca teori iatu ikut pelatihan. Intinya, wartawan merancang liputan danga angle yang berbeda dari target yang diincarnya, tetapi angle itu tetap mengkinkan untuk mendekati objek yang hendak disasar. Angle itu tidak boleh berbeda sama sekali dan terlalu berjarak denga  angle yang sesungguhnya.

6.        MENGEMAS LAPORAN

Overview : Radio, Cetak, dan Televisi

Setiap media memiliki karakter yang menjadi kelebihan sekaligus kelemahannya. Karena itu tak semua jenis isu bisa maksimal dihadirkan di media tertentu. Hal ini juga turut mempengaruhi strategi pengemasannya. Di tengah himpitan deadline, jurnalis radio tak perlu mempertaruhkan segalanya untuk mendapatkan long form hasil udit Price Waterhouse Cooper (PWC) dalam kasus Bank Bali (1999-2000) bila materi itu sama sekali tidak dibunyikan di medianya. Ini  berbeda dengan jurnalis media cetak yang lebih memiliki ruang mengemas informasinya dalam aneka pilihan menu, seperti teks, foto, atau grafis. Demikian juga dengan investigasi di televise. Teknik Pengemasan investigasi kasus korupsi, konspirasi pembunuhan, atau kejahatan lingkungan membutuhkan strategi pengemasan yang berbeda. Dibutuhkan lebih banyak grafis dan teknik editing gambar dengan ritmr (pacing) yang lebih cepat untuk isu korupsi dan konspirasi pembunuhan, dibandingkan kasus kejahatan lingkungan.

Internet Paling Atraktif

Dalam hal pengemasan, sebuah laporan investigasi yang dipublikasi media online (internet) bisa disebut paling atraktif dibandingkan ketiga jenis media konvensional pendahulunya. Melalui internet sebuah laporan investigasi bisa terdiri dari naskah, foto, aneka grafis, rekaman audio, bahkan video streaming sekaligus.

Musuhmu Adalah Panjangmu

Proses pengemasan laporan adalah tahap krusial dalam investigasi. Bagi media cetak, musuh utamanya adalah bentuknya sendiri yang panjang berhalaman-halaman. Pembaca sering “terteror” secara psikologis dengan artikel yang panjang, bila para koki gagal menghadirkan tampilan fisik yang memikat dalam artikel tersebut, yang bisa langsung ditemukan pembaca dalam hitungan menit. Inilah pertempuran pertama yang harus dimenangkan media cetak. Unsur-unsur yang membuat cerita tersebut layak dibaca, harus dimunculkan pada kesan pertama, saat pembaca masih menimbang-nimbang apakah ia memiliki waktu setengah jam untuk membaca laporan tersebut.

Jenis Media dan Daya Serap Cerita

Media cetak memiliki fleksibilitas ruang karena bisa membacanya dimana saja, mulai dari yang serius di meja kerja, sembari menunggu angkutan, di jok belakang mobil, hingga di dalam toilet. Dia juga fleksibel dalam hal waktu. Internet reatif hanya memiliki fleksibsilitas  waktu, tetapi tidak punya fleksibilitas ruang. Sementara televise dan radio, sama sekali tidak memiliki fleksibilitas itu, kecuali merekamnya. Itu pun hanya mengatasi fleksibilitas waktu, bukan ruang. Tayangan televise atau siaran radio telah ditentukan jadwalnya, sehingga public hanya bisa mengosumsinya pada momen tersebut.

Teknik Penulisan

Menulis naskah untuk media cetak/online, televise, dan radio memiliki teknik yang berbeda. Media cetak menggunakan bahasa tulis, sedangkan televise dan radio menggunakan bahasa tutur/lisan.

Kerangka Cerita Adalah Peta

Peta itu adalah sebuah rancangan cerita sebuah kerangka yang akan memandu kita mengisi “daging-daging” yang telah kita kumpulkan. Kita tak perlu melakukannya sendiri. Jurnalis yang baru pulang dari lapangan cenderung menganggap semua materi yang diperolehnya penting. Sehingga terkadang dia kehilangan fokus dan “berselingkuh” dengan persoalan yang lain. Karena iu sangat penting bagi kita untuk kembali duduk dengan anggota tim dan meminta mereka melakukan assessment atas semua materi dan cerita yang telah diperoleh dari lapangan. Reporter cukup bercerita, dan biarkan anggota tim lain yang cukup berjarak dengan objek liputan memutuskan mana yang penting.

7 Elemen dalam Penulisan

Wartawan senior Farid Gaban merumuskan tujuh elemen yang hasrus diperhatikan seorang jurnalis, media cetak dalam membuat sebuah tulisan : Informasti, Signifikan, Fokus, Konteks, Wajah  Bentuk, Suara.

Tujuh Kegagalan Dalam Penulisan

1.       Gagal menekankan segala yang penting

2.       Gagal menghadirkan fakta-fakta yang mendukung

3.       Gagal memerangi kejemuan pembaca karena terlalu banyak hal yang umum

4.       Gagal mengorganisasikan tulisa secara baik, entah itu kalimat maupun keseluruhan cerita.

5.       Gagal mempraktekkan tata bahasa secara baik; salah membubuhkan tanda baca dan salah menulis ejaan.

6.       Gagal menulis secara berimbang

7.       Gagal mengaitkan diri dengan pembaca.

Waspadai Kata Sifat

Tulisan panjang kerap menggelincirkan kita paa pemborosan kata sifat : bagus-jelek, mewah sederhana, mahal-murah, tinggi-renah, yang kesemuanya kadang sangat sensitive dalam sebuah laporan investigasi. Menulis deskripsi prinsipnya adalah menggunakan informasi spesifik, tanpa menyebut sifatnya.

7.        KODE ETIK

Efek Samping Peliputan

Bila ada sebuah liputan investigasi yang berbuntut panjang dan cukup kompleks di era tahun 2000-an, yakni kasus dugaan penggelapan pajak Sian Agri (2007). Liputan  ini menimbulkan efek samping yang bisa menjadi mata kuliah terseniri di kelas-kelas jurnalistik. Ada gugatan hukum, ada tekanan kepada individu jurnalis, ada “penyaapan” sms, pembocoran naskah yang belum diterbitkan, penggalangan para ilmuan dan wartawan, operasi pembungkaman media lain melalui iklan, wartawan “diinteli”, wartawan di BAP, serta aspek-aspek etik dalam proses peliputan. 

Perlindungan Sumber

Bagian paling penting dari liputan apapun, terutama investigasi adalah perlindungan narasumber selain perlindungan diri sendiri. Prinsip itu harus dipegang karena menyangkut berbagai aspek seperti integritas media, profesionalsme jurnalis, dan yang paling penting karena menyangkut nasib orang. Wartawan boleh saja heroik dan tak gentar menghadapi berbagai mara bahaya dalam menjalankan tugasnya. Namun wartawan yang baik tak hanya  memikirkan nyalinya sendiri, dia juga harus berfikir tentang nyali orang lain. Wartawan tidak boleh memancing dan menjebak narsumbernya untuk mendapatkan sebuah keterangan yang tidak mereka sadari dampak dan akibatnya.

Sumber Anonim

Dalam investigasi, narasumber anonim sering memegang peranan penting. Meski demikian, wartawan tetap harus berhati-hati menghadapi dan memperlakukan sumber anonim.

Mencuri Materi

Bila yang dimaksud dengan “kepentingan umum” itu menyangkut keselamatan nyawa orang, maka hal pertama yang harus dilakukan justru buka memblikasikannya, tetapi menyerahkannya ke otoritas berwenang. Melalui tangan dan pernyataan merekalah, sebagai wartawan, kita bisa mengutip isi dokumen tersebut.

Etika Menyamar dan Merekam Diam-diam

Ada yang berpandangan bahwa tindakan yang terekam kamera atau mata wartawan alam observasi langsung tidak perlu dikonfirmasi. Sementara hal-hal yang yang tidak disaksikan sendiri oleh wartawan perlu mendapatkan konfirmasi. Sementara jurnalis lain berpandangan bahwa apapun yang diperolehnya, wartawan harus member ruang pihak lain untuk memberikan keterangan, tafsir atau membela diri atas bukti-bukti yang diapat. Sebab, selalu ada kemungkinan wartawan tidak akurat pada materi tertentu, seyakin apapun dia. Bila merujuk kepada kode Etik Jurnalistik Dewan Pers, maka hanya ada dua alasan yang membuat  praktik penyamaran dibenarkan : Demi kepentingan public dan tak ada cara lain untuk mendapatkan informasi.

Wajah tersangka

Pedoman Perilau Penyiaran mengatur tentang wajah tersangka sebagai berikut :

“Dalam pemberitaan kasus kriminalitas dan hukum, lembaga penyiaran harus menyamarkan identitas (termasuk menyamarkan wajah) tersangka, kecuali identitas tersangka memang suah terpublikasi dan dikenal secara luas.

Rekonstruksi dan Reka Ulang Adegan

Ada sejumlah syarat ketat yang diatur pedoman perilaku penyiaran dalam penggunaan rekonstruksi:

1.      Adegan rekonstruksi kejahatan yang eksplisit dan terperinci tidak boleh disiarkan.

2.      Adegan rekonstruksi kejahatan seksual dan pemerkosaan sama sekali tidak boleh disiarkan.

3.      Siaran rekonstruksi kejahatan harus memperoleh izin dari korban kejahatan, atau pihak yang dapat dipandang sebagai wakil korban.

4.      Adegan rekonstruksi yang memperlihatkan modus kejahatan secara eksplisit dan terperinci dilarang.

5.      Aegan rekonstruksi yang memperlihatkan cara pembuatan alat-alat kejahatan tidak boleh disiarkan.

(Aris Syaefudin Zuhri)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini